BIASANYA orang ke Bali demi lihat Ogoh-ogoh dan upacara Ngaben yang megah, sekarang ceritanya lain, tidak perlu tiket pesawat mahal, tidak perlu jatah cuti habis di jalan, dan tidak perlu pusing mikirin tarif hotel di Kuta yang kadang lebih bikin kering kantong daripada keringat pas lari 5 km. Cukup datang ke Desa Tommo, Mamuju, Sulawesi Barat, dan anda bisa merasakan sensasi Bali rasa Sulbar.
Ya, Desa Tommo ini ibarat sate lilit yang dimakan di pinggir sawah jagung, rasanya tetap Bali, tapi lokasinya di tanah Mandar. Orang bilang, “Tak ada rotan akar pun jadi”. Nah, di sini pepatahnya tak sempat ke Bali, Tommo pun jadi.
Desa Tommo ini bukan sekadar nama yang mirip kayak “Tomo and Jerry”, tapi punya sejarah panjang. Tahun 1983, warga Bali datang ke Sulawesi Barat lewat program transmigrasi. Mereka bawa bibit jagung, semangat kerja keras, dan tentu saja budaya Hindu Bali yang sampai sekarang masih melekat. Hasilnya? Tommo jadi semacam “Bali mini” di tengah perkebunan jagung.
Kalau di Bali orang bikin sesajen di Pura, di Tommo juga ada, kalau di Bali ada Nyepi, di Tommo pun sama, bahkan parade Ogoh-ogoh sehari sebelum Nyepi di sini bukan kaleng-kaleng. Boneka raksasa itu diarak keliling desa sambil bikin bulu kuduk wisatawan merinding sekaligus ngakak, karena bentuknya kadang lebih mirip tokoh sinetron daripada raksasa jahat.
Sementara itu, Ngaben Massal yang berlangsung tiga tahun sekali juga jadi magnet wisata, banyak orang bilang, “Kalau mau lihat Ngaben, ke Bali saja.” Eh, sekarang salah besar, ngaben massal di Desa Tommo bisa jadi alternatif. Jadi, masyarakat Sulbar dan sekitarnya tak perlu jauh-jauh ke Bali hanya untuk ikut menyaksikan prosesi sakral ini. Hemat ongkos, hemat waktu, tapi tetap dapat hikmah budaya.
Yang bikin Desa Tommo makin unik bukan cuma karena budaya Bali-nya yang lestari, tapi karena desa ini juga dihuni Bugis, Mandar, Toraja, Jawa, Sunda pokoknya Indonesia mini. Bayangkan Ogoh-ogoh beriringan dengan musik tradisional Mandar, atau warga Toraja ikut nimbrung menonton Ngaben.
Pepatah bilang dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di Tommo pepatahnya lebih kreatif dimana jagung ditanam, di situ Ogoh-ogoh diarak. Harmoni ini bukan teori di seminar, tapi nyata di kehidupan sehari-hari. Jadi kalau ada yang bilang Indonesia cuma bisa bersatu pas nonton timnas bola, silakan main ke Tommo. Di sini, persatuan itu bukan jargon, tapi menu harian.
Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa yang datang ke Tommo langsung ngegas ide desa ini harus jadi Desa Wisata andalan Mamuju. dan memang masuk akal, kalau dikemas dengan paket wisata, Tommo bisa jadi magnet.
Bayangkan brosur wisata “Paket Hemat Bali Rasa Sulbar Saksikan Ogoh-ogoh & Ngaben, Gratis Jagung Bakar.”
“Liburan Spiritual, meditasi Nyepi di Tommo, Sambil Selfie di Ladang Jagung.”
Lucu? Iya. Menghibur? jelas, tapi dampaknya serius perekonomian warga naik, UMKM jalan, dan Tommo bisa jadi role model desa wisata berbasis komunitas.
Kadang kita terlalu terjebak budaya itu eksklusif, ogoh-ogoh harus di Bali, Reog hanya di Ponorogo, Tor-tor hanya di Batak. Padahal budaya itu seperti air mengalir, bisa hidup di mana saja selama ada yang merawatnya, dan Desa Tommo adalah buktinya.
Masyarakat Bali di rantau tidak hanya berhasil bertahan hidup, tapi juga membangun ruang harmoni baru, di tengah jagung yang melambai, Ogoh-ogoh tetap gagah, di antara warga Bugis dan Mandar, Ngaben tetap khidmat.
Kalau ada yang bilang budaya hanya bisa berkembang di tanah asal, Desa Tommo bisa dengan santai menjawab “. Nih buktinya, bro, Bali rasa Sulbar juga bisa”.
Desa Tommo bukan sekadar cerita tentang transmigran, bukan pula sekadar desa jagung. Tommo adalah potret tentang bagaimana budaya bisa melintasi batas, beradaptasi, dan tetap hidup. Ogoh-ogoh dan Ngaben di sini bukan sekadar atraksi wisata, tapi simbol bahwa perbedaan bisa jadi kekuatan.
Jadi, kalau nanti ada yang bertanya, “Mau lihat Ogoh-ogoh di mana selain Bali?” atau “Ngaben Massal di luar Bali ada nggak sih?”, jawab saja ada! di Desa Tommo, Mamuju, Sulawesi Barat. Bali rasa Sulbar, paket lengkap budaya dan wisata, karena pada akhirnya, seperti kata pepatah dagelan tak perlu jauh ke Pulau Dewata, kalau di Sulbar sudah ada surga budaya.[***]