PUTUSAN cepat itu dikeluarkan Pesiden Joko Widodo dimana mulai 12 Januari mendatang, Indonesia akan melaksanakan vaksinasi booster sehingga masyarakat harus siap.
Vaksin booster adalah dosis vaksin tambahan yang dapat memberikan perlindungan ekstra terhadap penyakit. Hal ini karena efek beberapa vaksin dapat hilang seiring berjalannya waktu.
Vaksin booster memungkinkan sistem tubuh untuk mengenali dan merespons virus penyebab penyakit dengan lebih cepat.
“Vaksin booster akan diberikan ke kelompok usia di atas 18 tahun sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),” kata Menteri Kesehatan Budi Sadikin Gunawan dalam konferensi pers melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, belum lama ini.
Syarat lainnya, menurut Budi, vaksinasi booster akan diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan vaksin dosis kedua dengan jangka waktu lebih dari enam bulan
“Kita identifikasi ada sekitar 21 juta sasaran di bulan Januari yang sudah masuk ke kategori ini,” ujar Menteri Budi.
Jumlah itu tersebar di sejumlah wilayah. Vaksinasi booster hanya akan diberikan kepada kabupaten/kota yang capaian vaksinasinya telah memenuhi kriteria 70 persen dosis pertama dan 60 persen dosis kedua.
“Ada 244 kabupaten kota yang sudah memenuhi kriteria tersebut,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Budi mengaku, untuk kebutuhan vaksinasi booster, pemerintah telah mengamankan stok sekitar 113 juta dosis vaksin dari total kebutuhan 230 juta dosis.
Untuk jenis vaksin yang akan digunakan, pemerintah masih menunggu rekomendasi Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sejauh ini Badan POM telah melakukan registrasi terhadap lima vaksin yang akan digunakan sebagai vaksin booster. Kelima merek vaksin tersebut yaitu Pfizer, AstraZeneca, Coronavac/Vaksin PT Bio Farma, Zifivax, dan Sinopharm.
Menurut Kepala Badan POM Penny K Lukito, sejumlah vaksin COVID-19 masih harus dilengkapi datanya dengan melakukan uji klinik. Uji klinik tersebut dilakukan untuk jenis vaksin berbeda yang digunakan dalam vaksin pertama dan kedua atau heterologus dan vaksin jenis yang sama atau homologus.
Menurut Food and Drug Administration (Badan Pengawas Makanan dan Obat, Amerika Serikat), efek samping yang paling sering dialami, oleh individu yang mendapatkan vaksin booster adalah rasa sakit, kemerahan dan bengkak di tempat suntikan, kelelahan, sakit kepala, panas dingin, hingga nyeri otot atau sendi.
Pertanyaannya, mengapa vaksin booster diperlukan? Dua alasan ini bisa menjawab pertanyaan itu. Pertama karena kekebalan tubuh berkurang seiring waktu. Kedua, karena adanya varian virus.
Beberapa varian virus COVID-19 telah berevolusi untuk menghindari beberapa bagian dari respons imun kita. Meski demikian, virus tidak dapat menghindari seluruh bagiannya.
Jenis vaksin yang saat ini boleh dijadikan booster antara lain Sinovac, AstraZeneca, Pfizer dan Moderna. Vaksin Sinovac bisa diberikan setelah 6 bulan, Astrazeneca setelah 3 bulan, Pfizer setelah 8 bulan dan Moderna setelah 1 bulan.
WHO sendiri telah merekomendasikan agar orang dengan gangguan kekebalan tubuh dan para penerima vaksin dari virus COVID-19 yang dimatikan (inactivated vaccine) untuk segera mendapat booster. Dua contoh inactivated vaccine adalah vaksin Sinovac dan Sinopharm, yang digunakan secara luas di Indonesia.
Rekomendasi WHO yang muncul dari pertemuan Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) baru-baru ini, diberikan seiring varian Omicron terus meluas ke berbagai negara.
InfoPublik (***)