ISTILAH 3T (Tracing, Testing, Treatment) kalah populer dibanding 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Padahal, keduanya sama pentingnya dalam upaya memutus rantai penularan COVID-19.
Kedua hal tersebut adalah upaya untuk memutus mata rantai penularan COVID-19. Hanya saja, penerapan praktik 3T masih perlu ditingkatkan pemahamannya di masyarakat, mengingat masyarakat lebih mengenal 3M yang kampanyenya dilakukan terlebih dahulu dan gencar.
Managing Director IPSOS Indonesia, Soeprapto Tan mengemukakan masih ada 29 persen masyarakat yang tidak paham mengenai 3T. Sebaliknya, 99 persen masyarakat mengaku paham terhadap 3M. Artinya, masih ada masyarakat yang menganggap perilaku 3M dan 3T adalah dua hal yang terpisah padahal kenyataannya justru kedua hal tersebut diakuinya merupakan satu paket dalam memutus mata rantai penularan COVID-19.
“Kampanye 3M di awal-awal sangat kencang sekali dan terus berjalan sampai sekarang. Jika 3M tidak berjalan, maka 3T pasti akan lebih parah. Sekarang 3M sudah berjalan, saatnya kita mulai membicarakan 3T”, jelas Soeprapto.
Selanjutnya Soeprapto mengemukakan salah satu faktor yang menghambat kampanye 3T adalah ketakutan atas stigma masyarakat. Pemerintah perlu menghimbau masyarakat agar tidak mengucilkan pasien positif COVID-19, namun memberikan dukungan dan keprihatinan agar stigma negatif di mata publik bisa menghilang.
“Saat ini 3M masih satu-satunya cara “vaksin” paling ampuh. Jadi kita harus konsisten dan jangan lengah untuk melakukan 3M. Bersamaan dengan itu kita semua serta masyarakat harus mendukung pelaksanaan 3T, terutama dalam hal testing. Karena apabila masyarakat tidak mau melakukan testing, maka tracing tidak akan terjadi,” tambah Soeprapto.
Meskipun vaksin COVID-19 nantinya sudah ditemukan dan bisa didistribusikan, perilaku 3M dan 3T harus tetap dijalankan. “Kalau misalkan mendapatkan vaksin Mei atau Juni (2021), kebiasan terhadap 3M dan 3T harus tetap kita jalankan sampai pemerintah benar-benar memberikan informasi bahwa COVID-19 sudah tidak ada,” kata Soeprapto.
3T terdiri dari tiga kata yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Monica mengungkapkan pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan ke orang lain.
Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif COVID-19. Setelah diidentifikasi oleh petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut. “Seandainya ketika dilacak si kontak erat menunjukkan gejala, maka perlu dilakukan tes, kembali ke praktik pertama (testing)”, kata Monica.
Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif COVID-19. Jika ditemukan tidak ada gejala, maka orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah ditunjuk pemerintah. Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, maka para petugas kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.
Monica pun menambahkan. “ Jadi dengan 3M dan 3T sama pentingnya dan satu kesatuan, kita berupaya memutus mata rantai penularan COVID-19 dengan kita melindungi diri dan melindungi sesama”, tambah Monica.
“3M banyak membicarakan tentang peran kita sebagai individu. Sementara 3T berbicara tentang bagaimana kita memberikan notifikasi atau pemberitahuan pada orang di sekitar kita untuk waspada. Jadi memang ada satu proses yang tidak hanya melibatkan individu tapi juga orang yang lebih banyak”, katanya dalam Dialog Produktif bertema Optimisme Masyarakat terhadap 3T (Tracing, Testing, Treatment) yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (12/11).
Hingga saat ini, Monica mencatat ada tiga indikator yang menjadi standarisasi pemeriksaan COVID-19 yakni, jumlah spesimen, kecepatan hasil pemeriksaan, dan rasio positif. “Di Indonesia angka testing rata-rata mencapai 24.000-34.000 orang per hari,” jelas Monica.
Dari segi kapasitas laboratorium yang dimiliki Indonesia sangat memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai standar WHO. Kapasitas tes di laboratorium hampir 80.000. Kendalanya justru pada individu, ketika seseorang menunjukkan gejala COVID-19, kontak eratnya takut untuk memeriksakan diri (testing). “Setiap orang harus mengambil peranan untuk memutus rantai dengan berpartisipasi kooperatif menerapkan 3M dan 3T”, ujar Monica.
Menurut Monica ada beberapa strategi yang dilaksanakan pemerintah untuk memperkuat upaya perubahan perilaku di masyarakat yakni, kampanye 3M, sedangkan 3T dengan melakukan deteksi awal penyebaran COVID-19 dengan testing dan tracing yang tepat sasaran, sementara untuk treatment pemerintah memperkuat manajemen perawatan pada pasien COVID-19.(***)sir
ISTILAH 3T (Tracing, Testing, Treatment) kalah populer dibanding 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Padahal, keduanya sama pentingnya dalam upaya memutus rantai penularan COVID-19.
