Inspirasi

CATATAN PINGGIR : Diam-Diam Cendekia [Ketika Otak Tak Perlu Panggung]

ist

Sumselterkini.co.id, – Di kampung sebelah, ada dua tipe manusia yang suka nongkrong di warung kopi. Yang pertama, kalau duduk, lidahnya lebih sibuk daripada sendok soto di hajatan.

Cerita apa pun dia komentari dari harga telur, teori konspirasi, sampai tata surya. Yang kedua, lebih pendiam. Duduknya tenang, matanya awas, mulutnya irit nyruput kopi pelan sambil manggut-manggut, seperti menyetujui isi buku yang cuma dia yang ngerti.

Nah, yang terakhir ini biasanya lebih pintar. Tapi justru dia tak banyak gaya. Tidak sibuk bikin status, tidak suka teriak-teriak di forum publik. Sebab ia tahu, kata orang tua “air tenang menghanyutkan, sedangkan ember kosong nyaring bunyinya”.

Hari-hari ini, banyak yang mulutnya tak kenal rem, asal bunyi (asbun), asal trending, asal eksis, lantas muncul narasi-narasi ajaib, seperti “logika adalah produk barat” atau “data itu kadang menyesatkan.” Lah, kalau sudah begini, bukan debat yang muncul, tapi tontonan absurd macam sinetron yang episode-nya tak kunjung tamat.

Banyak yang tong kosong nyaring bunyinya. Terbukti, tak paham ilmu, literasi tipis, baca buku cuma pas nyari kutipan motivasi. Bahkan nulis surat administrasi saja masih salah ejaan antara “Yth” dan “Yah.” Kalau sudah begini, berkoar di tempat umum bukan lagi menyampaikan gagasan, tapi malah membuka aib intelektual secara sukarela. Ibarat jualan tahu busuk tapi dipajang di etalase kaca ber-AC.

Ada pepatah Jawa yang bilang “Witing tresno jalaran soko kulino, witing rame jalaran soko petasan,” artinya, yang ribut belum tentu penting. Petasan memang ramai, tapi cepat habis dan kadang bikin kuping berdenging. Sementara mercon yang berisi dan meledaknya pas, biasanya diam di awal baru meletup sekali tapi menggetarkan.

Orang pintar tahu, hidup ini bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling dalam berpikir, mereka seperti sumur tua di belakang rumah diam, tapi airnya jernih dan dalam. Sementara yang hobi ngomong ngalor-ngidul, mirip keran bocor berisik tapi airnya nggak bisa ditampung.

Lihat Jepang, di sana, orang yang banyak bicara justru dianggap tidak sopan. Budaya tatemae mengajarkan pentingnya menjaga ketenangan dan tidak mengobral opini.

Pejabat di sana jarang tampil heboh. Tak ada yang keliling kota sambil live TikTok atau joget di pos ronda. Tapi negaranya tetap maju. Karena mereka tahu kerja tak butuh tepuk tangan, cukup hasil yang bicara.

Lucunya, di negeri +62 ini, seringkali kamera menyala dulu, baru mikir belakangan. Orang bisa tampil di forum penting cuma bermodal semangat dan jaket almamater pinjaman.

Argumen disusun pakai power point, tapi isinya malah copy-paste dari Wikipedia. Padahal, kalau bicara kebijakan dan masa depan, tak cukup pakai semangat perlu otak yang siap lari maraton, bukan cuma selfie.

Filosofi Diam

Orang pintar tak perlu banyak suara. Mereka tahu bahwa akal sehat bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dipakai. Dalam dunia yang makin ramai ini, menjadi diam bukan berarti menyerah, tapi justru sedang meramu jurus, seperti nasi yang enak nggak perlu teriak, cukup ditanak dengan sabar.

Karena pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab, “Jika kata-katamu bukan lebih baik dari diam, maka diamlah.”
Dan seperti kata nenekku, “Mulutmu harimaumu. Kalau harimau lapar, ya kamu juga yang digigit.”

Jadi, daripada bicara asal-asalan dan menari di panggung opini tanpa isi, lebih baik jadi sumur dalam yang tenang, jernih, dan menyegarkan. Sebab, zaman sekarang, mereka yang benar-benar paham biasanya memilih diam. Sementara yang hanya ingin tampil, ya cuma jadi headline sesaat… sebelum akhirnya dilupakan seperti sinetron episode ke-187.

Kalau kamu pikir diam itu lemah, berarti kamu belum tahu ilmu kungfu yang jurusnya diem dulu baru nyeruduk. Sama kayak strategi timnas Jepang pelatihnya kalem, pemainnya gak neko-neko, tapi begitu main, langsung bikin lawan jantungan.

Ini diperkuat juga  Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens. Ia bilang “Orang yang benar-benar paham sejarah dan data, akan lebih banyak diam, karena mereka tahu dunia ini kompleks. Yang terlalu yakin biasanya nggak baca.”

Di dunia yang isinya lomba viral dan debat ala warung kopi online, diam itu kadang jadi benteng terakhir orang waras.

Karena pada akhirnya petasan rame tapi gak ngasih terang, ember goyang terus tapi gak ada airnya., dan yang paling penting pintar itu bukan yang paling sering tampil, tapi yang paling sering mikir.

Jadi, daripada ribut kayak kipas angin rusak, mending tenang tapi nyala karena yang paling keras bukan suara, tapi logika. Yang paling bikin maju bukan ributnya, tapi pikirannya.

Ingat kata pepatah Jawa “Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” (Diam dalam kepentingan, tapi sibuk dalam karya).

Kalau kamu diam, bukan berarti kamu bodoh, bisa jadi kamu cuma malas debat sama yang logikanya masih pakai sistem barter.
Karena kadang, diam itu emas… terutama kalau yang ngomong adalah aluminium.[***]

Terpopuler

To Top