Sumselterkini.co.id, Cibinong – Jumlah penderita diabetes diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia hingga 2045. Hal ini karena ada perubahan pola hidup. Indonesia sendiri termasuk negara dengan jumlah penderita diabetes peringkat 5 terbesar di dunia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 8,5% dan biaya obat Diabetes Mellitus membebani BPJS.
Hal ini yang melatarbelakangi riset dan pengembangan biosimilar insulin. Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dini Nurdiani mengatakan selain adanya global emergency penyakit diabetes.
Latar belakang lainnya yaitu, top 10 generic drugs di Indonesia, di mana tiga diantaranya adalah analog insulin. Semuanya disediakan melalui impor.
“Hal ini menjadi kurang strategis bagi kemandirian Indonesia di bidang penyediaan obat diabetes,” ungkapnya saat menjadi pemateri dalam seminar yang bertajuk Friday Scientific Sharing Seminar (FS3) Seri 8, Jum’at (21/10).
Untuk berkontribusi dalam penyediaan insulin dalam negeri, lanjut Dini, maka dilakukan penelitian dan pengembangan biosimilar insulin. Penelitian ini memiliki target fokus pada tiga jenis insulin dan analognya yaitu Humulin, glargine, dan aspart yang memiliki tipe aksi berturut-turut pendek, panjang, dan cepat serta enzim-enzim pendukung untuk pematangan insulin yaitu tripsin dan kex2-endoprotease.
Dini menjelaskan, untuk produksi human rekombinan dalam skala besar, ada dua sistem utama yang banyak digunakan yaitu sistem E. coli dan sistem yeast dalam hal ini Saccharomyces cerevisiae. Pada sistem E. coli insulin perkusor di-overekspresi untuk membentuk inclusion body dan pada tahap selanjutnya membutuhkan solubization dan oksidative refolding.
Pada sistem Saccharomyces cerevisiae prekursor insulinnya disekresikan ke supernatan kultur kemudian di-konversi menjadi human insulin melalui reaksi enzimatik. Selanjutnya, purifikasinya memerlukan beberapa tahap. Sistem yeast yang lain dapat digunakan sebagai alternatif untuk produksi insulin adalah sistem Pichia pastoris yang memiliki kelebihan di antaranya dapat menghasilkan titer protein yang tinggi, diregulasi oleh promotor kuat (AOX) yang diinduksi metanol, memiliki ekspresi yang stabil dari gen target yang diintegrasi, memiliki kemampuan sekresi yang tinggi dan protein lain diluar produk ekspresi jumlahnya rendah, serta kebutuhan kultur medium yang tidak mahal.
Ia menambahkan, apabila dibandingkan Pichia pastoris dengan Saccharomyces cerevisiae, P. pastoris tidak meng-glikosilasi protein heterolog sebanyak S. cereviseae. Dengan demikian, dapat mengurangi risiko aktivasi kekebalan pada tubuh manusia.
Dini mengungkapkan, sejak awal kegiatan ini direncanakan untuk dikerjakan oleh konsorsium dan merupakan salah satu prioritas riset nasional (PRN). Sejak tahun 2019 diskusi terkait pembentukan konsorsium pengembangan biosimilar insulin sudah dilakukan dengan melibatkan beberapa institusi diantaranya LIPI dan BPPT (sekarang BRIN) mewakili LPNK, dari universitas diwakili ITB, UGM dan Unair. Sedangkan dari industri diwakili Biofarma dan juga mengundang BPOM yang mewakili regulator. Sejak tahun itu pun sudah diidentifikasi tahapan yang harus dilalui. Riset ini melalui tahap yang panjang dan tidak mudah serta membutuhkan banyak pakar.
Identifikasi perjalanan riset insulin dibagi dalam 5 WBS untuk mengerjakan 3 jenis insulin yaitu Humulin, aspart, dan glargine serta 2 enzim pendukung untuk pematangan insulin, yaitu tripsin dan kex2-endoprotease. WBS 1 dikerjakan tim LIPI dan ITB untuk pengembangan research cell bank (RCB) untuk ekspresi target humulin, aspart dan glargine serta target dua enzim pendukung. Kegiatan ini didanai LPDP tahun 2020.
Untuk WBS 2 terkait fermentasi atau bioprosesnya dan purifikasi dari prekursor, konversi prekursor menjadi insulin, karaktersasi protein, analisis komperatif dengan originatornya serta produksi skala pilot berbasis GMP. Institusi yang terlibat pada WBS 2 ini adalah LIPI, BPPT, ITB, dan Biofarma.
Sedangkan WBS 3 yakni formulasi dan pengembangan sistem delivery insulin, diketuai oleh UGM. Sedangkan LIPI berperan dalam menyiapkan material insulin yang akan diformulasi. Untuk inisiasi kegiatan riset di WBS 3 telah dilakukan secara paralel oleh tim UGM dengan pendanaan PRN UGM.
Sementara, WBS 4 adalah uji praklinik dan inisiasi uji klinik. Uji praklinik in vitro dan in vivo, diketuai oleh UGM. BRIN akan mengerjakan uji in vitro, sedangkan in vivo diinisiasi dan dilakukan oleh tim UGM. Metode untuk in vitro sudah diinisiasi sejak tahun 2020 sedangkan uji in vivo telah diinisiasi sejak tahun 2021 dengan pendanaan LPDP.
Dan terakhir, WBS 5 yaitu untuk regulasi dan sertifikasi yang melibatkan BPOM, tentunya BPOM perlu dilibatkan dari awal supaya tidak ada masalah ketika mengusulkan regulasi. Sebagai informasi, seminar dihadiri pula Sony Suhandono dari SITH-ITB dengan paparan berjudul “Produksi Biosurfaktan Rekombinan”.
Kepala Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN Ratih Asmana Ningrum mengatakan, bahwa saat ini tidak ada riset yang bisa dilakukan sendiri. Tentunya riset memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. BRIN sendiri sudah menyediakan berbagai macam skema pendanaan dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan bersama.
“Semoga dengan adanya acara ini, kita bisa melihat potensi kolaborasi dan berlanjut pada kerja sama riset dengan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Kita sudah punya dua kerja sama yaitu pada bidang kesehatan untuk media yang bisa menginaktivasi virus yang saat ini bekerja sama dengan kelompok riset SARS Cov-2 dan satu kerja sama lagi juga untuk skrining anti SARS Cov-2,” jelas Ratih.
Ratih mengungkapkan, kerjasama bisa bertambah dengan ITB terutama untuk bidang tanaman. Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN selain memiliki klaster kesehatan juga memiliki kluster tanaman dan bioindustri. “Saya yakin apa yang akan di-sharing hari ini sangat bermanfaat bagi kita. Jadi mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan untuk belajar juga untuk melihat potensi kerja sama lebih lanjut,” ujar Ratih mengakhiri sambutannya.[***]