BANK Indonesia kembali merilis laporan Prompt Manuafacturing Index (PMI-BI). Dalam laporannya, BI memproyeksikan, sektor manufaktur pada kuartal I/2021 berada di zona ekspansi, tepatnya berada di angka 51,14 persen.
Proyeksi BI itu berdasarkan indikator berupa komponen volume total pesanan, volume persediaan barang jadi, dan volume produksi yang berada pada fase ekspansi. Tak dipungkiri, saat ini masih terlalu dini untuk menilai. Untuk sampai ke penghujung tahun, jalan yang harus dilalui akan cukup terjal.
Proyeksi PMI Bank Indonesia itu juga terkonfirmasi dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam laporannya yang dirilis Jumat (15/1/2021), lembaga itu mencatat neraca perdagangan sepanjang tahun lalu mengalami surplus USD21,74 miliar, jauh lebih baik dibandingkan dengan 2019 yang defisit USD3,2 miliar.
“Selama 2020, neraca perdagangan kita surplus USD21,74 miliar. Surplus ini terbesar sejak 2011,” ujar Kepala BPS Suhariyanto, dalam konferensi pers ‘Pengumuman Ekspor Impor Desember’. Bahkan, capaian ekspor pada Desember cukup menggembirakan yakni naik 8,39 persen secara bulanan dan 14,5 persen secara tahunan. Ekspor bulan lalu sebesar USD16,54 miliar juga merupakan yang tertinggi sejak Desember 2013.
Indikator mulai menggeliatnya ekonomi, terutama impor bahan baku, terlihat dari kinerja selama Desember 2020 dibandingkan bulan sebelumnya. Laporan BPS juga menyebutkan sejumlah komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Desember dibandingkan bulan sebelumnya. Harga minyak mentah naik 17,48 persen, minyak kelapa sawit naik 6,62 persen, dan batu bara naik 28,93 persen.
Sementara itu, menurut laporan itu pula, impor pada sepanjang tahun lalu merosot dan itu terjadi pada seluruh golongan barang. Impor bahan baku/penolong anjlok 18,32 persen menjadi USD103,21 miliar, barang modal jatuh 16,73 persen menjadi USD23,7 miliar, dan barang konsumsi turun 10,93 persen menjadi USD14,66 miliar.
Mulai Menggeliat
Yang patut menjadi catatan adalah indikator mulai menggeliatnya aktivitas ekonomi, terutama sektor manufaktur yang terlihat secara bulanan. Impor pada Desember sudah mulai menunjukkan kenaikan 14 persen dibandingkan November, tetapi turun tipis 0,47 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menjadi USD14, 4 miliar.
Kembali lagi ke laporan Bank Indonesia. Laporan Prompt Manufacturing Index (PMI-BI) mencatat, kinerja industri pengolahan pada kuartal IV/2020 hanya 47,29 persen. Merujuk angka itu, artinya industri masih berada di zona kontraksi. Bank sentral dalam laporan tersebut memprediksi kinerja sektor industri pengolahan akan meningkat dan berada dalam fase ekspansi pada kuartal tiga bulan pertama tahun ini.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyampaikan, ramalan peningkatan PMI pada kuartal pertama tahun ini didorong komponen volume total pesanan, volume persediaan barang jadi, dan volume produksi yang berada pada fase ekspansi. “Pada periode tersebut beberapa subsektor diprediksikan berada pada fase ekspansi,” kata Erwin dalam keterangan resminya, Jakarta, Rabu (13/1/2021).
Subsektor yang dimaksud yaitu makanan, minuman, dan tembakau, serta semen dan barang galian nonlogam. Kemudian ada pula pupuk, kimia dan barang dari karet serta subsektor kertas dan barang cetakan.
