Kebijakan

Satpam Digital untuk 7.347 Pintu Pemda, TTIS Siap Halau Hacker Sebelum Nongkrong di Ruang Tamu

ist

JIKA  7.347 pintu rumah dibiarkan terbuka, jangankan maling, ayam tetangga pun bisa masuk dan tidur di sofa, begitu pula dengan 7.347 aplikasi pelayanan publik yang kini dimiliki pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Bahkan tanpa kunci yang kokoh dan satpam yang siaga, pintu-pintu digital itu rawan dimasuki tamu tak diundang mulai dari hacker yang ingin menjual data e-KTP, sampai bocah iseng yang cuma mau ganti tampilan website jadi foto kucing nyengir.

Itulah sebabnya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian minta semua Pemda segera membentuk Tim Tanggap Insiden Siber (TTIS) pasukan penjaga gerbang digital daerah sebelum 30 September 2025.

“Bentuk dulu timnya, pilih orang yang mengerti IT, dan siapkan anggaran,” tegas Tito.

Pepatah lama bilang, “Pintu tertutup belum tentu aman, kalau kuncinya cuma kayu lapuk”. Dalam dunia maya, pintu itu adalah aplikasi layanan publik, dan kuncinya adalah sistem keamanan siber. Data BSSN menyebut ada 7.347 aplikasi yang dioperasikan Pemda.

Jumlah ini setara dengan rumah susun 300 lantai di mana setiap pintunya terbuka sedikit, tinggal didorong, langsung nyelonong.

TTIS di sini perannya mirip satpam komplek yang rajin keliling malam sambil bawa senter. Bedanya, senter mereka adalah firewall, antivirus, dan analisis log sistem. Kalau tidak ada TTIS, siap-siap saja aplikasi pajak daerah kita “disulap” jadi iklan pinjol ilegal.

Harus belajar dari luar negeri, sebab Satpam digital itu serius, apalagi  Indonesia bukan satu-satunya yang harus bikin tim tanggap siber sebut saja Singapura punya Cyber Security Agency sejak 2015. Mereka bahkan bikin simulasi serangan siber nasional tiap tahun, mirip latihan kebakaran, biar semua instansi siap kalau ada “ledakan” digital.

Estonia dijuluki “negara digital” karena hampir semua layanan publiknya online. Tahun 2007 mereka diserang besar-besaran. Sejak itu, mereka membentuk Cyber Defence League yang anggotanya campuran militer, profesional IT, sampai sukarelawan.

Jepang punya National center of Incident readiness and Strategy for Cybersecurity (NISC) yang tidak cuma bikin SOP, tapi juga melakukan audit rutin ke lembaga pemerintah dan perusahaan vital.

Kata Wakil Kepala BSSN Rachmad Wibowo dalam arahannya, pembentukan TTIS ini datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto. “Kita akan mendigitalisasi semua pelayanan kepada masyarakat. Kalau tidak ada tim yang menjaga, ya sama saja, seperti buka pintu tapi pergi liburan seminggu,” ujarnya.

Nah ada kendala juga sih, kebiasaan yang bikin pintu gigital jadi kropos, masalah keamanan sering kali bukan di teknologinya, tapi di manusianya. Password masih “12345” atau nama mantan. Admin sistem masih klik link “Anda memenangkan hadiah” tanpa mikir dua kali serta server dibiarkan di ruangan ber-AC seadanya, kadang sebelahan sama dispenser galon.

TTIS nanti tugasnya bukan cuma pasang antivirus, tapi juga ngomel dengan elegan, kepada pegawai yang masih santai soal keamanan digital. Ibarat rumah, percuma pintu sudah pakai fingerprint, tapi pemiliknya masih suka ninggalin kunci cadangan di bawah keset.

Mendagri sudah wanti-wanti, TTIS butuh SDM yang paham IT dan anggaran khusus. Nah, di sinilah sering terjadi drama klasik Pemda, uang ada, tapi nyangkut di pos lain. Jangan sampai urusan satpam digital ini kalah sama anggaran bikin gapura festival.

Keamanan siber adalah investasi, bukan beban. Kalau data bocor, biaya kerugian jauh lebih besar daripada membayar tim siber yang andal.

Bayangkan punya 7.347 sumur air bersih untuk rakyat, tapi tanpa tutup. Tinggal tunggu waktu, ada yang jatuh, terkontaminasi, atau diambil alih orang lain. Begitu pula data publik begitu bocor, tidak ada tombol undo.

Lebih parah lagi, masyarakat kehilangan kepercayaan nantinya, sebab kepercayaan publik itu seperti kaca sekali retak, sulit kembali utuh.

Instruksi Mendagri jelas bentuk TTIS sebelum 30 September 2025, laporkan ke Dirjen Bangda, dan koordinasikan dengan Sekjen Kemendagri. Tapi pesan moralnya, jangan cuma kejar tenggat dan setor laporan, sementara satpam digitalnya cuma nama di kertas.
Seperti kata pepatah Jawa, “Ojo mung pinter ngudhari, nanging ugo kudu pinter ngudhari masalah”, jangan cuma pandai membentuk, tapi juga pandai menjalankan.

Dunia sedang menuju era di mana perampokan tidak lagi selalu membawa linggis, tapi laptop. TTIS adalah jawaban untuk menjaga “gerbang digital” Pemda dari serangan yang bisa merugikan jutaan warga. Kita punya waktu sampai 30 September untuk menyiapkan pasukan ini.

Belajar dari Singapura, Estonia, dan Jepang, kunci keberhasilan bukan cuma teknologi, tapi budaya waspada yang melekat di seluruh birokrasi.

Karena kalau satpam digital kita tangguh, hacker yang coba masuk tidak akan menemukan ruang tamu, melainkan pagar besi setinggi tembok benteng.[***]

Terpopuler

To Top