PERUSAHAAN besar udah mangkal di Muba, tapi karyawan dari luar daerah terus yang direkrut, warga lokal cuma kebagian senyum dari balik pagar. Lho, ini tenaga kerja lokal atau hanya lokal di KTP doang? DPRD dan Pemkab pun turun tangan kayak emak-emak ngamuk, karena anaknya diselingkuhin perusahaan.
Oleh sebab itu, kalau bisa kerja itu di kampung sendiri, ngapain jauh-jauh ke kota tetangga cuma buat jadi tukang seduh kopi di perusahaan orang?. Begitu kira-kira suara hati warga Musi Banyuasin (Muba) yang mulai jengah jadi tamu di kampungnya sendiri.
Untungnya, Pemkab Muba dan DPRD-nya kayak sepasang sandal jepit, meski kadang beda arah, tapi tetap sepasang, jalan bareng demi satu tujuan menekan angka pengangguran lewat Perda Nomor 2 Tahun 2020.
Isinya? Pokoknya perusahaan wajib utamakan tenaga kerja lokal, bukan tenaga kerja “lokal-lokalan”, puluhan perusahaan dikumpulin di ruang rapat DPRD, mulai dari yang ngurusin sawit sampai yang doyan gali-gali tambang, semua diminta dengerin baik-baik. “Hei, jangan cuma gali sumber daya, gali juga potensi warga sekitar!”
Ketua Komisi IV DPRD Muba, Pak Edi Hariyanto, tampil kayak Ketua RT bagi-bagi bansos, tegas tapi tetap santun. “Perda ini bukan buat pajangan, tapi buat dipakai. Masa kita punya warga, tapi yang kerja malah orang luar? Kan miris. Kayak punya sumur di halaman, tapi masih beli air galon,” katanya sambil ngegas pelan.
Wakilnya, Pak Ahmadi, juga nggak kalah semangat, beliau menambahkan, satu orang lokal yang diterima kerja itu sama aja menyelamatkan satu keluarga dari jurang kemiskinan. “Kalau bisa dua, ya bonus. Tapi kalau semua tenaga kerjanya diimpor, ya kami undang DJ Katty Butterfly sekalian buat ngisi acara perusahaan!” gurau beliau yang disambut ketawa tipis penuh arti dari peserta rapat.
Plt Asisten I Setda Muba, Pak Ardiansyah, juga buka suara. Katanya, Muba itu welcome banget sama investor. Tapi welcome bukan berarti disuruh masuk, terus bebas nyanyi karaoke sampai pagi.
Harus ada kontribusi. CSR jangan cuma jadi slogan, tapi jadi program. Jangan kayak undangan manten rame-rame waktu datang, setelah itu hilang tanpa kabar. Usulan pembentukan asosiasi perusahaan juga sempat mencuat. Harapannya sih biar lebih gampang koordinasi, ibarat grup WA ibu-ibu PKK, semua info dari “rapat sampai arisan” bisa disebar cepat dan efektif.
Sebetulnya, Muba bukan satu-satunya daerah yang ngegas soal pemberdayaan tenaga kerja lokal. Kabupaten Bojonegoro, misalnya, juga menerapkan sistem ketat perekrutan pekerja lokal untuk proyek-proyek migas.
Bahkan di negara jauh kayak Meksiko, pemerintahnya mewajibkan perusahaan tambang dan pabrik buat menyerap tenaga kerja dari komunitas lokal biar nggak jadi sumber konflik sosial. Di sana, kalau perusahaan bandel, masyarakat bisa demo sambil bawa taco dan gitar!.
Kebijakan seperti ini bukan cuma soal kerja dan gaji, ini soal martabat. Soal harga diri sebagai warga asli yang ingin dihargai, jangan sampai warga hanya jadi penonton di tanah sendiri, kayak anak kost yang ngontrak kamar di rumah neneknya sendiri tapi tetap harus bayar uang listrik.
Dengan keseriusan Pemkab dan DPRD Muba, kita berharap perda ini bukan cuma jadi dokumen berdebu di rak arsip. Tapi jadi tiket warga Muba menuju masa depan yang cerah, secerah dompet, secerah dapur, dan secerah masa depan anak-anak.
Kalau semua kompak, bukan tidak mungkin Muba bisa jadi contoh nasional. karena seperti kata pepatah modern “Kalau bisa sejahtera di kampung sendiri, ngapain ngerantau cuma buat makan mie tiap hari?”. Kita doakan, jangan sampai rapat tinggal rapat, Perda tinggal Perda, dan yang kerja tetap orang luar. Kalau gitu, mending ganti nama saja dari “Perda Tenaga Kerja Lokal” jadi “Perda Tenaga Kerja Lokal Tetangga”.[***]