Kedua hal tersebut adalah upaya untuk memutus mata rantai penularan COVID-19. Hanya saja, penerapan praktik 3T masih perlu ditingkatkan pemahamannya di masyarakat, mengingat masyarakat lebih mengenal 3M yang kampanyenya dilakukan terlebih dahulu dan gencar.
Managing Director IPSOS Indonesia, Soeprapto Tan mengemukakan masih ada 29 persen masyarakat yang tidak paham mengenai 3T. Sebaliknya, 99 persen masyarakat mengaku paham terhadap 3M. Artinya, masih ada masyarakat yang menganggap perilaku 3M dan 3T adalah dua hal yang terpisah padahal kenyataannya justru kedua hal tersebut diakuinya merupakan satu paket dalam memutus mata rantai penularan COVID-19.
“Kampanye 3M di awal-awal sangat kencang sekali dan terus berjalan sampai sekarang. Jika 3M tidak berjalan, maka 3T pasti akan lebih parah. Sekarang 3M sudah berjalan, saatnya kita mulai membicarakan 3T”, jelas Soeprapto.
Selanjutnya Soeprapto mengemukakan salah satu faktor yang menghambat kampanye 3T adalah ketakutan atas stigma masyarakat. Pemerintah perlu menghimbau masyarakat agar tidak mengucilkan pasien positif COVID-19, namun memberikan dukungan dan keprihatinan agar stigma negatif di mata publik bisa menghilang.
“Saat ini 3M masih satu-satunya cara “vaksin” paling ampuh. Jadi kita harus konsisten dan jangan lengah untuk melakukan 3M. Bersamaan dengan itu kita semua serta masyarakat harus mendukung pelaksanaan 3T, terutama dalam hal testing. Karena apabila masyarakat tidak mau melakukan testing, maka tracing tidak akan terjadi,” tambah Soeprapto.
Meskipun vaksin COVID-19 nantinya sudah ditemukan dan bisa didistribusikan, perilaku 3M dan 3T harus tetap dijalankan. “Kalau misalkan mendapatkan vaksin Mei atau Juni (2021), kebiasan terhadap 3M dan 3T harus tetap kita jalankan sampai pemerintah benar-benar memberikan informasi bahwa COVID-19 sudah tidak ada,” kata Soeprapto.
3T terdiri dari tiga kata yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Monica mengungkapkan pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan ke orang lain.
Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif COVID-19. Setelah diidentifikasi oleh petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut. “Seandainya ketika dilacak si kontak erat menunjukkan gejala, maka perlu dilakukan tes, kembali ke praktik pertama (testing)”, kata Monica.
Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif COVID-19. Jika ditemukan tidak ada gejala, maka orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah ditunjuk pemerintah. Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, maka para petugas kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.
Monica pun menambahkan. “ Jadi dengan 3M dan 3T sama pentingnya dan satu kesatuan, kita berupaya memutus mata rantai penularan COVID-19 dengan kita melindungi diri dan melindungi sesama”, tambah Monica.
“3M banyak membicarakan tentang peran kita sebagai individu. Sementara 3T berbicara tentang bagaimana kita memberikan notifikasi atau pemberitahuan pada orang di sekitar kita untuk waspada. Jadi memang ada satu proses yang tidak hanya melibatkan individu tapi juga orang yang lebih banyak”, katanya dalam Dialog Produktif bertema Optimisme Masyarakat terhadap 3T (Tracing, Testing, Treatment) yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (12/11).
Hingga saat ini, Monica mencatat ada tiga indikator yang menjadi standarisasi pemeriksaan COVID-19 yakni, jumlah spesimen, kecepatan hasil pemeriksaan, dan rasio positif. “Di Indonesia angka testing rata-rata mencapai 24.000-34.000 orang per hari,” jelas Monica.
Dari segi kapasitas laboratorium yang dimiliki Indonesia sangat memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai standar WHO. Kapasitas tes di laboratorium hampir 80.000. Kendalanya justru pada individu, ketika seseorang menunjukkan gejala COVID-19, kontak eratnya takut untuk memeriksakan diri (testing). “Setiap orang harus mengambil peranan untuk memutus rantai dengan berpartisipasi kooperatif menerapkan 3M dan 3T”, ujar Monica.
Menurut Monica ada beberapa strategi yang dilaksanakan pemerintah untuk memperkuat upaya perubahan perilaku di masyarakat yakni, kampanye 3M, sedangkan 3T dengan melakukan deteksi awal penyebaran COVID-19 dengan testing dan tracing yang tepat sasaran, sementara untuk treatment pemerintah memperkuat manajemen perawatan pada pasien COVID-19.(***)sir