Berdasarkan jenis subsektor, kinerja PMI BI kuartal I 2021 diprediksi mengalami perbaikan pada mayoritas subsektor industri pengolahan. Beberapa subsektor yang telah berada dalam level ekspansi pada kuartal tersebut, antara lain, subsektor makanan, minuman, dan tembakau 54,26 persen, yang didorong oleh permintaan yang masih terus terjaga, disertai kecukupan bahan baku produksi.
Kemudian, subsektor pupuk, kimia dan barang dari karet 54,21 persen serta subsektor kertas dan barang cetakan 51,20 persen. Kinerja industri pengolahan pada kuartal IV lalu mulai membaik dibandingkan kuartal sebelumnya, seiring upaya untuk memenuhi permintaan yang meningkat pada Hari Raya Natal dan Tahun Baru.
Kunci Utama
Menanggapi laporan PMI BI itu, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, ada dua kunci utama dalam upaya membangkitkan kinerja industri nasional pada tahun ini.
Pertama, adanya program vaksinasi Covid-19. Kedua, penerapan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Langkah strategis ini juga dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Dimulainya vaksinasi bisa menjadi kunci pendorong dalam pemulihan industri di tanah air,” kata Menperin di Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Bahkan, dia menambahkan, program vaksinasi tersebut akan ditopang oleh serangkaian kebijakan yang telah berjalan sejak pertengahan tahun lalu. Kemenperin berkomitmen memacu kembali daya saing industri nasional melalui empat jurus jitu.
Pertama, menjaga produktivitas industri selama pandemi melalui kebijakan pemberian izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI). Sebanyak 18.527 IOMKI telah diberikan kepada perusahaan industri untuk melindungi kelangsungan aktivitas bagi 5,16 juta orang tenaga kerja.
Kedua, peningkatan kemampuan industri dalam negeri dalam mendukung penanganan Covid-19, khususnya industri farmasi untuk penyediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Ketiga, pengoptimalan program peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
Keempat, melanjutkan program substitusi impor 35 persen, yang dilaksanakan secara simultan dengan peningkatan utilisasi produksi, mendorong pendalaman struktur industri, dan peningkatan investasi. Melalui berbagai program dan kebijakan tersebut, Menperin optimistis, industri manufaktur di tanah air akan tumbuh positif mendekati 4 persen pada 2021.
Sebelumnya, di triwulan III-2020, pertumbuhan industri manufaktur mengalami kontraksi 4,31 persen dan pada triwulan II-2020 juga terkontraksi 6,19 persen. “Industri manufaktur pada 2021 diperkirakan kembali pada titik positif. Seluruh subsektor manufaktur akan kembali bergairah, dengan asumsi pandemi sudah bisa dikendalikan dan aktivitas ekonomi kembali pulih. Kami memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur pada 2021 akan tumbuh mendekati 4 persen,” paparnya.
Apa yang diungkapkan Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita adalah wajar saja. Apalagi, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang kini terus berada di level ekspansif.
Pada Desember 2020, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 51,3 atau naik dibandingkan capaian bulan sebelumnya yang berada di posisi 50,6. Angka indeks di atas 50 itu diartikan industri satu negara kini mengalami ekspansi. Bila indeks industri negara itu berada di bawah 50 berarti kontraksi.
“Keyakinan dari pelaku industri, bahwa dari data-data yang tampak ada reborn dari konsumsi domestik. Selain itu, adanya signal vaksinasi (pelaksanaan vaksinasi mulai berjalan). Ini yang menumbuhkan confidence tinggi dari pelaku industri untuk mendorong proses produksinya,” jelas Agus.
Namun, perekonomian nasional kini diuji lagi, apakah tren ekspansi itu akan terus berlari atau tersendat kembali? Pertanyaan ini wajar mengemuka. Pasalnya, pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta dan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali mulai berlaku. Waktu yang akan menjawabnya.
Harapannya, ekonomi tetap di tren ekspansi dan wabah pandemi Covid-19 mulai terkendali seiring dengan telah datangnya vaksin dan sejumlah masyarakat mulai divaksinasi.[***]
Indonesia.go.id