Nasional

Si Penjaga Bumi yang Sering Dilupakan, Jantung Dunia yang Mengalir di Sebangau

ist

Sumselterkini.co.id, – Bayangkan ada makhluk pendiam, tak suka sorotan, tinggal diam di tempatnya selama ribuan tahun. Tapi sekali dia marah, dia bisa bikin suhu bumi naik setengah derajat. Itulah gambut si introvert ekologis yang ternyata bisa jadi pahlawan super sekaligus pembawa bencana.

Dan pagi itu, di Pelabuhan Kereng Bengkirai, Kalimantan Tengah, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni berangkat menumpang speedboat. Bukan buat piknik, tapi buat meninjau langsung denyut nadi ekosistem yang selama ini sering disepelekan Taman Nasional Sebangau.

“Berkunjung ke Sebangau itu bukan cuma lihat hutan, tapi menyaksikan perjuangan panjang menyelamatkan dunia,” ujar Raja Antoni, yang kali ini lebih mirip duta lingkungan global ketimbang pejabat kementerian mengutip laman resmi kehutanan.go.id.

Kenapa? Karena gambut di Sebangau bukan hutan biasa. Ia adalah penyimpan karbon raksasa. Satu hektar lahan gambut bisa simpan karbon 10 kali lebih banyak dibanding hutan tropis biasa. Tapi kalau kering, ia bisa jadi bom waktu iklim. Contohnya? Tengok ke arah utara sedikit.

Kita bisa belajar dari Finlandia. Negeri yang tenang dan penuh danau itu dulunya juga punya banyak lahan gambut. Tapi karena dikeringkan besar-besaran buat industri dan pertanian, sekarang mereka harus membayar mahal emisi karbon dari lahan gambut yang rusak menyumbang lebih dari 50% emisi sektor pertanian mereka.

Atau Inggris Raya, yang akhirnya membuat strategi nasional untuk rewetting gambut karena mereka sadar keringkan satu hektar, lepas karbon ratusan ton. Negara-negara Skandinavia, bahkan Jepang, mulai serius restorasi karena sadar tanpa gambut, target iklim tinggal angan-angan.

Sementara itu, di Indonesia khususnya di Sebangau kita justru sedang memulihkan. Bukan balik kanan, tapi putar balik haluan. Inilah yang bikin Indonesia punya harapan jadi pemimpin global dalam restorasi ekosistem. Tentu, asal kerja kolaborasinya gak ngambek di tengah jalan.

Dulu, kanal-kanal digali seperti mie instan cepat dan banyak. Tujuannya, mengeringkan gambut buat akses penebangan. Akibatnya, tanah retak, kebakaran meledak, dan masyarakat sekitar hanya bisa pasrah sambil ngelap air mata dari asap pekat.

Tapi sekarang? Udah ada 2.000 sekat kanal yang dibangun, meski tinggal 400-an yang masih berfungsi baik. Sisanya? Butuh direparasi, kayak hubungan yang sempat renggang tapi masih ada harapan balikan.

Dan itu baru satu bab. Masih ada pemberdayaan masyarakat baru 20 desa yang terlibat dari total 40 desa di sekitar TN Sebangau. Artinya, separuh masyarakat masih belum merasakan manfaat langsung. Kalau kita mau perubahan nyata, masyarakat harus dilibatkan sejak dari akar.

Gambut bukan hanya urusan Indonesia. Ini urusan global. Di forum-forum perubahan iklim seperti COP, peatland mulai disebut-sebut sebagai kunci penting. Karena ketika negara lain sibuk cari teknologi canggih untuk serap emisi, kita punya solusi alami yang sudah ada dari dulu dan tinggal kita rawat.

Taman Nasional Sebangau itu ibarat ATM karbon dunia. Jangan sampai gara-gara digaruk, dunia bangkrut. Raja Antoni pun menegaskan “kalau kita gagal jaga Sebangau, kita bukan cuma merusak hutan, tapi kita juga gagal jaga janji kita ke bumi.”

Di dunia yang makin panas, kadang solusi justru datang dari tempat yang basah. Di saat banyak negara sibuk adopsi mobil listrik dan teknologi karbon capture, kita bisa bilang dengan bangga “Bro, kita punya gambut.” Tentu, bukan pekerjaan gampang. Restorasi itu kayak bikin sambel  butuh sabar, telaten, dan harus pas takarannya. Tapi kalau berhasil? Rasanya nendang, hasilnya menyelamatkan.

Sebangau bukan lagi halaman belakang yang dibiarkan terbakar tiap musim kemarau. Ia kini jadi laboratorium hidup, tempat Indonesia nunjukin ke dunia,  bisa jadi pelindung, bukan perusak.Tentu, bukan pekerjaan gampang. Restorasi itu kayak bikin sambel, butuh sabar, telaten, dan harus pas takarannya. Tapi kalau berhasil? Rasanya nendang, hasilnya menyelamatkan.

Sebangau bukan lagi halaman belakang yang dibiarkan terbakar tiap musim kemarau. Ia kini jadi laboratorium hidup, tempat Indonesia nunjukin ke dunia kami bisa jadi pelindung, bukan perusak. Sebangau bukan dengan tangan kosong, tapi dengan harapan penuh lumpur-lumpur yang menyimpan masa depan.

Lahan gambut itu kayak warisan nenek moyang yang kita warisi diam-diam. Kita sering lupa, tapi dia selalu ada, menyimpan cadangan kehidupan buat masa depan. Dari Sebangau, kita belajar bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil  membasahi kembali yang sempat kita keringkan. Bukan cuma tanah, tapi juga kesadaran. Kalau negara maju bisa panik kehilangan gambut, kenapa kita yang punya harus santai-santai sambil ngopi?

Jadi mari jaga Sebangau. Bukan cuma karena dia penting buat satwa liar, bukan cuma karena dia indah buat wisata, tapi karena dia bisa jadi alasan bumi ini nggak terlalu cepat pensiun.

Dan kalau suatu saat anak cucu kita tanya :  “Dulu kalian ngapain pas bumi makin panas?”

Kita bisa jawab :  “Kami ikut nyekat kanal dan nulis cerita lucu tentangnya, Nak. Tapi isinya serius kok.”[***]

Terpopuler

To Top