Nasional

Kampus Inggris Turun Gunung di Singhasari

ist

Sumselterkini.co.id, – Ada kalanya kita tidak perlu jauh-jauh merantau ke London untuk bisa merasakan dinginnya standar pendidikan internasional, sebab kini, kampus dari negeri Ratu Elizabeth malah yang berinisiatif buka cabang di Singhasari.

Ya, benar! King’s College London, kampus kenamaan asal Britania Raya yang biasanya cuma bisa dipandang dari poster beasiswa LPDP, sekarang hendak dibangun fisiknya di tanah Indonesia.

Lokasinya pun strategis di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari, yang konon digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Jawa Timur. Gaya banget, ya? Tinggal nunggu Elon Musk buka warung pecel, lengkap sudah vibe internasionalnya.

Tapi, tunggu dulu. Jangan dulu menari di atas meja, jangan-jangan ini bukan pesta untuk semua orang, jangan-jangan, kita ini cuma diajak rame-rame buat tiup lilin, tapi kue-nya cuma buat yang duduk di depan.

Presiden Prabowo disebut sangat antusias dalam pertemuan dengan Delegasi Inggris bahkan katanya, beliau meminta percepatan. Jangan nunggu 10-15 tahun, langsung tancap gas. Ini  ibaratnya  belum bikin dapur tapi sudah beli panci lima biji, niatnya  oke, tapi eksekusinya harus lebih baik dan ada asa.

Kampus King’s College London itu ibarat Ferrari di tengah parkiran angkot, memang keren, mengkilap, dan bisa ngebut, namun kalau yang boleh nyetir cuma anak-anak sultan, ya.. rakyat biasa paling cuma bisa selfie dari jauh sambil berkata lirih, “Itu kampus mimpi saya”.

Oleh karena itu, kita perlu bertanya untuk siapa kampus ini?. Apakah untuk anak-anak muda kita yang tiap hari berjuang dengan sinyal Wi-Fi lelet dan keringat les privat, ataukah hanya untuk para ekspatriat dan keturunan bangsawan industri yang dompetnya sudah tidak tahu rasanya sobek?.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bilang bahwa targetnya adalah menjangkau 10.000 mahasiswa. Itu kabar yang menarik. Tapi pertanyaan lanjutannya siapa yang akan mengisi 10.000 kursi itu? Apakah anak-anak buruh pabrik, anak petani, dan anak nelayan yang punya semangat belajar tinggi tapi tabungan receh? Atau ini cuma akan jadi etalase pendidikan global, tempat geng elite intelektual bisa memamerkan gelar “alumnus kampus asing” tanpa perlu pindah benua?.

Boleh-boleh saja bangga. Tapi jangan sampai kita hanya jadi tukang jagain rumah mewah yang bukan milik sendiri. Di negeri sendiri, kok malah jadi penjaga pagar?

Kalau memang mau menyerap pendidikan internasional, ya harus dengan skema yang adil dan berpihak. Jangan sampai kampus Inggris-nya datang, sistemnya keren, fasilitasnya aduhai, tapi anak lokal malah cuma jadi cleaning service magang. Jangan cuma kolaborasi soal brosur, tapi tak ada transfer ilmu yang serius ke kampus dalam negeri. Kalau begitu caranya, mending kita sewa Netflix edukasi sekalian, murah meriah tapi tetap dapat manfaat.

Malaysia sudah lebih dulu melangkah, mereka berhasil jadi tuan rumah bagi kampus asing, dan yang kuliah di situ bukan hanya anak orang kaya, tapi juga anak bangsa biasa yang mendapat beasiswa dan subsidi pemerintah. Di sana, kampus asing betul-betul masuk sistem pendidikan nasional, bukan sekadar buka cabang buat branding.

Kita perlu belajar dari itu, jangan cuma silau melihat nama besar Russell Group, lalu segala kebijakan pendidikan ditundukkan seperti rakyat di depan bangsawan. Ya betul, Russell Group itu top banget 24 kampus elite Inggris yang risetnya mendunia. Tapi jangan lupa, kampus sebagus apapun tak akan berguna kalau pintunya tak dibuka untuk rakyat banyak.

