OKI Terkini

Kisah Kesederhanaan HM Dja’far Shodiq Bikin Dukungan Masyarakat OKI ke Pasangan JADI Mengalir Deras,Simak Yuk !

ist

Sumselterkini.co.id, – Dukungan terhadap pasangan calon JADI terus mengalir deras seiring mendekatnya Pilkada 27 November 2024. Tak hanya sekadar kampanye, masyarakat menyaksikan kesederhanaan yang melekat pada diri HM Dja’far Shodiq, sosok yang akrab di hati rakyat kecil. Banyak dari mereka yang merasa terhubung dengan kisah hidupnya yang penuh liku namun tetap rendah hati, hingga alasan untuk mendukungnya menjadi sangat personal dan emosional.

 

Sosok yang Tumbuh dari Kesederhanaan

HM Dja’far Shodiq bukanlah politisi yang tumbuh dari dunia elitis. Dia datang dari masyarakat biasa, dari kalangan petani yang sehari-harinya bergelut dengan lumpur dan tanah. Kisah hidupnya menunjukkan bahwa ia telah merasakan apa yang dirasakan oleh sebagian besar warga OKI—hidup dari hasil kerja keras dan penuh perjuangan.

 

Dalam sebuah pertemuan santai di sebuah rumah warga selepas salat Maghrib, Shodiq berkumpul bersama sekitar sepuluh orang petani. Pertemuan itu terlihat sederhana, namun obrolan yang terjalin begitu hangat. Para petani yang awalnya hanya mengenal Shodiq secara sepintas mulai menyimak lebih dalam ketika Shodiq menceritakan pengalamannya yang tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka alami setiap hari. Ia berbicara menggunakan istilah-istilah lokal seperti “julat”—ukuran yang sering dipakai untuk mengukur luas sawah—dan menggambarkan keseharian mereka yang berurusan dengan tanah, tanaman, dan upah yang pas-pasan.

 

Pembicaraan itu berlanjut ke berbagai topik, hingga pada satu momen, nama seorang mantan Ketua DPRD OKI yang dikenal sebagai pengusaha kebun karet dan sawit muncul dalam percakapan. Di titik inilah, Shodiq mengisahkan salah satu pengalaman hidupnya yang tak terlupakan.

 

Kisah di Kebun Karet

Beberapa tahun lalu, sebelum dikenal sebagai politisi, Shodiq hidup sebagai buruh harian. Saat itu, ia bekerja serabutan, melakukan pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang. Suatu hari, saudaranya mengajak dia untuk bekerja di kebun karet milik mantan Ketua DPRD OKI yang kala itu belum terjun ke dunia politik. Setiap pagi, mereka berangkat ke kebun dengan membawa peralatan seadanya, siap menjalani hari dengan tenaga penuh untuk membersihkan lahan karet yang luas.

 

Di kebun itu, Shodiq dan rekan-rekannya bekerja keras sebagai buruh lepas, dibayar per hari untuk membersihkan kebun dari rumput dan semak-semak. Mereka bekerja di bawah terik matahari, sementara sang pemilik kebun datang setiap hari dengan motor Vespa tua untuk mengawasi pekerjaan. Tak hanya datang untuk mengontrol, sang pemilik kebun juga selalu membawa bekal pribadi, termasuk sebotol air mineral. Di era itu, air mineral dalam botol plastik masih terbilang barang mewah, tidak seperti sekarang yang mudah didapatkan di setiap sudut kota atau desa.

 

Air dalam Botol: Simbol Kemewahan atau Kesederhanaan?

 Air mineral dalam botol itu menjadi tanda tanya bagi Shodiq dan para buruh lainnya. Mereka terbiasa minum air putih yang direbus di rumah, disimpan dalam ceret hitam yang penuh kerak akibat api kayu bakar. Bagi mereka, air yang diminum dari botol plastik itu terasa asing. Mereka sering bertanya-tanya, apakah air itu benar-benar air putih biasa? Atau mungkin itu jenis air khusus yang hanya diminum oleh orang-orang kaya?

 

Rasa penasaran itu semakin besar, namun tak satu pun dari mereka berani bertanya langsung. Hingga suatu hari, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Pemilik kebun lupa membawa botol air mineralnya pulang, meninggalkan botol itu di kebun dengan sisa air yang masih cukup banyak. Shodiq dan temannya akhirnya memutuskan untuk mengambil botol tersebut. Mereka bergiliran meminum air dari botol itu, dan saat itulah, temannya berseru setengah berteriak, “Walah Diq, ternyata rasanya sama, air putih juga!”

 

Tawa mereka pecah, bukan karena kejadian itu lucu, tapi karena kesadaran yang datang begitu saja. Ternyata, apa yang terlihat mewah tidak selalu berbeda. Air yang dikemas dalam botol plastik bening itu sama saja dengan air yang mereka minum setiap hari dari ceret tua. Ini bukan hanya sekadar cerita air putih, melainkan pelajaran hidup tentang kesederhanaan, tentang bagaimana sesuatu yang tampak berbeda sebenarnya sama jika dilihat lebih dekat.

 

Kisah Hidup sebagai Cermin untuk Masyarakat

Pengalaman hidup seperti inilah yang membuat HM Dja’far Shodiq begitu dekat dengan masyarakat. Ia bukan seseorang yang berjarak dengan rakyat, melainkan bagian dari rakyat itu sendiri. Dari bekerja di kebun sebagai buruh harian hingga menjadi Kepala Desa, anggota DPRD OKI, dan kini Wakil Bupati OKI, Shodiq tetap membawa nilai-nilai kesederhanaan dan kerja keras. Dia memahami apa yang dirasakan oleh petani, buruh, dan masyarakat bawah karena ia pernah hidup di posisi yang sama.

 

Dalam Pilkada 2024 ini, kisah hidup Shodiq memberikan harapan baru bagi warga OKI. Bukan hanya sekadar kampanye atau janji-janji manis, tetapi pengalaman nyata yang ia alami sendiri. Kesederhanaannya, kemampuannya mendengarkan, dan kepeduliannya terhadap rakyat menjadikannya sosok yang diharapkan bisa membawa perubahan positif bagi OKI ke depannya.

 

Dukungan terhadap Shodiq dan Abdi yanto dalam Pilkada terus tumbuh bukan karena strategi politik yang hebat, melainkan karena masyarakat melihat dirinya sebagai sosok yang mewakili mereka—seseorang yang pernah berada di posisi mereka, merasakan kesulitan yang sama, dan tetap berdiri dengan kepala tegak untuk melayani.

 

Pada akhirnya, kisah air putih itu adalah metafora bagi perjuangan Shodiq dalam politik: di balik semua perbedaan tampilan, esensinya tetap sama. Apa yang benar-benar penting adalah apa yang kita lakukan, bukan bagaimana kita terlihat.

 

Dengan modal kesederhanaan dan pengalaman panjangnya, HM Dja’far Shodiq siap bertarung dalam Pilkada 2024, membawa harapan dan keyakinan baru bagi masyarakat OKI.[***]

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com