Sumselterkini.co.id, – Hujan turun, tanah longsor, jalan amblas, pejabat datang. Begitu terus polanya, berulang seperti kaset rusak yang diputar tiap musim penghujan. Kali ini, giliran bahu jalan penghubung Musi Rawas dan Musi Banyuasin yang jadi korban. Longsor di Kelurahan Pasar Muara Beliti ini bukan sekadar insiden biasa, tapi bukti nyata bahwa infrastruktur kita masih jauh dari kata kokoh. Apakah harus menunggu bencana datang baru kita panik dan bertindak?, Nah, PR berlanjut !
Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru, langsung turun ke lokasi untuk melihat kondisi jalan yang longsor. Beliau mengecek kerusakan, memberi arahan kepada dinas terkait, dan membagikan sembako kepada warga terdampak. Langkah ini tentu baik, tapi bukan itu inti masalahnya. Kenapa kita selalu bergerak setelah musibah terjadi?
Bukankah lebih baik mengantisipasi sejak awal daripada sibuk menambal setelah rusak? Infrastruktur harusnya dibangun kuat sejak awal, bukan jadi proyek musiman yang baru diingat saat bencana datang. Jika sejak awal kualitas pembangunan diperhatikan dengan baik, kejadian seperti ini tidak perlu terjadi berulang kali.
Sayangnya, kasus jalan amblas atau longsor bukan kali pertama terjadi. Sudah sering infrastruktur publik tiba-tiba rusak dan memerlukan perbaikan mendadak. Padahal, anggaran untuk pembangunan dan perawatan jalan sudah ada. Tapi entah kenapa, jalanan tetap saja banyak yang berlubang, amblas, atau longsor ketika diterpa cuaca ekstrem. Apakah ada yang salah dalam pengawasan? Apakah perencanaannya kurang matang? Atau ada faktor lain yang menyebabkan infrastruktur kita seperti barang sekali pakai?
Rombongan pejabat setempat juga sudah turun tangan. Dari Bupati Musi Rawas Hj. Ratna Machmud hingga Kepala Dinas PU, semua berkumpul dan mengimbau warga untuk waspada. Tapi, rakyat butuh lebih dari sekadar imbauan. Masyarakat butuh jalan yang aman, kuat, dan nggak bikin deg-degan setiap musim hujan tiba. Rakyat juga butuh jaminan bahwa anggaran infrastruktur benar-benar dialokasikan untuk membangun jalan yang berkualitas, bukan sekadar proyek yang gampang rusak dalam hitungan bulan.
Langkah cepat yang diambil gubernur patut diapresiasi, tapi pertanyaannya, kenapa kita selalu gercep setelah bencana terjadi? Seandainya perencanaan infrastruktur kita lebih visioner dan tidak sekadar tambal sulam, mungkin kejadian seperti ini bisa dihindari.
Jalan utama yang jadi urat nadi masyarakat tak seharusnya menunggu longsor dulu baru diperhatikan. Perawatan rutin dan pengawasan kualitas pembangunan harus menjadi prioritas, bukan hanya seremoni peresmian. Pembangunan infrastruktur seharusnya tidak sekadar formalitas yang selesai dalam satu periode jabatan, tetapi investasi jangka panjang untuk kepentingan masyarakat.
Syukurnya, masih ada jalur alternatif Semambang-Cecar dan Semangus-Pali, yang baru saja diresmikan jembatannya. Setidaknya, ada jalan lain bagi masyarakat yang ingin bepergian tanpa harus menerjang risiko di jalur longsor. Tapi tetap saja, ini bukan solusi permanen. Jalur utama tetap harus diperbaiki dan diperkuat agar masyarakat tidak selalu dipaksa mencari jalan lain setiap kali ada musibah.
Selain infrastruktur, faktor lingkungan juga harus diperhatikan. Tanah longsor bukan hanya akibat curah hujan tinggi, tetapi juga bisa disebabkan oleh penggundulan hutan dan pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak lingkungan. Pemerintah daerah dan pusat harus bekerja sama dalam menjaga ekosistem agar kejadian serupa tidak terus berulang. Jika setiap tahun kita menghadapi masalah yang sama, artinya ada yang tidak beres dalam cara kita mengelola pembangunan.
Pada akhirnya, rakyat berharap aksi ini bukan cuma sekadar blusukan pencitraan, tapi benar-benar jadi awal perubahan sistemik. Jangan sampai kejadian serupa terus terulang tanpa perbaikan yang benar-benar nyata. Infrastruktur bukan cuma soal aspal dan beton, tapi juga soal keberlanjutan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus belajar dari kejadian ini dan mengubah pendekatan dalam membangun infrastruktur—bukan sekadar memperbaiki setelah rusak, tetapi membangun sejak awal dengan kualitas terbaik.
Mari keluar dari siklus panik-reparasi-lupa ini, dan bangun infrastruktur yang tahan lama, bukan sekadar tambal sulam. Karena kalau cuma datang setelah longsor terjadi, ya… sama aja kayak kita baru beli payung setelah kebasahan! Atau lebih parah, beli payung, tapi bocor!, semoga jadi pertimbangan! [***]
