PEMERINTAH Provinsi Sumatera Selatan melalui Satpol PP Sumsel melakukan operasi yustisi. Hal ini dilakukan seiring dengan penerapan Pemberlakuan Pembatasan kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro yang berlaku sejak 6 April dan akan berakhir 19 April 2021.
Berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 3 Tahun 2021, pembatasan berbasis mikro dan pembentukan posko penanganan covid-19 di tingkat desa dan kelurahan dalam rangka pengendalian covid-19. Operasional fasilitas publik pun dilakukan pembatasan, kata
Kepala Satpol PP Provinsi Sumsel, Aris Saputra di Palembang, belum lama ini.
Menurut dia, agar program tersebut berjalan efektif, maka dilibatkan berbagai pihak termasuk dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk memastikan masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan dan meminimalisasi peningkatan kasus penularan.
Operasi yustisi akan dilakukan secara gencar selama periode penerapan PPKM mikro di Sumsel. Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan instansi terkait di masing-masing kabupaten dan kota di Sumsel.
“Operasi yustisi akan kami lakukan di fasilitas publik seperti jalan raya, restoran, kafe, mal, dan fasilitas umum lainnya,” kata dia.
Menurut Aris, pelaksanaan operasi yustisi akan membuat masyarakat patuh terhadap aturan protokol kesehatan di masa pandemi secara optimal. Hal ini karena saat ini masyarakat telah mulai melakukan berbagai aktivitas secara normal dan tak jarang mengabaikan protokol kesehatan yang berlaku.
“Tujuan operasi yustisi ini untuk menekan penularan kasus. Apalagi, saat ini PPKM mikro mulai diberlakukan,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel, angka kematian akibat infeksi covid-19 di Sumsel mencapai 4,7 persen atau lebih tinggi dibanding nasional yang hanya 2,7 persen. Lalu persentase kesembuhan di Sumsel hanya 87,2 persen. Angka ini lebih rendah dari tingkat kesembuhan nasional sekitar 89,7 persen.
Sementara, kasus aktif di Sumsel mencapai 7,97 persen lebih tinggi dari nasional sebesar 7,6 persen. Angka positivity rate Sumsel juga masih sangat tinggi yakni 28,61 persen jauh lebih tinggi dari yang diatur oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni di bawah 5 persen.