Sumselterkini.co.id, – Waktu menunjukkan hampir tengah malam, tapi suasana di Candi Borobudur bukannya meredup justru makin terang benderang. Bukan karena lampu disko atau konser Didi Kempot Reborn, melainkan karena ribuan lampion yang melesat naik ke langit, kayak balon gas yang dilepas emak-emak habis arisan. Tapi jangan salah, ini bukan acara ulang tahun anak komplek. Ini Waisak, Bro. Serius tapi syahdu. Sakral tapi adem kayak es kelapa muda.
Kalau biasanya malam-malam orang tidur sambil ngorok dan berpelukan sama bantal guling, malam itu ribuan umat Buddha justru larut dalam meditasi, doa, dan ketenangan batin yang nggak bisa dibeli di e-commerce mana pun. Dipimpin Bhante yang suaranya tenang tapi tembus sampai ke ubun-ubun doa dipanjatkan, bukan cuma buat diri sendiri, tapi buat se-planet bumi. Dari Indonesia, Asia, sampai Antartika ya, siapa tahu ada penguin yang juga butuh kedamaian.
“Pancarkanlah kepada seluruh Indonesia. Pancarkanlah terus menerus pada seluruh manusia di dunia ini… semoga cahaya terang ini dari dalam dan luar diri kita menerangi dunia lebih terang lagi,” ujar Bhante, dengan suara selembut busa sabun bayi.
Lampion-lampion itu bukan sekadar lucu-lucuan atau konten buat feed Instagram. Mereka adalah simbol harapan, doa, dan cita-cita. Setiap lampion terbang itu ibarat surat cinta ke semesta. Ada yang titip doa biar jodoh cepat datang, ada yang minta cicilan lunas, ada juga yang sekadar ingin dunia adem ayem, nggak terus-terusan ribut kayak grup WA RT.
Perlahan, lampion naik tinggi. Makin ke atas, makin kecil. Dari bawah, kelihatan kayak kunang-kunang yang lagi reuni akbar. Dan di bawahnya, umat Buddha terus memanjatkan doa. Batin yang sudah dibersihkan lewat meditasi diibaratkan kayak wajan baru bening, nggak lengket, dan siap dipakai masak kebaikan.
Acara Waisak ini bukan cuma milik umat Buddha. Ini adalah momentum nasional, bahkan internasional, untuk belajar tentang rukun, damai, dan saling menghargai. Sebuah pepatah lama bilang “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Tapi di Borobudur malam itu, langit dijunjung literal dengan ribuan lampion penuh harapan yang melayang kayak parade impian.
Lucunya, di saat sebagian orang sibuk cari perbedaan dan debat kusir soal keyakinan, umat Buddha justru ngajarin cara paling lembut untuk berdakwah lewat doa dan ketenangan. Nggak pake toa, nggak pake spanduk, tapi masuk langsung ke hati.
Indonesia ini kan ibarat soto campur ada lontong, tauge, bihun, kuah santan, dan kerupuk. Tapi justru enak karena campurannya. Kalau semua isinya cuma ayam doang, ya itu namanya bukan soto, tapi opor. Begitu juga dengan kehidupan beragama kita. Berbeda-beda, tapi tetap bisa satu meja makan bakso bareng.
Momentum Waisak di Borobudur ini bisa jadi contoh, bahwa ritual keagamaan bisa berjalan damai, penuh makna, dan menyentuh siapa saja tak peduli agamanya apa. Bahkan yang cuma datang karena ikut keluarga atau sekadar penasaran pun bisa kena getarannya.
Borobudur malam itu bukan cuma panggung doa, tapi juga panggung persatuan. Lampion-lampion yang melayang ke langit bukan sekadar terang fisik, tapi metafora harapan umat manusia akan dunia yang lebih waras dan damai.
Semoga kita semua, tanpa perlu jadi Bhante atau bikin lampion sendiri di rumah, bisa jadi cahaya kecil yang menerangi sekitar. Sebab, seperti kata pepatah “Pelita tak pernah menanyakan siapa yang akan disinari, dia hanya menyala”. Dan siapa tahu, dari sebuah lampion yang melayang di langit Borobudur, kedamaian pelan-pelan menjalar seperti sinyal WiFi membungkus bumi dengan cahaya kebaikan.
Kalau ada Waisak di Borobudur, ayo kita belajar. Bukan cuma soal tradisi dan lampion, tapi soal hati. Karena pada akhirnya, semua agama mengajarkan hal yang sama jadi manusia yang lebih baik. Dan kalau bisa, jadi juga manusia yang lucu. Biar dunia nggak tegang-tegang amat.[***]