Sumselterkini.co.id, – Di negeri kita tercinta, kalau sudah dengar kata “napi”, bayangan yang muncul biasanya antara tato di leher, tatapan tajam penuh dendam, atau cerita-cerita sinetron tentang kabur dari sel pakai sendok. Tapi kini, angin perubahan mulai berembus ke sel-sel penjara.
Bukan cuma angin dari kipas angin rusak, tapi angin segar penuh harapan. Dan angin itu, datangnya dari ajang Indonesia Prison Bayangkan warga binaan yang dulunya dibina, karena salah jalan, sekarang malah bisa ngasih kita inspirasi lebih dari sekadar quote-quote motivasi di Instagram. Mereka bikin kerajinan, menjahit, bikin kopi, sampai ngelukis potret Pak RT pakai pensil warna. Lah, kita yang bebas aja belum tentu bisa!
Menteri UMKM Maman Abdurrahman pun angkat topi secara simbolis, karena beliau tetap pakai peci waktu sambutan untuk Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan alias Kemenimipas. Menurut beliau, IPPA Fest ini semacam panggung dadakan yang bikin kita semua sadar bahwa orang di balik jeruji itu masih punya mimpi, bakat, dan yang paling penting kemauan buat berubah.
Selama ini, kita suka pakai label napi = kriminal, mantan napi = harap maklum. Tapi kalau kita mau jujur, yang suka tipu-tipu di luar sana juga banyak. Bedanya mereka pakai jas, bukan baju oranye.
Nah, warga binaan yang ikut IPPA Fest ini justru ingin membuktikan bahwa masa lalu kelam bukan alasan buat masa depan suram. Mereka bukan lagi “eks napi”, tapi “eksportir potensi”.
Pak Menteri Maman juga bawa kabar baik lewat Super Apps Sapa UMKM, semua warga binaan yang punya usaha bakal didata, dimonitor, dan diberi perhatian. Bukan cuma ditanya “sudah makan belum?”, tapi juga “sudah punya izin usaha belum?”
Bahkan, beliau berencana mengusulkan revisi Undang-Undang UMKM. Isinya? Warga binaan bisa masuk kategori UMKM, artinya mereka bisa ikut semua program afirmatif pemerintah. Bukan sekadar afirmatif di kata, tapi afirmatif sampai ke saldo rekening.
Bukan cuma Indonesia yang berpikir ke depan. Di Italia, ada penjara Rebibbia di Roma yang ngelola fashion line dari warga binaan. Baju rancangannya dipakai model profesional. Bahkan, di Thailand, ada kafe yang seluruh baristanya warga binaan. Kopinya enak, dan pelayanannya sopan, karena mereka tahu, kesalahan masa lalu bukan buat diulang, tapi untuk dipelajari sambil nyeduh kopi latte.
IPPA Fest bukan cuma pameran, tapi pernyataan. Bahwa warga binaan bukan beban, tapi cadangan talenta yang selama ini kita lupakan. Daripada terus-terusan bilang “napi harus tobat”, kenapa nggak kita bilang, “napi harus punya outlet”?
Bayangkan kalau nanti ada label “Made in Nusakambangan” yang bangga disematkan di tas rajutan atau meja ukiran. Bukan karena kita glorifikasi masa lalu mereka, tapi karena kita percaya: setiap manusia bisa berubah asal dikasih kesempatan, bukan cuma ceramah.
Jadi, lain kali ada bazar hasil karya warga binaan, jangan cuma selfie sama kerajinannya. Beli. Kasih review bintang lima. Tunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar memenjarakan, tapi juga membebaskan melalui karya.
Kalau kata orang bijak “Jeruji besi tak bisa menahan mimpi,”. Dan mimpi para warga binaan kini mulai bertumbuh dari balik sel, ke etalase mall, ke hati pembeli yang bijak. [***]