RAPERDA soal Perseroan Terbatas Sarana Pembangunan Palembang Jaya alias SP2J, akhirnya disahkan juga, bahkan palu sudah diketok, tanda tangan sudah basah, foto bareng pun tuntas. Lengkaplah sudah ritual sakral khas ruang paripurna, sekarang tinggal diunggah ke media sosial/ medsos, dikasih caption heroik, “Demi kemajuan Palembang tercinta”.
Tapi begitu acara bubar, kopi mulai dingin, mic dimatikan, dan jas dilepas, pertanyaan klasik pun nongol lagi kayak iklan odol di TV, yakni “Oke, udah sah nih… sekarang siapa yang kerja?”. Begitulah biasanya, semangatnya membara di ruang rapat, tapi begitu keluar gedung bisa saja luntur kayak tinta undangan kehujanan.
Dari ruang ber-AC ke lapangan yang berdebu, sering kali tinggal jargon yang berkeliaran tanpa tuan. SP2J ini bukan nama baru di dunia persilatan BUMD Palembang.
Ia seperti pemain lama yang sedang dicoba diremajakan lewat Perda baru., dengan harapan mulia, yaitu jadi lokomotif ekonomi daerah, penggerak pembangunan, dan penyambung lidah investasi. Namun ya itu tadi, di negeri kita ini, antara “disahkan” dan “dijalankan” jaraknya kadang lebih jauh dari Palembang ke Pagaralam naik mobil pick-up.
Kalau mau jujur, pengesahan Raperda itu baru pintu masuk, bukan garis finis. Perda tanpa aksi ya sama aja kayak beli treadmill, tapi dipajang di ruang tamu buat gantungan jaket, yang gagah, tapi nggak lari-lari juga.
Oleh karena itu, SP2J sekarang punya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa mereka bukan cuma jagoan di papan nama. Bahkan Palembang butuh BUMD yang bukan cuma “menunggu proyek”, tapi bisa menciptakan nilai ekonomi. Tentunya yang berani nyemplung di sektor transportasi, energi, air bersih, atau properti dengan manajemen profesional.
Namun, semua itu tak akan jalan kalau manajemennya masih bermental “tunggu instruksi”. Ingat pepatah, “Tak kenal maka tak sayang” kalau publik dan stakeholder nggak tahu arah dan fungsi SP2J, ya… jangan heran kalau kehadirannya juga nggak bisa dirasa.
Kita ini sudah kenyang lihat contoh, banyak Perda lahir dengan gegap gempita, tapi ujung-ujungnya cuma jadi hiasan rak di sekretariat. Isinya bagus, pasalnya keren, tapi implementasinya… ya gitu deh, masih nunggu “anggaran turun”, “petunjuk teknis”, atau “koordinasi lintas dinas”, padahal rakyat butuh hasil, bukan alasan.
Contohnya, beberapa kota lain punya BUMD yang sukses, justru karena punya peta jalan jelas, di Surabaya, misalnya, BUMD pengelola air minum mereka (PDAM Surya Sembada) punya target tahunan yang diaudit terbuka.
Selanjutnya di Bandung, Perumda Tirtawening bisa bangun sistem pengelolaan air limbah modern, karena direksinya dikontrak berbasis kinerja, bukan kedekatan.
Bahkan jika belajar dari dunia luar, kayak di Seoul, Korea Selatan. BUMD transportasi di sana beroperasi dengan sistem KPI publik dan laporan kinerja triwulan yang terbuka di website. Bahkan transparansi bikin warganya percaya, dan kepercayaan itulah bahan bakar utama kinerja.
Temasek Holdings (Singapura), mungkin contoh paling populer, kalau ngomongin perusahaan pelat merah yang beneran “merahnya berprestasi”. Temasek bukan sekadar BUMN, tapi sovereign holding company yang mengelola portofolio investasi negara.
Bedanya memang dengan kebanyakan BUMD/BUMN kita, Temasek dikelola secara profesional, bukan politis. Direksinya dipilih lewat seleksi ketat, target keuangannya transparan, dan laporan tahunannya bisa diunduh publik tanpa harus “kenalan dulu”.
Lucunya, di Singapura, kalau direksi gagal capai target, bukan cuma kursinya yang goyang, kadang, bonus tahunan pun langsung menguap sebelum sempat dicairkan. Bahkan transparansi dan meritokrasi itu bukan slogan, tapi sistem yang dijalankan konsisten.
DONG Energy (sekarang Ørsted) di Denmark, BUMN energi Denmark ini, sukses rebranding dari perusahaan minyak jadi raksasa energi terbarukan. Awalnya DONG Energy dibilang “beban negara”, karena rugi melulu, tapi setelah reformasi manajemen dan strategi, mereka banting setir ke sektor energi hijau. Hasilnya? Sekarang Ørsted jadi salah satu perusahaan energi terbersih dan paling untung di dunia.
