Sumselterkini.co.id,- Di negeri yang kadang senyumnya disubsidi dan tawanya numpang lewat di iklan mi instan, hadir satu kabar yang bikin hati mendadak pengin stand up bakal ada Hari Komedi Nasional. Bukan, ini bukan prank tanggal tua. Ini serius tapi jenaka.
Akhir pekan lalu di bawah bayang-bayang Monpera yang biasanya sakral dan heroik, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Bukan karena ada diskon sembako, tapi karena para komedian dari seluruh penjuru tanah tawa berkumpul dalam sarasehan PASKI semacam rembug nasional para ahli ngelucu.
Gubernur Sumsel, Herman Deru atau yang oleh sebagian warga dijuluki stand up dadakan saat pidato kampanye pun hadir. Ia dengan wajah khidmat tapi senyum mengembang berkata bahwa profesi komedian itu mulia. Bahkan bisa lebih bermanfaat daripada beberapa influencer yang kerjaannya cuma review skincare tapi lupa pakai logika.
“Profesi ini bikin orang bahagia,” katanya dan kita semua sepakat, di negeri yang harga cabai bisa bikin jantung senam irama, profesi pembuat tawa jauh lebih penting daripada tukang sebar hoaks.
Ketua Umum PASKI, Sujarwo, menambahkan komedi adalah narasi penyembuh luka. Dan benar juga. Tertawa itu kayak balsem nggak menyelesaikan masalah, tapi bikin rasanya agak adem. Kalau hidup ini berat, ya kita harus ringan-ringan sedikit minimal mulai dari kepala.
Sarasehan ini konon bertujuan menentukan Hari Komedi Nasional, yang kabarnya sedang digodok di DPR. Kita tentu berharap penggodokan itu tidak seperti penggodokan RUU yang seringnya lama, lalu tiba-tiba matang sendiri seperti mi rebus lupa dimatikan.
Komedi itu seperti sandal jepit, kadang dianggap remeh, tapi waktu hilang, baru terasa betapa hidup ini licin tanpanya dan lucunya, banyak pejabat yang lebih takut dikomentari pelawak daripada dikritik ekonom.
Charlie Chaplin pernah bilang, “A day without laughter is a day wasted”. Maksudnya, kalau dalam sehari kita tidak sempat tertawa atau merasakan kegembiraan, maka hari itu terasa kosong dan tidak bermakna. Tawa di sini dianggap sebagai bentuk kebahagiaan, pelipur lara, dan penyeimbang hidup.
Tapi kalau di Indonesia, sehari tanpa tawa itu malah bisa jadi awal dari demo besar-besaran. Maka, usul bikin Hari Komedi Nasional bukan cuma lucu, tapi juga strategis.
Suka nyisir
Lucunya, yang dulu suka nyinyir soal komedi, sekarang ikut selfie di acara sarasehan, dulu dibilang pelawak itu kerjanya cuma ngelawak. Sekarang? Ternyata banyak juga pejabat yang pengin jadi comedian dadakan tiap konferensi pers. Bedanya? Komedian tulen dibayar buat lucu. Yang satu lagi… kadang lucu karena dibayar.
“Daripada menebar hoaks bikin gaduh kampung, mending ikut stand up open mic di warung kopi.”
“Hidup tanpa komedi ibarat lontong sayur tanpa kuah kering, hambar, dan bikin emosi.”
Bukan cuma Hari Komedi Nasional, tapi juga hak hidup layak bagi para komedian karena kalau mereka nggak ada, kita cuma bisa ketawa pas nonton harga BBM naik atau pas ngelihat janji kampanye tinggal kenangan.
Rencana penetapan Hari Komedi Nasional ini bukan sekadar lucu-lucuan. Ini tentang pengakuan terhadap profesi yang sering dianggap “kerjaan sambilan,” padahal dampaknya bisa lebih menyentuh daripada seminar motivasi tiga hari dua malam yang isinya cuma nyuruh kita “bersyukur dan bangkit.” Komedian itu bukan hanya pelawak, mereka itu dokter jiwa rakyat tanpa stetoskop, tapi punya naskah punchline.
Kalau bangsa ini punya Hari Pers, Hari Buruh, bahkan Hari Tanpa Bayangan (yang matahari tepat di atas kepala), kenapa tidak Hari Komedi Nasional?.
Apalagi di tengah negeri yang saban hari penuh drama, korupsi disamarkan sebagai sedekah, dan janji pembangunan lebih sering ditulis dengan tinta yang bisa dihapus, rasanya komedi-lah satu-satunya yang jujur menunjukkan kenyataan meski lewat lelucon.
Bayangkan suatu hari nanti, di kalender nasional ada tulisan merah Hari Komedi Nasional. Dan semua stasiun TV bukan hanya menyiarkan debat politik yang lebih banyak sindirannya daripada solusinya, tapi juga menayangkan para komedian lokal naik panggung, bikin kita ngakak sambil mikir.
Para siswa sekolah disuruh bikin stand-up bertema kejujuran. Para pegawai kantor wajib menyumbang joke tentang birokrasi. Dan para pejabat… ya, mungkin cukup datang dan mendengarkan. Jangan ikut manggung, nanti lucunya nggak disengaja.
Jadi mari kita rawat tawa ini jangan sampai komedi cuma hidup di medsos tiga detik atau di acara kawinan lewat MC yang lupa skrip. Jangan pula sampai komedian hanya dihargai saat mereka viral, lalu dilupakan saat sedang merintis.
Karena seperti kata pepatah “Lebih baik tertawa bersama rakyat, daripada senyum sendiri di ruang rapat”.Dan siapa tahu, suatu hari nanti, ada satu undang-undang yang isinya cuma satu pasal “Setiap warga negara berhak untuk tertawa, bahkan pada hal-hal yang dianggap tabu, asal tidak merugikan warasnya orang lain.”
Mari tertawa… sebelum hidup ini terlalu serius untuk dihadapi tanpa banyolan. Jadi… maksudnya, kalau dalam sehari kita tidak sempat tertawa atau merasakan kegembiraan, maka hari itu terasa kosong dan tidak bermakna. Tawa di sini dianggap sebagai bentuk kebahagiaan, pelipur lara, dan penyeimbang hidup. Tertawalah puas-puas sebelum tertawa itu dikenakan pajak 12%.[***]