“Anak-anak tidak sedang bermain. Mereka sedang bekerja. Serius. – ” Fred Rogers, pencipta Mister Rogers’ Neighborhood
SORE itu, udara di di MarBlok C enggan lekas berubah jadi malam, pohon karet, akasia, dan gelam berdiri seperti pagar alami di ujung perumahan, membentengi kampung dari kebisingan kota dan truk-truk tronton yang siang malam lewat di Jalan Raya. Tak ada klakson bis antarkota atau suara sirine patroli, yang terdengar justru jeritan khas.
“Aku kelinci! Aku kelinci! Woy, yang jongkok jangan goyang-goyang, jatuh aku nanti!”
Tawa pun meledak dari arah lapangan becek di pinggir blok, di situlah sekelompok bocah cewek usia 8 sampai 10 tahun sedang bermain “Lompat Kelinci” dengan semangat lebih membara dari demo sopir ojek daring di hari Senin.
Mereka bukan karakter kartun Jepang. Mereka adalah Ucul, paling cerewet dan jago salto meski sering nyusruk, Pipit, pendiam yang lompatan diam-diam bikin decak kagum, Tetek, komandan lapangan yang selalu bawa air minum dari rumah, Empol, ketawa dulu, jatuh belakangan, Nduk, spesialis teriak “ulang, ulang, ulang!”,dan Kicik, si kecil mungil yang pantang mundur jadi tumpuan.
Sebelum lanjut, mari kita luruskan, apa itu “MarBlok C” ? istilah itu, bukan nama resmi kelurahan, bukan pula waralaba superhero. Namun plesetan lokal dari “Marvel-nya Blok C”. Sebuah universe imajinatif tempat anak-anak kampung menjadi pahlawan tanpa aplikasi.
Kalau Marvel punya Captain America dan Wakanda, maka MarBlok C punya Ucul, Pipit, dan kawan-kawan yang lompatannya bisa bikin deg-degan emak-emak dari balik jendela.
Di sini, kekuatan super itu bukan bisa terbang atau punya laser mata, tapi bisa nahan jongkok 6 kali tanpa jatuh dan masih bisa ketawa kalau kepeleset lumpur.
MarBlok C adalah semesta nyata yang tidak bisa diunduh, tapi bisa ditemukan di lapangan becek, di antara sandal jepit hilang, dan tawa yang bersahut-sahutan.
Pipit awalnya bukan pemain tetap. Ia pendiam, suka duduk di pojokan rumah sambil nonton video mukbang atau main game zombie-zombiean. Tapi sejak suatu sore ia ikut nonton permainan, dan Ucul tiba-tiba teriak “Pipiiiit, sini jadi kelinci cadangan!”
Sejak saat itu, Pipit jarang terlihat tanpa lumpur di dengkulnya.
Ibunya, Bu Saminem, bersaksi sambil ngulek sambal “Dulu anak itu kalo disuruh keluar rumah kayak disuruh bayar utang. Sekarang, sandal hilang dua pasang gara-gara main mulu”.
Apa itu lompat Kelinci?, bagi yang belum kenal, ini permainan lawas mirip parkour kampung. Satu anak membungkuk seperti huruf “n”, lalu teman-temannya melompat melewati punggungnya sambil berseru “kelinci!”. Yang sudah lompat, gantian jadi tumpuan, kadang jatuh, kadang nyusruk, tapi selalu ada tawa.
Permainan ini bukan sekadar olahraga, bak pelatihan militer versi empati, anak yang melompat percaya temannya nggak goyang. Yang jadi tumpuan percaya temannya nggak loncat pakai lutut.
Manfaatnya? Banyak, Pak….
Menurut Jean Piaget, psikolog Swiss, anak usia 7–11 tahun sedang berada di tahap operasional konkret – belajar logika lewat perbuatan (The Language and Thought of the Child, 1959). Nah, Lompat Kelinci ini persis seperti simulasi hidup, ada giliran, risiko, kerja sama, dan refleks tubuh.
Dari sisi kesehatan? WHO menyarankan anak usia sekolah minimal 60 menit aktivitas fisik sehari (Guidelines on physical activity and sedentary behaviour, WHO, 2020). Lompat Kelinci bukan cuma cardio, tapi juga terapi stres, terapi tawa, dan terapi jantung emak-emak yang nonton dari jendela. “Gerakan, tawa, dan interaksi sosial itu fondasi kecerdasan anak” -Dr. Stuart Brown, Play: How It Shapes the Brain… (2009).
Bu Tatik (42), guru SD lokal “Anak-anak itu lebih gampang bahagia kalau dikasih main. Kadang kita yang bikin hidup mereka ribet dengan PR dan les. Main Lompat Kelinci itu pelajaran karakter yang tak ada di modul”.
Pak Giman (58), Ketua RT “Saya lebih senang lihat anak kampung main lari-lari daripada lihat anak kota pegang iPad sambil pasang earphone, kayak astronot isolasi”.
