– “Kekerasan terhadap Tenaga Medis di RSUD Sekayu & Benturan Protokol Kesehatan Rumah Sakit”
DI sebuah rumah sakit daerah, yang cat temboknya sudah mulai berwarna “kuning kenangan” dan pintu UGD-nya selalu berdecit seperti suara sandal jepit basah, terjadi sebuah drama yang mengalahkan sinetron prime time. Bukan drama perebutan warisan atau cinta segitiga, melainkan duel tak seimbang antara masker dokter RSUD Sekayu dan ego manusia.
Kisah ini bermula ketika dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD seorang dokter spesialis penyakit dalam sedang melaksanakan tugas mulia menolong pasien. Beliau, seperti halnya tenaga medis lain, mengenakan masker sesuai protokol kesehatan rumah sakit. Eh…, tiba-tiba keluarganya pasien minta beliau melepaskan masker, katanya biar kelihatan wajahnya.
Nah, kalau di film Hollywood, ini momen di mana penonton berteriak “Don’t do it!” sambil menutup mata. Tapi di dunia nyata, yang terjadi justru masker tak dilepas, emosi yang naik kelas. Keluarga pasien ngamuk. Mulai dari nada suara naik, kalimat pedas keluar, sampai melanggar SOP rumah sakit sebuah contoh nyata kekerasan terhadap tenaga medis.
Biar nggak cuma kata orang, mari kita intip rilis resmi Kementerian Kesehatan, dalam pernyataannya tanggal 14 Agustus 2025, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tegas mengecam kejadian di RSUD Sekayu ini. Beliau menyebut kekerasan terhadap tenaga medis “tidak bisa dibenarkan dalam situasi apapun”.
Rilis itu juga mengingatkan bahwa keselamatan tenaga kesehatan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Tenaga medis bekerja berdasarkan standar profesi, SOP, dan protokol kesehatan rumah sakit yang berlaku.
Menteri pun mengimbau masyarakat untuk menghormati profesi tenaga kesehatan dan “tidak menggunakan cara-cara kekerasan” ketika merasa tidak puas.
Nah, itu jelas, bukan cuma kata penulis, tapi pernyataan resmi negara. Jadi kalau masih ada yang ngeyel, berarti masalahnya bukan di edukasi medis lagi, tapi di “sinyal otak” yang harus diperbaiki.
Mari kita luruskan dulu, masker itu bukan aksesori gaya-gayaan. Ia bukan sekadar penutup mulut biar nggak kelihatan sisa cabe rawit nyelip di gigi. Dalam dunia medis, masker adalah pagar rumah. Kalau pagarnya dibuka seenaknya, ya siap-siap maling (baca: virus, bakteri, dan kuman) masuk.
Apalagi dokter penyakit dalam seperti dr. Syahpri ini sering menangani pasien dengan penyakit infeksius. Melepas masker di ruang pelayanan sama saja dengan membuang payung saat hujan badai basah kuyup sudah pasti, masuk angin tinggal tunggu waktu.
Pepatah lama bilang “Menutup mulut kadang lebih menyelamatkan daripada membuka mulut”. Kalau dulu konteksnya menghindari gosip, sekarang maknanya juga berlaku secara literal menutup mulut dengan masker bisa menyelamatkan nyawa.
Kita semua paham dan maklum, keluarga pasien itu lagi stres, orang yang mereka sayang sedang sakit, situasi tegang, hati panik. Tapi masalahnya, emosi itu seperti bensin kalau dituang di tempat yang tepat, dia jadi tenaga, kalau dituang di dapur, ya rumah kebakaran.
Permintaan melepas masker jelas bukan jalannya, itu seperti minta pilot pesawat buka pintu kokpit di tengah turbulensi biar bisa ngobrol akrab. Romantis di bayangan, tapi berisiko di kenyataan.
Benturan
Di sinilah sering terjadi benturan protokol kesehatan rumah sakit vs ego manusia. Protokol itu dingin, hitam di atas putih, tanpa kompromi. Ego manusia hangat, penuh perasaan, tapi sering lupa bahwa hangat berlebihan bisa berubah jadi panas kepala.
Sebenarnya kasus di RSUD Sekayu Kabupaten Muba, Sumatera Selatan ini bukan kali pertama terjadi, di banyak tempat, kekerasan terhadap tenaga medis masih terjadi, mulai dari kekerasan verbal sampai fisik.
Ada yang minta pulang cepat padahal harus diobservasi, ada yang marah-marah, karena obatnya nggak “sekuat” racikan nenek, bahkan ada yang minta difoto bareng di ruang operasi.
Ini menunjukkan edukasi publik soal kenapa prosedur itu ada masih belum merata. Banyak orang mengira dokter itu “pelayan pribadi” yang harus menuruti semua permintaan pelanggan. Padahal, yang dihadapi dokter adalah ilmu pengetahuan dan keselamatan.
Kalau dokter melanggar SOP demi memuaskan permintaan, risikonya bukan cuma pada pasien, tapi juga tenaga medis dan pasien lain. Bayangkan saja, satu pelanggaran kecil bisa jadi domino effect yang bikin ruang perawatan jadi sarang penularan penyakit.
Ada pepatah orang tua “Kalau marah, jangan lupa bawa akal”. Sayangnya, di ruang tunggu rumah sakit, pepatah itu sering hilang entah ke mana. Kekerasan verbal dan fisik terhadap tenaga medis masih terus terjadi.
Padahal, rumah sakit adalah tempat menyembuhkan, bukan medan perang, kalau keluarga pasien sampai memaksa, mengancam, atau memaki dokter, itu seperti membentak sopir taksi yang sedang membawa kita keluar dari jalur banjir. Sama-sama merugikan dan bikin perjalanan makin berisiko.
UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 sudah jelas perlindungan hukum tenaga medis adalah hak. Tapi hukum tanpa kesadaran publik hanyalah papan nama yang dibaca sekilas lalu dilupakan.
Kita sering merasa menang ketika berhasil “memaksa” orang lain mengikuti keinginan kita. Tapi di dunia kesehatan, menang melawan prosedur bukanlah kemenangan, melainkan buka pintu kekalahan.
Kalau mau dihormati, hormati dulu, kalau mau ditolong, jangan menyakiti penolongnya, karena dokter, perawat, dan tenaga medis bukan robot tanpa perasaan. Mereka juga manusia yang bekerja dengan risiko tinggi, demi keselamatan kita.
Jangan lupa, masker dokter RSUD Sekayu yang menutupi mulut itu bukan untuk menjauhkan pasien, tapi untuk menjaga agar dokter dan pasien sama-sama punya kesempatan pulang dengan selamat.
Kejadian ini seharusnya jadi alarm keras edukasi publik tentang protokol kesehatan rumah sakit harus lebih gencar, dan perlindungan hukum tenaga medis harus nyata. Masker bukan musuh, prosedur bukan penghalang, dan dokter bukan lawan.
Pepatah modern boleh kita tambahkan “Masker menjaga nyawa, emosi menjaga masalah tetap kecil”. Kalau keduanya dipakai bersamaan, bukan hanya penyakit yang bisa kita lawan, tapi juga kebiasaan buruk yang sudah terlalu lama bercokol di budaya kita.
Di ujung cerita, masker dan emosi seharusnya bisa berdamai, masker tetap menutup mulut demi kesehatan, emosi tetap tertahan demi akal sehat. Karena, percayalah, dalam perang antara protokol dan ego, yang kalah selalu bukan satu orang, tapi semua yang ada di ruangan itu.[***]