Sumselterkini.co.id – Kondisi geopolitik dunia makin dipenuhi ketidakpastian. Konflik dan peperangan meletus di berbagai belahan dunia. Perang Rusia-Ukraina yang tidak kunjung selesai, konflik Israel-Hamas terus mengeskalasi yang mengakibatkan korban sipil berjatuhan, hingga peningkatan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Kondisi Geokonomi juga makin menunjukkan nuansa persaingan. Makin banyak negara mendorong kebijakan proteksionisme yang mengganggu rantai pasok global.
Di tengah kondisi global yang tidak menentu, Ganjar-Mahfud akan mendorong gagasan Otonomi Strategis agar Indonesia tidak ikut terseret ke dalam konflik kepentingan antarnegara adidaya. “Otonomi Strategis seyogyanya menjadi bagian integral dari prinsip Bebas-Aktif yang merupakan fondasi kebijakan luar negeri Indonesia. Selama ini, Bebas-Aktif banyak diterjemahkan sebagai netralitas. Pemahaman ini perlu redefinisi,” ujar Rizal Sukma (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya, Irlandia, dan International Maritime Organization), Senin (15/1/2024). Bebas-Aktif menurut Ganjar-Mahfud adalah keleluasaan menentukan posisi yang 100% sejalan kepentingan nasional.
Penguatan kapasitas nasional menjadi syarat kunci dalam mewujudkan Otonomi Strategis. Namun, kondisi terkini menunjukkan tren pelemahan kapasitas nasional untuk mendukung diplomasi yang efektif. “Skor Indonesia dalam Asia Power Index yang dirilis Lowy Institute mengalami tren penurunan. Tahun 2019, Indonesia mencatatkan skor power sebesar 20,6. Tahun 2023, skor Indonesia turun menjadi 19,4,” jelas Andi Widjajanto (Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud). Indonesia dikategorikan sebagai kekuatan menengah (middle power). Indonesia setidaknya harus mencatatkan skor 40 untuk menjadi kekuatan besar (major power) di kawasan. Ganjar-Mahfud akan mempercepat penguatan kapasitas nasional di segala dimensi agar Indonesia menjadi kekuatan maritim Indo-Pasifik, sebagai Garda Samudra (Guardian of the Seas) yang mampu menjalankan diplomasi maritim yang membawa manfaat secara konkret dan diakui global.
“Sebagai Garda Samudra, pelindungan kawasan maritim harus menjadi salah satu komitmen utama,” menurut Rizal Sukma. Kekhawatiran terbesar yang muncul dari wilayah kemaritiman kawasan adalah sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Tiongkok dengan beberapa negara tetangga kita di ASEAN. Sebagai negara non-claimant, Indonesia akan terus berkiblat pada UNCLOS yang sudah mengatur regulasi luas kawasan bagi tiap-tiap negara berdaulat yang memiliki kawasan maritim. Kesepakatan antara ASEAN dengan Tiongkok terkait Laut Tiongkok Selatan telah kita lakukan melalui Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan Code of Conduct in the South China Sea (COC). Namun, proses negosiasi yang telah berjalan selama lebih dari 20 tahun tidak menghasilkan hasil yang berarti untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai. Ganjar-Mahfud akan mendorong kesepakatan interim antara ASEAN-Tiongkok terkait penanganan insiden dan utamanya kesepakatan mengenai aturan main serta Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya insiden dan konflik. Selain itu, revitalisasi dari ASEAN didorong agar yang mengganggu stabilitas Asia Tenggara layaknya sengketa Laut Tiongkok Selatan akan bisa diselesaikan dengan lebih cepat. Revitalisasi dilakukan antara lain dengan mendorong revisi Piagam ASEAN, khususnya mengenai mekanisme pengambilan keputusan dan menambahkan perihal mekanisme penanganan krisis.
Indonesia juga harus mampu berperan aktif memperjuangkan ketertiban dunia. Permasalahan mendesak yang harus segera didorong penyelesaiannya adalah krisis kemanusiaan di Gaza. “Kami berkomitmen penuh mendukung kemerdekaan dan kedaulatan penuh rakyat Palestina. Kami akan meluncurkan Indonesia Gaza Initiative untuk mempercepat pengiriman bantuan, membangun ulang Rumah Sakit Indonesia di Gaza, mendorong pemulihan kehidupan masyarakat di Gaza,” ucap Andi Widjajanto.
Penguatan keterlibatan dalam rantai pasok global menjadi prioritas Ganjar-Mahfud untuk memperkuat posisi Indonesia dalam dinamika geoekonomi global. Akan tetapi, berdasarkan data Global Connectedness Index yang dirilis oleh DHL menunjukkan bahwa tren globalisasi keterhubungan Indonesia di berbagai aspek, termasuk perdagangan, terus menurun. “Tahun 2017, Indonesia mencatatkan skor konektivitas sebesar 42, di periode 2019 hingga 2020 mengalami penurunan skor hingga 39,” ungkap Reine Prihandoko (Anggota Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud). Penurunan yang disebabkan oleh Covid-19 tersebut harus segera dipulihkan. Aktivitas ekspor dari UMKM serta Koperasi perlu didorong karena memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Kerja sama perdagangan yang selama ini telah terjalin harus dioptimalisasi untuk meningkatkan surplus neraca perdagangan Indonesia.
Masyarakat Indonesia banyak yang memiliki potensi dan bakat untuk menjadi representasi di dunia Internasional. “Di budaya populer, seniman berbakat seperti NIKI, Rich Brian, dan Voice of Baceprot perlu kita dukung. Mereka modal kita dalam melakukan diplomasi budaya dan menjadi pilar ekspor ekonomi kreatif Indonesia,” ujar Ganjar pada saat debat ketiga (7/1) kemarin. Diaspora Indonesia juga menjadi modal besar dalam diplomasi Indonesia. Mereka tersebar di berbagai negara. Banyak di antaranya memiliki skill tinggi dan bekerja di perusahaan-perusahaan top dunia. Contohnya adalah Dr. Carina yang merupakan ilmuwan Indonesia yang ikut menemukan vaksin Covid-19 di Oxford. Pengetahuan dan pengalaman mereka dapat bermanfaat bagi pembangunan nasional. Ganjar-Mahfud akan mendorong penyusunan Peta Potensi Diaspora yang akan memudahkan interaksi dan menjalin kolaborasi.
Banyaknya masyarakat Indonesia di luar negeri menjadikan perlindungan terhadap mereka sebagai prioritas. Ganjar-Mahfud akan terus memberikan dukungan terhadap perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai garda terdepan perlindungan WNI. KTP Sakti yang mencakup diaspora juga diluncurkan untuk mewujudkan pelayanan prima terhadap masyarakat Indonesia di luar negeri.
Infrastruktur diplomasi harus diperkuat agar Indonesia mampu menarik manfaat konkret hubungan internasional. Diplomat akan menjadi garda terdepan dalam perjuangan kepentingan nasional. Strategi diplomasi perlu ditata, khususnya untuk memperjuangkan isu-isu yang bernilai strategis. “Kami akan menugaskan Duta Besar Siber dan Teknologi Kritis serta Duta Besar Krisis Iklim yang akan menjadi garda untuk menggali potensi kerja sama, sekaligus untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam isu-isu kekinian,” tegas Ganjar saat menutup debat ketiga kemarin.[***]