Ekonomi

“Expo, Es Cendol & Ekonomi Rakyat Tak Pernah Libur”

ist

DI INDONESIA, tak ada yang lebih semarak dari dua jenis pesta, yaitu  pesta rakyat dan pesta diskon, dua-duanya bikin dompet menipis tapi hati bahagia. Nah, di Muba Expo 2025 baru selesai diselenggarakan, keduanya ibarat kawin sah, karena pesta rakyat sekaligus pesta diskon.

Coba bayangkan, dari stand UMKM sampai panggung dangdut, semua berlomba menarik perhatian, yang jualan batik pakai toa, yang jualan bakso pakai wajan seukuran drum, yang jualan es cendol? tinggal duduk manis, karena pembeli ngantri seperti antre bansos.

Di tengah kerlap-lampu expo, rakyat berdesakan cari jajanan, selfie bareng artis ibu kota, dan sesekali ngelirik harga sandal diskon. Sementara pejabat naik panggung, senyum sumringah sambil bilang, “Ini bukti ekonomi rakyat bangkit!” katanya!,  padahal di bawah panggung, ibu-ibu masih sibuk nawar harga daster.

Ya… begitulah, Muba Expo ini bukan cuma soal hiburan dan lampu LED warna-warni, namun dibalik tenda biru dan aroma sate kambing, ada mesin ekonomi kecil yang berdentum halus tapi pasti. Tengok saja, katanya perputaran uang sampai Rp5,9 miliar, wah luar biasa….., karena angka segitu kalau dikumpulkan dalam bentuk uang logam, mungkin bisa bikin pameran tersendiri “Pameran Koin Rakyat Merdeka!”, keren juga…

Sementara si satu sisi, ada pejabat yang keliling stand dengan wajah sumringah, tiap berhenti disapa pedagang, lalu selfie sambil bilang, “Luar biasa, UMKM Muba keren!”, mantap!.

Di sisi lain, ada pedagang yang dalam hati membatin, “Iya Pak, keren… apalagi kalau diborong”, he…he..

Begitulah simbiosis expo, pejabat cari pencitraan, rakyat cari pelanggan, anak muda cari sinyal WiFi gratis. Semua hidup rukun dalam suasana ekonomi rakyat yang “guyub dan ngopiable”.

Kalau diperhatikan, Muba Expo ini seperti Instagram ekonomi rakyat versi offline, tiap stand berlomba tampil kece, dengan spanduk bertulisan bombastis “Diskon Habis-Habisan Sebelum Mantan Balikan!” atau “Beli Dua Gratis Senyum Penjaga Stand”, hay..he..

Oleh sebab itu, jangan salah, yang datang bukan cuma warga Sekayu, tapi sebaliknya ada yang dari pelosok, naik motor 3 jam, hanya demi nyobain es kepal Milo “legendaris” yang katanya viral di TikTok tiga tahun lalu.

Di tengah keramaian, expo pepatah bilang “Ekonomi itu kayak es cendol, gak cukup manis doang, harus ada santannya biar gurih dan adem di hati”.

Wah…itu sebenarnya bijak betul, pepatah itu mungkin terdengar sepele, tapi kalau dipikir-pikir, dalam juga, sebab ekonomi rakyat gak bisa cuma dikasih janji manis kayak sirup merah di atas cendol. Harus ada santan kebijakan nyata, entah itu dukungan permodalan, pembinaan, atau sekadar mempermudah izin usaha, karena tanpa itu, UMKM cuma hidup sekejap, hanya di event tahunan bahkan nantinya hanya  jadi penonton di panggung pembangunan yang megah tapi dingin.

Meski demikian,  ada satu hal yang luar biasa dari rakyat kecil, yakni daya tahannya, misalnya saja pada umumnya pedagang gorengan di pojokan stand bisa tetap tersenyum meski kipas anginnya kalah angin sama kipas panggung artis. Penjual es kelapa masih semangat meski suaranya tenggelam oleh karaoke “Cinta Tak Direstui” dari lomba sebelah.

Mereka inilah sebenarnya wajah ekonomi Indonesia yang sesungguhnya, mereka tidak menunggu rapat koordinasi lintas kementerian. Tidak peduli kurs dolar naik atau turun, yang penting, hari ini ada pembeli, ada harapan.

Butuh berkembang

Namun ironinya, justru dari lapak-lapak sederhana inilah pemerintah sering dapat angka manis untuk dibacakan di podium, “Pertumbuhan ekonomi meningkat 0,3 persen!”, padahal yang bikin angka itu naik bukan pejabat yang berjas, tapi ibu-ibu yang jual risoles sampai tengah malam.

Kalau boleh jujur, acara seperti Muba Expo ini bagus banget, asal jangan berhenti di spanduk sukses besar. Kadang, setelah lampu padam dan panggung dibongkar, tinggal kenangan dan tumpukan brosur dan menunggu event lagi ber bulan-bulan. Oleh sebab itu sebenarnya yang dibutuhkan saat ini, bukan cuma expo tahunan, tapi ekosistem yang bikin UMKM gak cuma eksis seminggu, tapi berkembang setahun penuh.

Kita sering bangga bilang “UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional”, tapi lupa kasih vitamin dan akses yang ngasilkan pendapatan yang stabil, kalau pun ada yang mapan hanya segelintir, padahal tulang kalau terus dipikul tanpa nutrisi, bisa keropos juga.

Mungkin, sudah saatnya expo seperti ini bukan sekadar tempat selfie pejabat dan pesta rakyat sesaat, tapi wadah nyata menumbuhkan ekonomi lokal secara berkelanjutan, karena yang dibutuhkan rakyat bukan sekadar musik panggung, tapi juga musik kebijakan yang ke depan, nadanya enak didengar sampai ke warung kopi.

Jadi, buatlah expo bukan sekadar ajang foto bersama, tapi ruang pembelajaran bersama, jika perlu, bikin lomba “Stand Paling Ramah Pelanggan” atau Produk Lokal Terkreatif yang berhadiah pembinaan, bukan cuma piagam, karena bagi rakyat kecil, penghargaan tak berarti banyak kalau tak diikuti kesempatan berkembang.

Pada akhirnya ketika malam penutupan tiba, lampu panggung mulai padam, artis ibu kota melambaikan tangan, dan rakyat bubar pelan-pelan sambil menggandeng anak kecil yang masih pegang balon. Tapi jangan salah, meski panggung selesai, ekonomi rakyat belum tidur.
Besok pagi, para pedagang sudah siap buka lapak lagi. Ada yang jual sarapan lontong, ada yang buka bengkel, ada yang lanjut jualan online pakai stok dari expo.

Mereka mungkin tak paham teori ekonomi makro, tapi mereka tahu satu hal rezeki tak pernah libur dan selama masih ada rakyat yang jajan cilok di bawah lampu kelap-kelip pembangunan, ekonomi Muba tak akan padam.

Ibaratnya  ekonomi rakyat itu seperti cendol, kalau dicampur tangan pemerintah yang bijak, rasa manisnya bisa dinikmati semua, bukan cuma di expo, tapi di kehidupan sehari-hari.[***]

Terpopuler

To Top