DI NEGERI yang tiap gang ada tukang kopi, dan tiap status Facebook isinya ngeluh “belum ngopi”, jangan heran kalau kopi jadi identitas nasional. Tapi ternyata, meski mulut rakyat udah hafal rasa arabika dan robusta, ekspor kopi Indonesia belum semoncer potensi rasanya. Untungnya, Kemenparekraf dan Roemah Koffie sadar, biji kopi tak boleh cuma jadi teman begadang, tapi juga alat diplomasi dagang yang wangi.
Dalam pertemuan hangat di Autograph Tower, Wamen Ekraf Irene Umar menyeduh wacana penting ekspor tak cukup dengan kontainer, tapi perlu narasi dan kreativitas. “Kopi kita luar biasa. Tapi tanpa penguatan SDM dan storytelling merek, ya hanya berakhir di gelas sendiri,” katanya, setegas espresso pagi-pagi, kemarin.
Roemah Koffie pun tidak tinggal diam, mereka bukan hanya jualan kopi, tapi juga jualan cerita dari ladang hingga latte. Mereka merancang akademi kopi, tempat anak muda bisa belajar jadi barista, pebisnis, bahkan konten kreator yang bisa bikin kopi viral di TikTok tanpa harus joget pakai apron.
Konsepnya keren dari hilirisasi produk, aktivasi merek, hingga diplomasi kopi lintas negara. Targetnya? Ya tentu saja bukan cuma ekspor biji, tapi ekspor budaya. Karena kalau Italia bisa branding espresso sampai mendunia, kenapa kita harus ngopi sambil minder?
Di bawah program Sinergi Ekraf dalam Asta Ekraf, kementerian siap turun tangan bantu pelaku usaha kopi menembus pasar dunia dari pameran, promosi digital, sampai diplomasi rasa. Bahkan urusan admin ribet pun bakal dijembatani. Ibaratnya, pemerintah yang bikinin jalan tol, pelaku usaha tinggal gas pol.
Tak kalah penting, penguatan SDM jadi kunci. CEO Roemah Koffie, Felix TJ, ngajak kerja bareng kampus vokasi dan politeknik. “Kita butuh barista, desainer kemasan, dan orang kreatif. Kopi butuh lebih dari seduhan dia butuh panggung,” katanya, sambil membayangkan lulusan kuliah bisa langsung kerja, bukan malah buka rental PS.
Wamen Irene pun sepakat kopi bisa jadi jalan masuk dunia kerja. “Kalau anak muda disiapkan dari awal, mereka bisa langsung masuk industri tanpa kagok. Inilah kenapa kita bangun jembatan antara pendidikan dan pelaku usaha,” jelasnya karena ngopi tanpa peluang itu cuma pahitnya doang.
Direktur Kuliner Kemenekraf, Andy Ruswar, menambahkan, kementerian terbuka buat bantu urusan ekspor dari sisi teknis. Mulai dari koordinasi birokrasi sampai promosi global, semua bisa dikawal. Intinya asal produknya siap, pasar kita cari.
Kopi, kata Roemah Koffie, bukan cuma minuman. Ia adalah pengikat cerita, perekat budaya, dan sumber cuan halal. Dari petani hingga penikmat, dari desa hingga bandara internasional, kopi menyatukan rasa dan visi Indonesia.
Jadi, kalau ada yang nanya: “Apa yang bisa diekspor dari kedai pinggir jalan?” Jawab aja: kopi lokal rasa global, lengkap dengan narasi, SDM tangguh, dan strategi kreatif ala Roemah Koffie. Karena di Indonesia, revolusi bisa dimulai dari secangkir kopi… asal jangan lupa gula dan strategi.[***]