DI SEBUAH ruangan ber-AC sedang-sedang saja di Jakarta Pusat, antara kipas angin yang sudah pensiun dini dan kalender dinding bertuliskan “Road to Indonesia Emas 2045”, terjadilah pertemuan yang tidak biasa tapi sangat bermakna. Ibu Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, duduk manis dengan senyum diplomatik sambil menatap tamunya Della Temenggung, Deputi Director dari program kerja sama bilateral Indonesia Australia, alias Prospera.
Keduanya bertukar senyum, lalu kopi. Ya, sebelum bertukar pikiran tentang masa depan digital bangsa, memang paling ampuh itu bertukar kopi dulu. Katanya sih, negosiasi tanpa kafein bisa bikin otak muter kayak Wi-Fi lemot di desa yang cuma hidup kalau angin bertiup ke timur.
“Jadi, Della,” kata Meutya sambil mengaduk kopi. “Kita ini mau lompatan digital. Nggak bisa lagi pelan-pelan kayak kura-kura ngantuk di jalan tol, harus ngebut, tapi nggak nabrak trotoar”
Della pun tertawa. “Betul…, Bu Menteri, ini momen buat quantum leap. Kalau kita bisa digitalkan ekonomi dan pemerintahan, siapa tahu nanti 2045 kita bukan cuma kirim sinyal ke satelit, tapi juga bisa kirim invoice digital langsung ke Mars!”
Tawa pecah… entah karena ide Mars itu, atau karena biskuit yang disajikan mirip cracker yang sudah tenggelam di kolam susu.
Tapi obrolan mereka bukan guyon semata. Targetnya jelas dan serius ekonomi digital Indonesia harus nyumbang 19 persen dari PDB nasional di tahun 2045.
Sebuah angka yang kalau dilihat sepintas seperti nilai rapor Matematika anak kos, tapi sebenarnya adalah mimpi besar yang bisa diwujudkan kalau internet bukan cuma cepat di kota, tapi juga kencang di desa minimal bisa buka YouTube tanpa buffering pas sinyal 1 bar.
Transformasi digital bukan hanya urusan pusat data dan server berpendingin di ruang elite. Ia soal hidup nyata. Tentang petani di Ogan Ilir yang bisa jual hasil panennya lewat e-commerce, tentang ibu-ibu di Ruteng yang bisa belajar masak dari TikTok, bahkan tentang anak muda di Bengkulu yang bisa bikin startup dari pondok bambu dengan sinyal 4G yang hidup segan, mati ogah.
Bayangkan kalau semua desa punya jaringan kuat, bukan cuma buat selfie sama kambing, tapi juga buat belajar, jualan, dan bikin konten. Digitalisasi akan jadi senjata ampuh melawan kemiskinan. Seperti kata pepatah baru di zaman sekarang, yang bisa main algoritma akan naik kasta.
Prospera, program kerja sama Indonesia-Australia, ternyata bukan cuma kirim bule buat bantu presentasi. Mereka bantu mikirin kebijakan, tata kelola digital, sampai pemetaan kapasitas internal. Kalau dulu pemerintah suka bingung sendiri kayak main ular tangga tanpa dadu, sekarang arah digitalisasinya lebih jelas: ke atas, ke depan, dan ke kampung halaman.
Meutya bilang, “Kita harus jadi negara maju. Targetnya PDB kelima terbesar dunia di 2045”
Kalau mimpi itu berhasil, mungkin 2045 nanti kita bukan hanya bisa video call sama keluarga, tapi juga bisa rapat RT pakai augmented reality. Pak RT tinggal muncul sebagai hologram dari panci nasi.
Transformasi digital bukan tentang robot menggantikan manusia. Tapi tentang manusia menjadi lebih pintar lewat digital. Jangan sampai internet cepat cuma dipakai buat buka meme atau gibah selebritas. Gunakan buat bisnis, belajar, bahkan ngurus surat tanah!
Kita punya modal pasar besar, pengguna internet yang bejibun, dan anak muda yang doyan nge-hack wifi tetangga. Yang dibutuhkan tinggal infrastruktur, keberanian, dan pemimpin yang tidak hanya jago pidato, tapi juga ngerti cara download PDF.
Hari itu, dari ruang yang awalnya biasa saja, mengalir sinyal harapan. Meutya dan Della bukan hanya ngopi dan foto bersama. Mereka sedang menandai arah bahwa Indonesia harus berlari kencang di jalur digital. Bukan buat gaya-gayaan, tapi buat keberlanjutan.
Sebab dalam dunia yang makin terkoneksi ini, yang tak terkoneksi akan tertinggal. Dan Indonesia tidak boleh jadi negara yang cuma nonton dunia berubah dari jendela warnet.[***]