Ekonomi

“Ekonomi Sumsel 5,42 %, Antara Angka, Sambal & Senyum yang Belum Tuntas!”

ist

DI SUMATERA SELATAN [Sumsel] ekonomi itu bukan cuma urusan angka di PowerPoint atau istilah yang bikin jidat berkerut.
Ekonomi di sini punya rasa, he.. bisa rasa pedas kayak sambal terasi di warung pecel lele, bisa manis kayak kopi Semendo, dan kadang getir kayak tahu goreng yang lupa dikasih sambal.

Bahkan katanya nih, menurut data paling gres, pertumbuhan ekonomi Sumsel tembus 5,42 persen.
Wah, hebat betul!
Namun ya…. sebelum kita tepuk tangan bareng, saya  bertanya ke pedagang gorengan di pinggir Pasar Lemabang, minggu pagi
“Bu, gimana rasanya ekonomi naik 5,42 persen?”

Jawabannya… ada bingungnya karena kalau ditanya angka itu, tapi pedagang goreng itu hanya nyebut, naik, nak? naik apanya? saya berfikir, apa naik..naik ke puncak gunung?, dia hanya jawab  harga minyak gorengnya? berarti gak nyambung..

Di Sumsel, ekonomi nggak diukur dari grafik naik-turun di layar proyektor. Namun ekonomi itu diukur dari berapa cepat stok cabai habis di pasar, dan seberapa sering emak-emak senyum pas dagangannya laku.

Jadi kalau ada pejabat ngumumin ekonomi tumbuh 5,42 persen, yang tepuk tangan bukan analis ekonomi atau pejabat berdasi,
tapi pedagang gorengan yang akhirnya bisa ganti minyak goreng dua kali seminggu.
Itulah tanda ekonomi yang hidup, bukan ekonomi yang cuma hidup di spreadsheet.

Rakyat kecil ini, bos, nggak butuh angka ribuan koma sekian persen.
Yang mereka mau cuma satu “Kalau ekonomi naik, semoga harga beras nggak ikut naik, gas melon nggak menghilang, dan anak bisa tetap jajan gorengan”.

Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru bilang, ekonomi Sumsel tumbuh nyata dan berkualitas.
Nah, ini menarik karena kata nyata itu sering jadi kata favorit pejabat,
tapi sayangnya, sering juga jadi kata paling kabur di dunia nyata.

Nyata bagi siapa dulu, nih?
Kalau nyata buat perbankan, bagus.
Tapi kalau rakyat kecil masih nyari promo Indomaret buat beli beras, berarti nyata-nya masih di awan.hahaha!!.

Coba jalan-jalan ke pasar 16 Ilir, 26 Ilir, atau Sekip Ujung, Lemabang dan Yada, pasti rakyat super sibuk, tapi sibuknya itu sebenarnya nyari cara bertahan hidup.

Sebab harga cabai itu tidak stabil,  bisa naik kayak roller coaster, tapi gaji tetap parkir di tempat, kalau naik pun hanya 10%..
Jadi kalau mau dibilang ekonomi Sumsel “berkualitas”, ya…. semoga bukan cuma kualitas acara seremoninya.

Oleh karena itu, program keren dari Bank Indonesia Sumsel yaitu “Seribu Sultan UMKM Sumatera Selatan” sebenarnya idenya top markotop.
Tapi jujur aja, bos, banyak “Sultan-sultan” di program itu yang masih sultan tekad, bukan sultan saldo. hehehe…

Coba bayangin aja, pelaku UMKM di pelosok disuruh go digital, tapi sinyal internetnya aja “nyala-mati-nyala-mati” kayak lampu disko kampung.
Mereka semangat jualan online, tapi sinyal hilang pas checkout, bahkan kadang sinyalnya cuma nongol kalau manjat pohon jambu belakang rumah.

Tapi kita tepuk tangan horeeee dulu dan salut buat mereka!
Dari jualan kopi Semendo, sambal kemasan, sampai kain wastra khas Musi Rawas, semua bergerak, karena mereka tahu, menunggu bantuan pemerintah itu kayak nunggu mantan sadar,  bisa sih, tapi entah kapan.

