SINGAPURA – Media OutReach – Diluncurkan hari ini, penelitian baru dari Okta, penyedia identitas independen terkemuka, mengungkapkan bahwa ketika berinteraksi dan bertransaksi dengan merek secara online, konsumen Asia Pasifik menginginkan jaminan bahwa data pribadi mereka terlindungi, serta pengalaman yang mudah dan mulus.
Dilakukan dalam kemitraan dengan firma riset global Statista, Survei Tren Identitas Pelanggan Okta 2023 menyurvei lebih dari 20.000 konsumen di 14 negara di Asia Pasifik, Amerika Utara, dan Eropa. Jepang, Korea Selatan, dan Australia tercakup dalam APAC. Hampir seperempat peserta survei (23%) berasal dari wilayah ini. Survei tersebut memeriksa sikap terhadap kenyamanan, keamanan, dan privasi, serta mempertimbangkan implikasinya terhadap merek.
Konsumen menghabiskan lebih banyak waktu dan uang di ruang digital. Laporan e-Conomy Southeast Asia 2022 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa ukuran ekonomi digital Asia Tenggara mencapai Gross Merchandise Value (GMV) yang mengejutkan sebesar USD200 miliar pada tahun 2022, dan akan terus tumbuh hingga USD300 miliar pada 2025, sebelum menjadi tiga kali lipat menjadi USD600 miliar pada tahun 2030.
Oleh karena itu, kemampuan perusahaan untuk memberikan pengalaman online terbaik namun aman kepada pelanggan mereka telah menjadi sangat penting bagi kesuksesan bisnis.
Privasi adalah Top of Mind untuk Konsumen APAC
Penelitian tersebut menemukan bahwa konsumen di APAC menjadi lebih memperhatikan privasi, dan lebih melindungi data pribadi mereka.
Misalnya, menurut survei, sebagian besar peserta (55%) di APAC memahami bahwa aktivitas online mereka meninggalkan jejak digital. Di antara konsumen dalam kelompok ini, 40% mengambil langkah untuk mengurangi ukuran jejak tersebut.
Sebanyak 77% peserta survei di wilayah tersebut mengatakan bahwa penting bagi mereka untuk memiliki kendali atas data mereka (seperti dapat mengubah pengaturan privasi atau membatasi berbagi informasi).
Hal yang baik bagi konsumen APAC adalah sebagian besar dari mereka (60%) mengetahui praktik keamanan mereka sendiri, dan sekitar sepertiga dari konsumen tersebut secara aktif mengambil langkah untuk melindungi data mereka sendiri. Strategi mereka meliputi:
Menggunakan kata sandi yang kuat (dikutip oleh 45% responden yang mengambil langkah untuk melindungi data mereka sendiri)
Membatasi jumlah data yang mereka bagikan (dikutip oleh 40%)
Menggunakan kata sandi yang berbeda untuk semua akun mereka (dikutip oleh 38%)
Menghapus cookie secara teratur (dikutip oleh 35%)
Secara teratur meninjau/mengubah pengaturan privasi (dikutip oleh 28%)
Langkah kesadaran dan keamanan pribadi yang diambil untuk menjaga privasi digital itu penting, karena jumlah akun berbeda yang perlu dikelola orang untuk berbagai aplikasi, layanan, dan situs web telah melonjak.
Mempertahankan akses ke sejumlah besar akun digital, terutama ketika banyak dari akun tersebut tidak aktif atau terbengkalai, meningkatkan risiko keamanan siber. Jika pelaku ancaman dapat menyusup ke salah satu akun ini, mereka dapat memperoleh akses ke kredensial pengguna atau data pribadi, dan pelanggaran tersebut dapat tidak terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.
Di wilayah APAC, jumlah rata-rata akun digital aktif yang dimiliki oleh setiap konsumen adalah antara 10 dan 20. Sekitar 73% konsumen memiliki 10 akun online aktif atau lebih.
Kemudahan Penggunaan juga merupakan Prioritas Utama
Namun, terlepas dari kesadaran konsumen APAC akan privasi dan keamanan, mereka tidak ingin masalah ini menghalangi pengalaman yang dipersonalisasi, ramah pengguna, dan tanpa gesekan saat berinteraksi dengan merek.
Misalnya, sebagian besar responden survei APAC (54%) mengatakan bahwa mereka lebih cenderung mengeluarkan uang saat ditawarkan pengalaman masuk yang sederhana, aman, dan tanpa hambatan. Ini terlepas dari apakah mereka mengakses aplikasi dan layanan, atau melakukan pembelian.
Di sisi lain, pengalaman online yang buruk dapat berdampak lama pada persepsi konsumen terhadap merek. Penggunaan kata sandi masih tersebar luas di antara organisasi APAC, namun survei tersebut menemukan tingkat frustrasi yang signifikan terkait dengan mekanisme autentikasi ini.[***]