Haji & Umroh

Menyeberangi Samudra Menuju Ka’bah, Saatnya Buka Jalur Ibadah yang Terjangkau

kemanag

MARI kita akui satu hal dulu di awal tulisan ini sebenarnya naik haji itu butuh niat, duit, dan… tiket. Dan tiket pesawat ke Arab Saudi itu kadang rasanya kayak rebutan takjil pas Ramadan  siapa cepat, dia dapat. Yang lambat? Ya nabung lagi sambil nahan napas lihat kurs dolar.

Nah, ada menarik soal Haji karena ada wacana naik haji lewat jalur laut kembali mengapung ke permukaan, dan kali ini bukan sekadar angin laut semata. Pemerintah Indonesia, lewat Menteri Agama Nasaruddin Umar, sedang menggagas cara baru menuju Tanah Suci, bukan lewat udara yang kadang bikin kepala pening karena harga tiket, tapi lewat laut yang lebih santai, luas, dan bisa sambil ngopi di dek kapal sambil baca doa talbiyah.

Ibaratnya, kalau biasanya orang berangkat haji pakai jet, sekarang ditawari versi syahdu-nya pelan-pelan tapi khusyuk. Ini bukan nostalgia zaman nenek kita dulu naik kapal 40 hari 40 malam, tapi bagian dari inovasi ibadah yang ramah kantong dan menyejukkan hati.

Untuk itu, Kemenag bukan hanya rajin ngurusin regulasi manasik, mereka juga sedang menjajaki jalur baru ke Tanah Suci: lewat laut! sekali lagi, ini betul wacananya, bahkan wacana ini bukan lewat mimpi, bukan lewat tiktok ustaz viral, tapi lewat kapal laut beneran.

Gagasan yang disampaikan ini bikin saya spontan nyeletuk, “Wah, ibadah sambil mabuk laut, menantang iman sekaligus lambung!”.

Tentumnya ini juga bukan asal lempar ide, menurut Pak Menteri, kalau pelabuhan dan kapal sudah siap, serta otoritas Arab Saudi oke, maka ibadah haji dan umrah bisa dilakukan sambil mengarungi samudra. Gak usah pusing nyari promo Garuda. Tinggal cari pelampung, naik ke dek, dan mulai dzikir sejak kapal lepas jangkar.

Mungkin sebagian orang  langsung berkomentar, “Hah? Ini kan balik ke zaman kakek gue!”. Iya…, mungkin kakek kita dulu ke Makkah naik kapal selama 30 hari sambil makan nasi bungkus daun pisang dan mandi pakai gayung bersama.

Tapi kapal zaman sekarang udah kayak hotel jalan di atas laut. Ada kamar ber-AC, tempat tidur empuk, musala, bahkan kalau boleh mimpi sedikit, mungkin juga ada kajian subuh sambil sarapan bubur kacang hijau.

Ingat pepatah “Orang bijak tak berenang melawan arus, dia naik kapal”. Maka ide ini bukan langkah mundur, tapi justru loncatan ke arah inklusivitas ibadah yang lebih luas.

Haji tak lagi eksklusif buat yang sanggup beli tiket mahal, tapi terbuka untuk rakyat biasa yang rajin nabung dari hasil jualan cilok atau ternak lele.

Eh, tapi jangan GR dulu. Indonesia bukan satu-satunya negara yang naksir ide ini. Lihat tuh Mesir contohnya, mereka udah biasa banget kirim jemaah via kapal dari Suez ke Jeddah. Malah bisa jadi ajang “pengajian terapung nasional”.

Begitu pula India, juga punya sejarah panjang pengiriman jemaah via laut, terutama dari Kerala dan Gujarat, dan sekarang, jalur itu mulai dibicarakan lagi sebagai opsi murah-meriah tapi tetap penuh berkah.

Bahkan Malaysia udah lebih gaya, mereka udah punya “Umrah Cruise”. Ibadah plus liburan Islami, sambil dengerin ustaz di atas kapal pesiar. Bisa jadi, di masa depan ada juga paket “Umrah Sambil Snorkeling Halal”.