Gubernur bilang lagi, pertumbuhan ini hasil kolaborasi antara Pemprov, BI, OJK, dan perbankan.
Wah…., keren banget kedengarannya.
Tapi kolaborasi itu harusnya bukan cuma foto bareng di acara launching dan posting di Instagram.

Kolaborasi sejatinya ketika pejabat turun tangan, bukan cuma turun tanda tangan.
Oleh karena itu, yang sebenarnya dibutuhkan rakyat kecil itu butuh kehadiran berkontinyu, bukan sekadar kehadiran simbolik.
Mereka mau bukti, bukan baliho.

Dan lucunya, setiap kali ekonomi naik, spanduk ucapan selamat juga ikut naik.
“Selamat untuk pertumbuhan ekonomi Sumsel 5,42%!”, tapi di sisi lain, harga cabai juga naik 40%. Mungkin ini yang disebut ekonomi dua arah satu naik di atas kertas, satu naik di dapur.

Jadi, UMKM itu kayak tempe, murah, sederhana, tapi penuh protein,  tahan krisis, ngenyangin, dan bikin ekonomi tetap punya rasa manusia.

Nah, tinggal Masalahnya nih.. sering dianggap cuma pelengkap nasi goreng kebijakan.

Sebab waktu pandemi, siapa yang bertahan? UMKM jawabnya…
Siapa yang tetap kerja walau rugi kecil? UMKM lagi jawabnya…
Siapa yang nyelametin ekonomi? UMKM toh….
Tapi siapa yang paling sering nggak kebagian kredit lunak?.. Ya, mereka juga, meski memang sekarang pemerintah gencar bikin acara penyaluran kredit lunak.

Padahal, dari 600 ribu lebih pelaku UMKM di Sumsel, kalau semua dikasih dorongan modal dan pelatihan beneran,
bukan cuma 5,42 % bisa jadi 7 %n pun bisa kayaknya dikejar sambil nyengir.

Masalahnya, banyak program yang cuma sampai papan nama, padahal rakyat nggak butuh “grand launching”, mereka butuh “grand selling”.

Ekonomi Sumsel ini ibarat sambal terasi di warung pecel lele. Pedas, gurih, dan bikin nagih, tapi belum semua orang kebagian rasa.
Ada yang udah makan duluan, ada yang masih nunggu di antrean panjang, ada ya…cuma kolega-kolega…?

Rakyat di kota mungkin mulai terasa dampaknya, tapi di daerah pedalaman, banyak yang belum tahu kalau ekonomi udah naik, ia ya..ya ia dong..!!, pasalnya mereka itu cuma tahu, harga solar naik, harga pupuk naik, tapi hasil panen tetap segitu-segitu aja.

Kalau mau jujur, pertumbuhan ekonomi Sumsel memang bagus, tapi belum inklusif, belum nempel ke semua lapisan rakyat.
Dan ini PR besar yang nggak bisa disembunyikan di balik grafik.

Tengoklah lagi,  Vietnam,  dulu dijajah, perang, dampaknya rakyat miskin.
Tapi sekarang jangan ditanya lagi?, mereka ekspor kopi ke seluruh dunia, padahal dulu cuma ngopi di warung bambu, lantaran rakyatnya kerja keras dan pemerintahnya fokus ke industri rakyat, bukan industri rapat.

Thailand juga sama, pariwisatanya kuat, produk lokalnya dibanggakan. Warganya cinta buatan sendiri, bukan sibuk upload produk luar negeri. Kita?, kadang bangga beli barang impor, tapi minder sama produk sendiri. Padahal kualitasnya kadang cuma beda di kemasan.

Sumsel bisa belajar dari situ karena kalau mau kuat, jangan cuma promosi potensi, dan jangan banyak terlalu pamer, tapi rawat yang sudah ada.
Kopi Semendo, rempah Lahat, songket Palembang,  itu semua aset, bukan pajangan.

Oleh sebab itu, kadang, laporan ekonomi itu kayak puisi pejabat, yaitu bisa dibilang indah dibaca, tapi jauh dari rasa.
Bilang “ekonomi berkualitas”, tapi rakyat masih hemat minyak goreng.
Bilang “UMKM naik kelas”, tapi yang naik baru harga plastik kemasan.