Di kota, taman bermain ada tapi pakai tiket, anak-anak main di mal, bukan di tanah, mereka tahu nama semua karakter game, tapi nggak kenal tetangga sebelah. Ada anak yang hafal fitur TikTok tapi nggak tahu cara main petak umpet.
Di kampung, anak main di jalan perum, bisa juga di lapangan becek, sandal jepit ilang itu biasa. Tapi mereka tahu giliran, tahu rasanya jatuh dan ditertawakan lalu bangkit dan tertawa bareng.
“Anak yang tak pernah main tanah, akan sulit menumbuhkan akar empati”.- Bu Mirna, guru SD di Musi Banyuasin
Data UNICEF (2023) menyebut 80% anak Asia Tenggara terpapar layar digital lebih dari 4 jam sehari. Di sinilah Lompat Kelinci jadi semacam vaksin sosial.
Ia membangun ketahanan fisik, sosial, dan mental, anak belajar kapan harus menunggu, kapan harus melompat, dan kapan harus mengalah.
Di Jepang ada Darumasan ga Koronda, di Meksiko ada La Rueda, di Afrika ada Jump Stone, tapi di Blok C, Indonesia, masih ada suara bocah berteriak “kelinciii!” dengan kaki penuh tanah.
THE END (Tapi Sebenarnya Baru Awal), suatu hari nanti, mungkin Pipit, Ucul, dan Kicik akan tumbuh dewasa dan hidup di kota besar, duduk di kantor ber-AC sambil mengetik proposal atau ikut rapat daring dengan atasan di lima zona waktu berbeda.
Tapi ingatan tentang jatuh tertimpa pantat temannya, atau suara “ulang, ulang, ulang!” dari Nduk, akan jadi bekal batin yang tak bisa dibeli di toko aplikasi.
Mereka akan lebih tahu cara menghadapi hidup, karena sejak kecil sudah tahu rasanya ditertawakan, lalu ikut tertawa.
Mereka belajar sejak dini bahwa yang jongkok pun harus kuat, dan yang meloncat jangan lupa mendarat, lantaran di Lompat Kelinci, kalau satu goyang, semua bisa ambruk.
Persis kayak kehidupan sosial di negara berkembang saling percaya atau saling menjatuhkan.
Canggih
Dunia boleh makin cepat dan canggih, tapi empati tidak bisa diunduh dari App Store. Interaksi tidak bisa digantikan dengan emoticon, dan karakter tak bisa dibentuk hanya dengan main Candy Crush.
Pipit, yang dulu hanya duduk sambil menonton YouTube, kini bisa nyelutuk kalau ibunya cerewet “Bu, aku anak outdoor sekarang. Lantai bukan habitatku”.
Anak-anak di Blok C mungkin tak bisa coding atau bikin NFT. Tapi mereka bisa bikin lingkaran untuk bermain, bisa ganti posisi, bisa jadi tumpuan, bisa belajar sabar, dan tahu kapan harus mundur supaya temannya maju.
Kalau ini bukan pendidikan karakter, lalu apa?
Epilog, surat dari MarBlok C untuk bocah-bocah se-dunia (dan Orang Dewasa yang Pernah Jadi Anak-Anak), wah nyasar jauh bocah global bukan lokalan RT……
Hai kalian, bocah-bocah di mana pun kalian berada.
Di balik gedung pencakar langit New York, di perahu di Sungai Mekong, di kamp pengungsi Palestina, atau di lorong kecil Mumbai, kami cuma mau bilang kalian boleh main.
Main bukan dosa.
Tanah bukan musuh.
Tawa bukan gangguan.
Dunia sedang kebanyakan layar dan kekurangan tumpuan.
Kita semua sedang kehausan empati.
Dan buat kalian yang sudah dewasa, yang kini duduk serius di balik laptop dengan 37 tab terbuka, coba ingat-ingat
Pernah nggak, kalian jatuh waktu main dan malah ketawa bareng?
Pernah nggak, kalian belajar sabar karena harus nunggu giliran main gasing?
Itu bukan nostalgia murahan. Itu latihan menjadi manusia.
Kalau kita ingin dunia yang lebih damai, empatik, dan penuh tawa, mulailah dari hal sederhana izinkan anak-anak jadi anak-anak.
Karena masa depan tidak sedang diprogram di ruang coding,
tapi sedang dilatih
di lapangan becek, di jalan blok perum..
di atas tanah yang tertawa.
Dan masa depan itu…
masih bisa melompat.[***]
Catatan: Artikel ini ditulis dalam gaya feature naratif, menggabungkan observasi nyata dengan tokoh-tokoh fiktif untuk menyampaikan nilai-nilai sosial dan pendidikan anak. Referensi dari WHO, Jean Piaget, dan Stuart Brown digunakan secara aktual untuk memperkuat relevansi ilmiah dari fenomena permainan tradisional di masa kini.