Bayangkan naik kapal selama beberapa hari. Angin laut semilir, suara ombak menggulung pelan, lalu kita shalat berjamaah di atas dek, berteman langit senja dan bau minyak angin. Bisa jadi ini malah lebih spiritual dibanding naik pesawat sambil panik lihat indikator seatbelt.

Dan yang lebih penting biaya jauh lebih murah. Ini kabar gembira untuk para jemaah yang dompetnya sudah habis duluan buat arisan, tapi tetap ingin ke Baitullah.

Tak hanya itu, ekonomi lokal juga ikut naik daun. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia akan hidup. UMKM bisa jualan makanan halal buat jemaah yang nunggu kapal.

Industri maritim bisa bangkit, dan yang pasti warga gak harus berbondong-bondong ke bandara di kota besar hanya demi mengejar kursi di kelas ekonomi.

Disiapkan dengan benar

Namanya juga ide keren, ya tentu harus disiapkan dengan benar. Jangan sampai nanti jemaah naik kapal, eh nyasar ke pelabuhan barang. Atau lebih parah, kapal gak boleh merapat ke Jeddah karena izinnya belum kelar. Kalau ini mau serius, maka siapkan pelabuhan khusus haji, lengkap dengan tempat manasik, ruang kesehatan, dan warung halal.

Kapalnya juga harus khusus,  ada musala, tempat wudhu, klinik, dan gak boleh ada hiburan goyang-goyang. Haji bukan festival laut. Pemerintah juga harus deal sama Arab Saudi. Jangan sampai kapal udah nyebrang, jemaah udah hafal doa sa’i, eh malah disuruh muter balik kayak kapal nelayan ilegal.

Saya pribadi mendukung penuh ide ini, karena menurut saya, ibadah itu bukan tentang seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa dalam kita merenungi perjalanan, dan perjalanan laut punya keistimewaan tersendiri ruang untuk diam, berpikir, dan mendekatkan diri pada Sang Pemilik Lautan.

Kalau pesawat bikin kita lihat awan, kapal bikin kita merenung bersama ombak. Dua-duanya bisa sampai ke Ka’bah, tapi jalur laut bisa membuka pintu ibadah yang lebih luas untuk rakyat kecil.

Jadi, kalau nanti pemerintah beneran bikin “Kapal Haji Indonesia Raya”, saya siap daftar, bukan karena takut naik pesawat, tapi karena saya ingin mencoba naik level ke spiritualitas gelombang. Dan siapa tahu, doa-doa saya dikabulkan lebih cepat… karena sinyalnya lebih lancar di laut.

…Dan siapa tahu juga, doa-doa saya dikabulkan lebih cepat… karena sinyalnya lebih lancar di laut.

Tapi kalaupun sinyal gak stabil, toh koneksi ke langit gak butuh Wi-Fi. Yang penting niatnya nyambung, hatinya bersih, dan jalannya jelas. Karena dalam ibadah, perjalanan itu bukan soal transportasi, tapi transformasi, dari gelombang ke gelombang, dari niat menuju rida-Nya.

Maka kalau ada yang nanya, “Naik kapal ke haji, emangnya masih relevan?”
Saya jawab, “Yang penting bukan kapalnya, tapi hatimu nyampe atau nggak ke Ka’bah”

Laut bisa jadi saksi. Kapal bisa jadi sajadah besar yang membentang dari pelabuhan hati ke dermaga spiritual. Dan selama kita mau membuka jalan untuk semua, maka Baitullah tak lagi hanya milik mereka yang bisa terbang, tapi juga milik mereka yang sanggup bertahan, meski harus pelan-pelan.

Dan ingatlah…

Kalau Tuhan bisa membelah laut buat Nabi Musa,
masak sih kita gak bisa buka jalur laut buat jemaah Indonesia?

Siap-siap tas ihram… tapi jangan lupa beli minyak angin dan obat mabuk laut. Karena jalan ke surga kadang lewat gelombang.[***]

Terpopuler

To Top