Ekonomi

“Udara Dijual! Indonesia Buka Lapak Karbon Dunia”

ist

DI pasar ini gak ada yang jual cabe, sayur, apalagi sandal jepit bekas. Tapi yang dijual adalah… udara bersih!
Namanya pasar karbon. Kalau pasar Minggu bikin kenyang, pasar ini bikin bumi tenang. Dan percaya atau nggak, Indonesia lagi siap-siap buka lapak besarnya.

Kedengarannya aneh, ya?. Tapi begitulah dunia sekarang yang dijual bukan cuma hasil bumi, tapi juga napasnya bumi. Kalau dulu jualan hasil hutan itu artinya nebang pohon, sekarang justru menjaga pohon bisa jadi sumber penghasilan. Canggih kali, bos!

Jadi begini, Pasar karbon itu tempat di mana negara, perusahaan, atau lembaga bisa jual beli “izin” untuk memproduksi emisi gas rumah kaca.

Logikanya begini kalau kamu bisa mengurangi emisi (misal, dengan nanem pohon atau bikin energi bersih), kamu dapet “kredit karbon” yang bisa dijual ke pihak lain yang butuh menebus emisi mereka.

Singkatnya, yang rajin menjaga alam bisa jual oksigennya, yang bandel nyampah bayar denda lewat pasar karbon.

Nah, sekarang Indonesia gak mau cuma jadi penonton. Lewat Perpres 110/2025, Presiden Prabowo Subianto resmi buka jalan biar Indonesia bisa jadi pusat perdagangan karbon dunia.

Bayangin, dari dulu kita disebut “paru-paru dunia”, tapi paru-parunya belum pernah dibayar. Sekarang, waktunya tagihan dikirim ke dunia “Nafasnya kami, duitnya mana?”

Kalau dengar kata “pasar”, kita langsung kebayang teriak-teriak ibu-ibu “Cabe sekilo lima belas ribu, ayam dua puluh lima, bonus senyum manis ya bang!”.

Tapi di pasar karbon, gak ada tawar-menawar kayak gitu. Yang ditawar bukan harga tomat, tapi harga masa depan bumi.
Para pembeli di sini bukan emak-emak bawa tas belanja, tapi negara dan perusahaan raksasa yang mau ngurangin dosa karbonnya.

Nah, Indonesia, lewat duet maut Hashim Djojohadikusumo (Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi) dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, kemarin baru tampil di COP30 di São Paulo, Brasil.

Mereka bukan jualan rendang, tapi jualan komitmen hijau, pasar karbon Indonesia yang katanya bakal “berintegritas tinggi” alias gak abal-abal kayak diskon 11.11.

Raja Juli Antoni dengan gaya santainya bilang, hutan itu sekarang bukan cuma paru-paru dunia, tapi ATM dunia.
Bedanya, uangnya keluar bukan karena nebang, tapi karena menjaga.

Lewat skema Perhutanan Sosial, masyarakat sekitar hutan bakal bisa dapet penghasilan dari menjaga pohon, nanem lagi yang gundul, dan jaga supaya gak kebakar.

Kira-kira kayak jaga warung yang rajin buka tiap hari, dapet pelanggan setia. Yang malas, ya sepi.
Bedanya, pelanggan di sini bukan manusia, tapi… atmosfer bumi.

Dan nih, targetnya gak main-main, pemerintah mau ngedongkrak transaksi karbon sampai 7,7 miliar dolar AS per tahun!
Itu kalau dikursin, bisa buat beli cabe rawit se-Indonesia satu tahun, dengan bonus kipas angin buat tiap rumah biar gak kepanasan karena global warming.

Kebijakan karbon ini memang keren, tapi jangan lupa, kalau mau jualan oksigen, integritasnya harus oksigen murni, bukan campur nitrogen politik.

Core Carbon Principles

Makanya, pemerintah juga kerja bareng Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM), semacam “Badan Standar Udara Dunia”. Mereka membantu, biar pasar karbon Indonesia gak disamperin tuduhan palsu, kayak “kredit karbon palsu” atau “proyek pohon fiktif”.

Nah, dari sinilah muncul istilah keren Core Carbon Principles.
Artinya, tiap ton karbon yang dijual harus bisa diverifikasi, dilacak, dan dipertanggungjawabkan. Jadi gak bisa asal klaim “saya nanem seribu pohon”, padahal nanemnya cuma bibit di pot depan rumah.

Kata orang tua dulu, “Siapa menanam, dia yang menuai”. Dulu pepatah itu cuma buat sawah, sekarang berlaku juga buat planet.
Kalau sekarang kita tanam pohon, jaga hutan, rawat udara, besok kita menuai bukan cuma oksigen segar, tapi juga masa depan yang gak sesak napas.

Tapi ya begitu, semua tergantung dari niat dan konsistensi. Jangan sampe pasar karbon ini cuma jadi ajang “jualan janji hijau” kayak kampanye politik yang hijau di spanduk, tapi hitam di laporan.

Ngeliat ini semua, kadang lucu juga.
Dulu orang jual minyak, gas, batu bara. Sekarang, jualan udara.
Tapi jangan salah, justru inilah masa depan ekonomi, bukan lagi soal siapa paling kaya sumber daya, tapi siapa paling bijak menjaga alamnya.

Ironinya, di tengah bumi makin panas, kita malah adu cepat bikin AC. Padahal, solusi terbaik itu bukan nambah pendingin, tapi berhenti bikin panas.

Oleh sebab itu, pasar karbon ini bukan pasar bohongan. Ini cara baru manusia menebus dosa ekologinya.
Dan Indonesia dengan hutannya, dengan rakyatnya, dengan segala potensinya  punya peluang emas buat jadi pusat “dagang udara” paling keren di dunia.

Tapi ya, kalau mau sukses, jangan cuma niatnya hijau di PowerPoint. Harus hijau juga di lapangan.
Karena kalau gak, nanti pasar karbon cuma tinggal karbon copy dari kebijakan lama, ribut di awal, sepi di tengah, hilang di akhir.

Jadi, ayo, daripada cuma sibuk nyalahin udara panas, mending kita bantu jaga oksigen tetap dingin.
]Toh, kalau udara bersih, kepala juga adem, hati tenang, dompet pun  siapa tahu  ikut tebal.[***]

Terpopuler

To Top