Palembang Terkini

Adakah Asa Rakyat di Rumah Aspirasi yang Baru Diresmikan?

ist

Sumselterkini.co.id, –  Di halaman Rumah Dinas Wali Kota Palembang kemarin mendadak lebih ramai dari biasanya, bukan karena ada tamu negara atau syuting sinetron, tapi karena launching ‘Rumah Aspirasi’ tempat rakyat bisa curhat resmi tanpa perlu antre di kolom komentar medsos. Wali Kota Ratu Dewa membuka acara dengan pantun, seolah ingin bilang ini rumah dinas, tapi jangan sungkan. Duduk boleh, ngopi boleh, nyampaiin unek-unek apalagi. Asal jangan minta diskon PBB langsung di ruang tamu.

Langkah menjadikan rumah dinas sebagai Rumah Aspirasi ini memang patut diapresiasi kalau biasanya rumah dinas cuma jadi tempat kumpul para pejabat dan undangan khusus, kali ini konsepnya dibalik yang penting rakyat bisa masuk, duduk, dan ngomong, katanya, “Siapo bae boleh masuk. Rumah ini bukan keramat,”.

Kalau kata pepatah lama “Rumah itu bukan sekadar tembok dan atap, tapi tempat hati bertemu dan suara didengar,” Ya, walaupun kadang suara rakyat itu seperti suara-suara dari hutan lindung sayup, lalu hilang ditelan angin kebijakan.

Wali Kota Ratu Dewa menyebut program ini bagian dari Ratu Dewa Prima Salam alias RDPS, disokong  Dinas Kominfo, program ini ibarat menu sarapan pagi ada stan pelayanan dokumen, ada tempat selfie biar anak Gen Z gak bosan, ada pula Kelakar akronim dari “Keluhan Ada Langsung Kelar”. Sebuah nama program yang enak didengar, tinggal kita tunggu kelarnya yang cepat atau keluhannya yang cepat dilupakan?.

Dalam satu sisi, Rumah Aspirasi ini, seperti upaya menjahit kembali sobekan antara rakyat dan pemerintah. Tapi hati-hati, jangan cuma ganti nama rumah, tapi isinya tetap penuh diam-diam. Kalau ruang rakyat hanya jadi background selfie saat pemilu, maka aspirasi akan berubah jadi hiasan dinding ada, tapi tak pernah dibaca.

Contohlah kota Seoul di Korea Selatan, mereka punya Seoul Innovation Park, dimana warga bisa menyampaikan ide kebijakan lewat debat publik, lalu ditindaklanjuti secara nyata. Bukan sekadar dengar, catat, terus simpan di laci yang kuncinya hilang, atau seperti di Kota Curitiba, Brasil, warga bisa usul soal anggaran lewat participatory budgeting, mereka bukan hanya menyuarakan, tapi ikut menentukan!.

Program ini bagus, tapi jangan sampai nasibnya seperti spanduk acara 17-an dipasang seminggu, lalu dibiarkan melambai-lambai sampai akhir tahun, karena aspirasi itu ibarat benih. Kalau sudah ditanam di halaman Rumah Aspirasi, jangan dibiarkan kekeringan. Siram tiap hari, dengar tiap pekan, dan paling penting jangan cuekin saat benih itu berubah jadi kritik, karena kritik itu bukan peluru, tapi pupuk buat perbaikan.

Di beberapa kota Indonesia, program mirip ini kerap gagal di tengah jalan, alasannya klasikm yakni Gak ada anggaran, tapi anehnya, anggaran buat baliho wajah pejabat tetap mengalir seperti air dari pancuran sultan.

Seperti salah satu contoh di Kota Bima, program Rumah Aspirasi Pemberdayaan Perempuan yang direncanakan untuk meningkatkan keterampilan perempuan melalui berbagai kegiatan seperti tenun dan kuliner, tidak berjalan sesuai harapan.

Di Kelurahan Rabangodu Utara, program ini tidak didukung oleh anggaran yang jelas dari dinas terkait, sehingga sulit untuk diimplementasikan secara efektif.

Solusinya yang sehat, bukan seperti cabe rawit yang pedasnya bikin mules, tapi seperti madu manis tapi menyengat, buka forum rutin diskusi publik,  karena jangan cuma jadi tempat curhat satu arah.

Gelar diskusi mingguan, undang tokoh masyarakat, aktivis, anak muda.

Kalau perlu, pakai konsep open mic ala stand-up comedy, biar kritik jadi lucu, tapi nyess!. Libatkan Komunitas Lokal, ajak komunitas mural, komunitas literasi, bahkan komunitas emak-emak arisan.

Biar rumah ini gak cuma hidup saat launching, tapi terus bergemuruh tiap minggu. Kalau tidak, lebih baik rumah ini dipakai shooting sinetron. Digitalisasi aspirasi, zaman sudah 5G, masa aspirasi masih pakai buku tamu?, buat aplikasi atau portal aspirasi terintegrasi, biar warga bisa ngadu tanpa harus antri sambil kipas-kipas. Kalau bisa order nasi goreng lewat aplikasi, masa ngadu soal jalan rusak gak bisa?.

Tokoh lokal pernah berkata, “Yang dibutuhkan rakyat bukan hanya pendengaran, tapi juga perubahan.” Itu kata Pak Anto tukang tambal ban di Jalan Letkol Iskandar. Dan kalau boleh kita comot sedikit dari Barack Obama “Government should reflect the voices of its people, not just the echoes of its own chamber,” [Pemerintah harus mencerminkan suara rakyatnya, bukan hanya gema dari ruangannya sendiri].

Maknanya, pemerintah itu idealnya mendengarkan dan mewakili aspirasi serta kebutuhan masyarakat luas, bukan cuma berputar dan berkoar dalam lingkaran elit atau birokrat saja tanpa benar benar mendengarkan rakyat. Jadi, jangan sampai keputusan dan kebijakan pemerintah hanya berdasarkan suara internal mereka sendiri tanpa memperhatikan suara rakyat sebenarnya.

Karena itu, Rumah Aspirasi ini bukan soal bangunan, tapi tentang janji. Tentang tekad mendengar, dan terutama, berani memperbaiki. Jika tidak, nanti rakyat cuma datang, foto-foto, lalu pulang sambil berkata “Ah, samo bae, cuma dicat baru”.

Mari kita jaga semangat ini, rumah aspirasi jangan jadi sekadar proyek pencitraan. Jangan sampai namanya doang yang rakyat, isinya tetap elite. Jangan sampai jadi Rumah Hantu Aspirasi  tampak megah tapi kosong jiwa. Rumah ini harus jadi rumah yang bernyawa. Tempat di mana suara rakyat tak hanya mampir, tapi tinggal. Tempat di mana kritik tak ditolak, tapi diolah. Tempat di mana selfie boleh, tapi aksi tetap utama.

Karena kota ini bukan dibangun dari marmer dan beton semata, tapi dari harapan rakyat kecil, yang percaya sekali suara disampaikan, mestinya perubahan pun bisa dimulai, semoga memang aspirasi rakyat diserap didirealisasikan, mari kita dukung rumah aspirasi. Selamat bekerja.[***]

Terpopuler

To Top