OKI Terkini

“Ketika Sengketa Usai Tapi Gosip Masih Bertamasya”

ist

DESA Bukit Batu, Kecamatan Air Sugihan, OKI, sebenarnya sudah adem ayem. Umpama panci rebusan yang sudah dimatikan kompornya, tinggal angkat tutup dan nikmati aroma damai. Tapi aneh bin ajaib, tiap minggu masih saja ada yang meniupkan uap gosip. Persis seperti kompor tetangga yang iseng dinyalain lagi, padahal kompornya bukan punya dia.

Sudah ada vonis pengadilan, sudah final dan mengikat, bahkan uang perkara sudah lunas dibayar. Tapi masih saja ada yang datang dari luar desa, bawa cerita lama yang udah expired dan aroma kebusukannya menyengat ke mana-mana. Padahal, menurut pepatah lama “Jangan aduk-aduk genangan, nanti airnya makin keruh dan kita semua yang basah”

Kepala Desa Bukit Batu, Bu Rumidah yang kalau ngomong tegas tapi tetap bisa diselingi senyum ala ibu-ibu pengajian menegaskan warga desa itu sebenarnya tenang. Tapi belakangan ini muncul semacam tamu tak diundang yang bawa semangat membakar emosi, lebih panas dari cabe rawit yang nyasar ke mata.

Katanya, konflik lahan plasma 84 hektare sudah kelar. Pengadilan sudah tiga tingkat bilang “tidak”, tapi pihak yang kalah seperti belum selesai babak. Gugatan ditolak, biaya perkara ditanggung sendiri, tapi narasi terus menggelinding seperti bola bekel dilempar dari bukit. Alih-alih berhenti, dia makin memantul ke mana-mana.

Konflik ini memang punya jejak sejarah. Dimulai dari almarhum Pak Trilogi, kepala desa perintis Bukit Batu. Lalu anak beliau, Asmadi, sempat jadi kepala desa juga. Sayangnya, kepercayaan warga malah dijadikan ladang panen pribadi.

Dana plasma yang mestinya untuk kesejahteraan, malah disulap jadi dana plesiran. Hitungannya bukan lagi recehankerugian negara Rp9,6 miliar, lho! Itu kalau dibelikan pempek, bisa buka 700 cabang di seluruh Sumatera.

Asmadi sudah divonis tujuh tahun, dengan denda dan kewajiban bayar uang pengganti. Tapi seperti pepatah “Sudah jatuh, tertimpa utang, lalu dikomentari netizen pula”, kisahnya belum tamat. Kuasa hukumnya menyebut dakwaan jaksa terlalu dipaksakan, tapi hakim menilai itu seperti pepesan kosong bau tapi nggak ada isinya.

Kini, Bu Rumidah bertekad membersihkan panci desa yang dulu sempat gosong. Sistem tata kelola dibuat transparan. Katanya, pencairan dana sekarang mirip bikin es teh manis di warung gotong royong semua lihat, semua tahu siapa yang tuang gula, siapa yang aduk.

“Kalau curiga, mari periksa bersama,” ujarnya. Sebuah ajakan yang lebih segar dari angin sore di beranda rumah.

Tapi tetap saja, rumor itu seperti nyamuk malam nggak kelihatan tapi bunyinya ganggu tidur. Ada cerita tentang “tangan besi” misterius yang ingin menghapus jejak keluarga Trilogi dari peta pengaruh. Entah benar atau hanya drama episode baru.

Tokoh masyarakat bilang warga desa sebenarnya nggak apa-apa. Tenang. Damai. Tapi begitu rombongan dari luar desa datang, bawa cerita bersambung, suasana jadi kayak forum RT yang dibajak emak-emak arisan panas, rame, tapi nggak jelas juntrungnya.

Ini mirip pepatah modern “Kalau sudah selesai, jangan ditambah seasoning gosip. Nanti yang kenyang malah orang luar, yang berantem warga sendiri”.

Desa Bukit Batu tak butuh drama tambahan. Mereka butuh keadilan yang sudah ditegakkan, dijaga agar tak digoyang oleh bisikan dari luar. Sudah saatnya desa ini pulih, membenahi, dan berjalan ke depan. Karena seperti bijak kata nenek kami dulu, “Nasi yang sudah jadi bubur, jangan malah dikasih durian busuk. Tambahin ayam suwir dan kerupuk, baru enak dimakan bareng”

Jadi, kalau ada yang datang-datang ke desa cuma buat nyebar bumbu-bumbu basi, lebih baik bawa pulang saja. Bukit Batu sudah punya cukup rasa. Mereka tak butuh penyedap tambahan dari tangan asing yang entah pakai bumbu apa.[***]/dra

Terpopuler

To Top