Pendidikan itu seharusnya seperti nasi uduk. Wangi, bergizi, dan bisa dijangkau siapa saja, mulai dari tukang ojek sampai pengusaha tambang. Kalau pendidikan hanya jadi menu eksklusif restoran bintang lima, ya yang kenyang cuma segelintir orang. Yang lain hanya bisa mencium aromanya dari luar jendela.

Dalam pertemuan 2,5 jam di Hambalang baru-baru ini, kata Menteri Airlangga, Presiden menekankan pentingnya sinergi pendidikan dengan pemenuhan gizi lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Nah, ini menarik.

Artinya, Presiden paham bahwa otak yang cemerlang tak bisa tumbuh dari perut yang keroncongan. Tapi ingat, setelah kenyang, anak-anak itu juga harus punya kesempatan belajar yang adil dan berkualitas. Jangan sampai sudah kenyang, tapi tetap tidak diterima di kampus-kampus elite itu, karena biaya atau kuota penuh oleh mahasiswa luar.

Inggris sendiri bilang bahwa kampusnya nanti akan membawa kualitas setara dengan institusi aslinya di UK. Bahkan dengan harga lebih murah dan disesuaikan dengan lokal. Wah, semoga bukan janji manis ala iklan pemutih gigi putihnya hanya di awal brosur, kelanjutannya bikin sakit dompet.

Kalau bisa murah, ya benar-benar murah, jangan harga London dikurskan mentah-mentah jadi harga Rupiah. Ingat, UMR kita belum tentu bisa beli teh tarik di Oxford.

Program yang dijanjikan meliputi sarjana, pascasarjana, hingga riset dan pelatihan. Itu bagus. Tapi ingat, jangan cuma kasih ‘kelas’, tanpa ‘akses’. Dan jangan lupa dosen-dosen lokal juga harus ikut dilibatkan, jangan hanya jadi penonton dari bangku belakang. Kolaborasi sejati itu bukan dominasi, tapi simfoni.

Mereka juga janji akan libatkan dunia industri. Nah ini! kalau serius, bikin saja riset bersama dengan UMKM lokal, industri pertanian, teknologi ramah lingkungan, atau bahkan bikin inkubator startup di kampus. Jangan cuma kolaborasi soal seminar dan foto Instagram.

Sebetulnya, kalau dirancang dengan tepat, kehadiran kampus internasional seperti ini bisa mempercepat mimpi besar Indonesia Emas 2045. Tapi kalau salah langkah, ya malah bisa jadi lubang baru ketimpangan sosial yang makin kentara, pendidikan makin elitis, dan rakyat cuma jadi tukang antar galon untuk mahasiswa internasional.

Maka dari itu, pemerintah harus menyiapkan regulasi yang cerdas, buat skema beasiswa afirmatif untuk siswa daerah tertinggal, kolaborasikan riset antaruniversitas, dan pastikan sertifikasi kampus asing tetap tunduk pada standar nasional. Dan satu lagi  awasi harga sewa kos-kosan di sekitar kampus. Jangan sampai warga Singhasari yang dulunya jualan soto, sekarang malah diusir karena tanahnya dibeli untuk bangun apartemen mahasiswa internasional.

Pendidikan itu bukan dagangan, tapi investasi peradaban. Jangan sampai kita undang tamu agung dari luar negeri, tapi lupa mempersilakan anak kandung sendiri duduk di meja makan.

Jangan sampai King’s College London berdiri megah di tengah Indonesia, tapi generasi muda kita malah lari ke TikTok karena kuliah rasanya makin jauh dari jangkauan. Kata pepatah “Air hujan boleh datang dari langit, tapi jangan sampai sawah sendiri malah kering kerontang”. Semoga sukses. [***]

Terpopuler

To Top