Gak perlu dirayakan

Jadi, Ekonomi itu nggak perlu dirayakan, tapi dirasakan. Rakyat nggak butuh data GDP, tapi butuh jaminan bahwa dompet mereka nggak selalu kosong menjelang tanggal tua.

Dan kadang, yang dibutuhkan bukan pidato panjang, tapi tindakan sederhana, yaitu bantu modal, buka akses pasar, dan ajari digitalisasi yang benar. Jangan cuma bilang “UMKM naik kelas”, tapi nggak dikasih tangga.

Ekonomi di Sumsel itu kayak warung pecel lele. Buka tiap malam, untungnya kecil, tapi pelanggan selalu ada.
Kenapa? karena pelayannya ramah dan sambalnya mantap. Coba bayangkan kalau ekonomi dikelola kayak warung pecel lele itu bisa pemerintahmnya jadi koki yang jujur, BI jadi pelayan yang cepat tanggap, dan rakyat jadi pelanggan yang puas.

Tapi kalau kebalik, misalnya pemerintah sibuk selfie, BI sibuk bikin slogan, rakyat disuruh sabar lagi, ya…….. jangan heran kalau yang naik cuma harga cabai, bukan kesejahteraan.

Ekonomi yang hidup itu bukan yang angkanya tinggi, tapi yang bikin rakyat tenang tidur malam.
Ekonomi yang baik bukan yang dipuji di media nasional, tapi yang bisa bikin emak-emak pasar berhenti ngeluh soal harga beras.

Karena kalau emak-emak udah tersenyum di pasar, pedagang gorengan rame pembeli,
dan petani masih semangat bangun pagi,  itu tandanya ekonomi beneran sehat.

Bahkan jika pejabatnya mau paham ekonomi rakyat, jangan terlalu sering ke hotel bintang lima.
Cobalah sesekali sarapan di warung nasi kuning pinggir jalan.
Biar tahu, rasanya ekonomi itu bukan dari catering acara, tapi dari keringat rakyat kecil.

Jadi, kalau ada yang nanya, “Seperti apa rasanya pertumbuhan ekonomi Sumsel 5,42 persen?”
Jawab aja “Rasanya kayak sambal di warung pecel lele pinggir jalan, pedas, gurih, kadang bikin keringetan, tapi bikin nagih, asal jangan kebanyakan janji!”.

Karena di Sumsel, ekonomi bukan teori, tapi cerita, dan  bukan angka, tapi rasa.
Serta  mungkin, kalau ekonomi diukur dari berapa banyak rakyat masih bisa ketawa di tengah kesulitan. Jadi sebenarnya Sumsel itu udah juara, namun juara dalam bertahan….., berjuang, dan tetap bercanda walau dompet tipis.

Pada akhirnya, ekonomi itu bukan cuma soal angka di spanduk atau slide presentasi, tapi soal napas rakyat yang tetap berhembus meski harga beras kadang bikin sesak dada. Kalau ekonomi cuma hidup di ruang rapat, ya rakyat cuma kebagian tepuk tangannya, bukan manfaatnya.

Kita ini butuh ekonomi yang bisa diajak nongkrong di warung kopi, bukan yang cuma nongol di headline berita.
Ekonomi yang bisa diajak ngobrol sama pedagang gorengan, bukan cuma dibacain sama pejabat yang pakai jas licin kayak tahu putih, sebab, seperti kata pepatah lama “Jangan ukur dalamnya sungai dari permukaannya”.

Begitu pula dengan ekonomi, jangan nilai makmurnya daerah cuma dari angkanya. Kadang yang paling deras justru arus kecil di bawah, tempat rakyat kecil berjuang setiap hari.

Jadi, kalau mau tahu ekonomi Sumsel beneran sehat apa nggak, nggak usah tanya BPS. Cukup tanya emak-emak di pasar, hehehe “Bu, hari ini senyum atau manyun?”. Kalau mereka masih bisa ketawa sambil ngelap keringat, itu artinya ekonomi kita bukan cuma tumbuh tapi berdenyut.[***]

Terpopuler

To Top