COBA bayangin, jika turis Jepang lagi selonjoran di futon, buka laptop, eh.., tiba-tiba bisa nyebrang Jembatan Ampera pakai kursor. Atau turis Jerman duduk di kafe Berlin, tapi di layar dia sudah nyemplung ke Danau Ranau tanpa basah-basahan. Semua berkat virtual tour dan kecerdasan buatan alias AI. Cakep? iya, lucu? juga iya…., tapi yang paling penting, apakah ini bisa jadi jurus andalan bikin pariwisata Sumsel naik kelas?.
Sekda Sumsel, Pak Edward Candra, sudah buka suara, transformasi digital itu bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Betul juga, di era sekarang siapa yang nggak ikut digital, siap-siap ketabrak zaman. Ingat pepatah lama “Tak pandai berenang, jangan marah kalau hanyut”. Nah, kalau daerah nggak bisa berenang di arus digital, ya… jangan kaget kalau tenggelam di tengah persaingan pariwisata global.
Konsep virtual tour sebenarnya mirip mantan, bisa kasih gambaran indah, tapi belum tentu realita sesuai ekspektasi. Wisatawan diajak jalan-jalan online dulu, kayak test drive sebelum beli mobil. Masalahnya, jangan sampai tour-nya mulus, tapi begitu turis beneran datang, malah ketemu jalan bolong, toilet bau, atau tukang parkir liar yang suka ngedumel kayak komentator bola.
Contoh belum maksimal?, silakan cek beberapa destinasi yang sudah dicoba virtual tour-nya. Gambarnya kinclong kayak diiklanin selebgram, tapi fasilitas di lapangan?. Wi-Fi lemot, guide masih minta bayaran cash (padahal udah eranya QRIS), bahkan ada objek wisata yang belum ada papan informasi memadai. Nah, kalau begini, AI bisa pintar, tapi yang offline malah bikin turis bingung.
Kecerdasan buatan bisa bantu banyak hal, bikin rekomendasi paket wisata, analisis data kunjungan, sampai bikin turis mancanegara ngerti bedanya pempek kapal selam dan pempek kulit. Tapi, AI juga butuh bahan, Kalau data dasar masih bolong, ya hasilnya ngawur. Garbage in, garbage out……
Contoh nyata?, Ada aplikasi pariwisata yang katanya AI-based, tapi rekomendasinya absurd, turis disuruh jalan kaki 12 km dari pusat kota ke hutan lindung, padahal akses mobil ada. Lah, AI-nya pintar apa suruh turis jadi atlit marathon?
Pak Sekda udah ngajak pemerintah kabupaten/kota, akademisi, pelaku usaha, sampai komunitas kreatif buat kolaborasi. Mantap, tapi kalau ujung-ujungnya cuma rapat-rapat di hotel, isi daftar hadir, terus pulang bawa goodie bag? Ya wassalam…. Transformasi digital nggak bisa cuma jadi pesta sendiri yang rame di awal lalu sepi kayak warung nasi uduk jam 11 malam.
Kuncinya, libatkan masyarakat lokal, kalau ibu-ibu penjual songket bisa masuk platform digital, atau abang becak bisa dapat order via aplikasi. Itu baru namanya digitalisasi yang inklusif, bukan hanya sekadar upload foto destinasi lalu ditinggal tidur siang.
Mari kita jujur, kadang ada penyakit klasik, semangat digitalisasi, tapi lebih heboh di launching daripada keberlanjutan. Hari H acara meriah, baliho segede tembok, MC pakai jas kinclong, tapi setelah itu aplikasi ngadat, situs web nggak bisa diakses, server down kayak dompet tanggal tua.
Pepatah bilang “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama, proyek mati meninggalkan website error 404”, jangan sampai pariwisata Sumsel ikut-ikutan tren itu.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan masalah infrastruktur digital serius, sebab percuma punya virtual tour canggih kalau di destinasi sinyal hilang-hilangan kayak mantan yang susah move on, investasi internet merata wajib hukumnya.
Bikin pelatihan SDM lokal, AI boleh pintar, tapi manusia harus lebih bijak, beri pelatihan ke pemandu wisata, pelaku UMKM, hingga pengelola destinasi biar siap digital.
Monitoring Ketat, maksudnya setiap proyek digitalisasi harus ada evaluasi rutin, jangan cuma dipajang di laporan tahunan dan integrasi data, satu platform terpusat biar nggak ada tumpang tindih, jangan sampai turis bingung, aplikasi A bilang buka, aplikasi B bilang tutup.
Transformasi digital pariwisata bukan berarti kita harus ninggalin realita, virtual tour itu pintu masuk, tapi ujungnya tetap wisata nyata, turis datang, belanja, nginep, dan cerita balik ke negaranya, jangan sampai wisatawan puas di layar tapi kecewa di lapangan.
Seperti pepatah “Jangan hanya pandai bersolek di cermin, tapi lupa mandi di dunia nyata”. Sumsel boleh kinclong di metaverse, tapi lapangan harus sama kerennya.
Transformasi digital pariwisata Sumsel ini ibarat kapal besar di Sungai Musi, mesinnya sudah nyala (AI, virtual tour), tapi kalau nahkodanya cuma sibuk selfie di dek kapal, ya kapal bisa muter-muter di tengah arus.
Editorial ini cuma mau bilang, jangan biarkan digitalisasi jadi proyek seremonial, harus ada tindak lanjut nyata, dari infrastruktur, SDM, sampai keberlanjutan, dengan begitu, pariwisata Sumsel bisa benar-benar melaju, bukan cuma jadi cerita lucu di press release.
Akhir kata, mari kita ingat pepatah nenek moyang biar lambat asal selama, namun untuk pariwisata digital Sumsel, harus ada tambahan “Biar cepat asal tepat, jangan cepat asal sempat”.
Kalau ini bisa diwujudkan, bukan mustahil Sumsel bisa viral, bukan cuma di medsos, tapi juga di hati wisatawan mancanegara, dari Musi ke Metaverse, dari layar ke kenyataan.[***]