MENTERI Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan mencapai sekitar 5,3 persen sampai 5,9 persen dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan potensi pemulihan ekonomi nasional dan target itu optimistis bisa tercapai.
Demikian disampiakan Menkeu saat menyampaikan Pengantar dan Keterangan Pemerintah atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2023 di Jakarta pada Jumat (20/5/2022).
Menkeu mengatakan tantangan dan risiko baru telah muncul dari faktor global baik dari sisi geopolitik, ekonomi dan keuangan yang sangat kompleks dan dinamis harus segera kita antisipasi dan kelola.
“Dua tantangan besar lain yang perlu terus kita waspadai dan antisipasi, yaitu: lonjakan inflasi global, terutama akibat perang Rusia–Ukraina, dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat (AS),” kata Menkeu.
Sri Mulyani menjelaskan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2023 sendiri disusun berdasarkan kondisi Indonesia yang memasuki tahap transisi ke masa endemi. Selain pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro lainnya yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2023.
Adapun indikator asumsi makro lainnya mencakup inflasi tahun depan yang berada di kisaran 2,0 persen hingga 4,0 persen, nilai tukar rupiah Rp14.300 hingga Rp14.800 per dolar AS dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun sekitar 7,34 persen hingga 9,16 persen.
Kemudian harga minyak mentah Indonesia 80 dolar AS sampai 100 dolar AS per barel, lifting minyak bumi 619.000 sampai 680.000 barel per hari dan lifting gas 1,02 juta hingga 1,11 juta barel setara minyak per hari.
Sri Mulyani menegaskan dinamika terkait kenaikan inflasi, biaya bunga dan pengetatan moneter dunia harus direspons dengan disiplin fiskal yang tepat. Oleh sebab itu, kebijakan fiskal 2023 didesain agar mampu merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target pembangunan secara optimal.
“Keberlanjutan proses penguatan pemulihan ekonomi nasional perlu terus dijaga untuk memperkuat fondasi ekonomi dan akselerasi tingkat pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
Selain itu, upaya lebih lanjut untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif juga sangat penting untuk pencapaian sasaran pembangunan jangka menengah-panjang agar Indonesia dapat keluar dari jebakan kelas menengah (middle-income trap).
Oleh karena itu, struktur perekonomian nasional dan tingkat produktivitas nasional perlu diperkokoh melalui percepatan transformasi ekonomi.
Kemudian akselerasi agenda reformasi struktural pasca pandemi COVID-19 mutlak diperlukan melalui peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur, dan reformasi birokrasi dan regulasi.
“Penguatan program pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial sangat krusial dalam mengatasi isu fundamental perekonomian, termasuk rendahnya tingkat produktivitas nasional. Peningkatan produktivitas juga perlu diakselerasi untuk memperkuat sisi supply,” ucapnya.
Sementara itu, penguatan hilirisasi manufaktur, adopsi ekonomi digital, dan pengembangan ekonomi hijau diyakini akan menjadi sumber pertumbuhan baru di masa depan.
Dorongan kepada keberlanjutan tahapan industri manufaktur akan memacu pengembangan produk-produk dalam negeri yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dan mampu berkompetisi di pasar global.
“Untuk pengembangan ekonomi digital akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi di tengah kecenderungan perubahan pola hidup ke arah ‘new normal’. Selain itu, pembangunan ekosistem ekonomi yang ramah lingkungan merupakan wujud komitmen kita bersama dalam mengatasi isu perubahan iklim,” pungkas Menkeu.InfoPublik (***)