Dan terakhir Shenzhen Investment Holdings (China), BUMD milik Pemerintah Kota Shenzhen ini keren, karena berperan langsung dalam urban development. Mereka yang mengelola proyek perumahan, transportasi, dan kawasan industri di Shenzhen.
Modelnya, yaitu pemerintah kasih mandat dan aset awal, tapi pengelolaannya full business mode. Artinya tetap ada target laba, audit independen, dan efisiensi seperti perusahaan swasta.
Sekarang, banyak kota lain di China meniru model ini, BUMD jadi motor penggerak kota pintar (smart city), bukan sekadar penerima proyek.
Nah, Palembang bisa belajar dari situ, jangan cuma bangga karena Perda sudah disahkan, tapi tidak disiapkan “peta tempur” untuk melangkah. Oleh karena itu, kadang perubahan itu butuh keberanian buat meninggalkan zona nyaman. Kalau SP2J masih takut bereksperimen, ya jangan mimpi bisa jadi lokomotif ekonomi.
Peluang besar
Oleh karena itu, ada lima hal yang sering bikin Perda bagus cuma jadi naskah indah di kertas, pertama, tidak ada roadmap implementasi. Pasal-pasalnya normatif, tapi siapa yang kerja, kapan, dan pakai apa, nggak jelas. Kedua, SDM belum siap, direksi BUMD sering masih hasil kompromi politik, bukan hasil seleksi kompetensi.
Dan ketiga, pendanaan kabur, perda memberi mandat besar, tapi APBD-nya tipis. Ke empat, pengawasannya masih lemah, tanpa laporan publik dan audit independen, tak ada tolok ukur dan, ke lima, koordinasi antarinstansi ruwet, yaitu masing-masing jalan sendiri kayak grup band tanpa konduktor. Kalau lima hal itu tak dibenahi, ya.. siap-siap saja SP2J bisa berakhir jadi Perseroan Terbatas yang terbatas banget.
Oleh sebab itu, Pemerintah Kota dan DPRD harus punya follow up plan yang konkret, misalnya bikin target 100 hari pascapengesahan. minimal struktur baru, audit aset, dan penyusunan roadmap bisnis. Kontrak kinerja publik, direksi SP2J harus teken kontrak kinerja yang bisa diakses publik, lengkap dengan indikator dan sanksi.
Selain itu, audit dan data baseline, jangan bangun strategi tanpa tahu kondisi awal. Pelibatan publik, maksudnya warga perlu tahu apa yang sedang dikerjakan SP2J, biar kontrol sosial tetap hidup dan kemitraan dan pembelajaran, belajar dari kota lain bukan malu, justru langkah cerdas.
Pepatah kedua bilang, sambil menyelam minum air, artinya, pembenahan manajemen dan pengembangan usaha harus jalan bareng. Jangan tunggu sempurna dulu baru bergerak.
Jadi intinya, DPRD dan Pemkot Palembang yang sudah selangkah lebih maju dengan mengesahkan Raperda SP2J. Tapi, mari juga kita titipkan sedikit catatan jangan berhenti di seremoni, palu diketok itu tanda mulai kerja, bukan tanda pulang.
Kalau tak ada blueprint implementasi, semua niat baik itu cuma jadi album kenangan tahunan. SP2J harus berani tampil beda dan terbuka, profesional, serta bisa menunjukkan bahwa BUMD bukan sekadar tempat parkir jabatan, tapi lokomotif ekonomi daerah yang beneran berputar rodanya.
Karena, Perda yang baik itu bukan cuma kumpulan pasal, tapi janji yang harus ditepati. Kalau janji itu tidak diwujudkan dalam kerja nyata, rakyatlah yang paling rugi.
SP2J punya peluang besar untuk membuktikan diri jadi motor pembangunan yang tak cuma bergerak di atas kertas. Tapi untuk itu, semua pihak harus siap berkeringat, dari wali kota sampai tukang arsip. Karena pembangunan itu bukan soal siapa yang tanda tangan, tapi siapa yang kerja sampai tuntas.
Palu sudah diketok, berarti waktunya bukan untuk tepuk tangan, tapi gulung lengan baju. SP2J harus jadi contoh bahwa BUMD bisa profesional, transparan, dan berdaya guna, kalau tidak, nanti masyarakat cuma bilang “Ah, SP2J… disahkan sih iya, tapi jalannya masih kayak becak ngebut di jalan tol, goyangnya banyak, lajunya belum jelas”.
Jadi, selamat buat pengesahan Perda SP2J. Tapi ingat, dari palu ke peluh itu jaraknya pendek kalau mau kerja, tapi bisa sejauh Musi ke Laut Cina Selatan kalau cuma wacana.[***]