Digital Ekonomi

RI Ini Pasar Pempek, Masa Teknologinya Cuma Sambal Pecel? (Catatan Diplomasi Digital Prabowo-Putin)

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau ada pepatah “besar pasak daripada tiang”, maka Indonesia ini kebalikannya besar pasarnya, kecil pasokan teknologinya. Bayangkan, negeri dengan lebih dari 270 juta penduduk ini ibarat kolam penuh ikan lele, tapi jaringnya bolong-bolong. Sementara tetangga sebelah udah pakai drone buat ternak, kita masih rebutan sinyal 4G di bukit dekat pohon kelapa.

Tapi tenang, angin segar digital datang dari arah Rusia, bukan angin dari Siberia yang bikin telinga beku, tapi angin diplomasi digital yang katanya siap bikin Indonesia naik kelas dari konsumen jadi pemain.

Presiden Prabowo dan Presiden Vladimir Putin baru saja menyaksikan langsung pertukaran MoU strategis digital di Istana Konstantinovsky, sebuah tempat yang terdengar seperti nama pemilik restoran caviar tapi ternyata markas diplomasi serius.

Lho, kok bisa Indonesia gandeng Rusia? Ya bisa aja, wong Rusia itu kayak tetangga yang rumahnya nggak mewah tapi WiFi-nya ngebut dan murah. Bayangkan, 92 persen warga Rusia sudah menikmati internet cepat dengan tarif langganan yang kalau dikonversi cuma Rp95.000–Rp160.000 per bulan,sementara di sini, kadang kuota 10 GB habis cuma buat nonton reels mantan.

Indonesia dan Rusia kini sepakat membentuk semacam Sub-Komite Khusus yang akan ngurusin semua hal mulai dari pelatihan SDM, pertukaran teknologi, produksi konten, sampai seminar bilateral, jika ini berjalan baik, bisa-bisa nanti kita punya film kolaborasi Petualangan Wiro Sableng di Moskow, he..he.

Indonesia ibarat pedagang pempek di pasar global digital. Pembelinya banyak, dagangannya enak, tapi belum punya dapur sendiri. Kita lebih sering jadi pasar empuk, bukan pemain kuat. Apa-apa download, apa-apa nonton, apa-apa impor. Tapi jangan salah, dalam dunia digital, siapa yang punya data, dia raja. Dan Indonesia itu harta karun data dunia, penduduknya banyak, yang main TikTok bejibun, yang buka e-commerce sambil rebahan makin merajalela.

Bandingkan dengan negara lain yang jumlah penduduknya cuma secuil, tapi udah jadi barista kopi digital dunia. Contoh Estonia, negara kecil di Eropa Timur ini hanya punya penduduk setara setengah kecamatan di Bekasi, tapi mereka udah bikin sistem e-government yang bikin kita ngiler. Semua serba digital mau nikah, mau bayar pajak, sampai nyalon kepala desa bisa online!.

Dengan kerja sama digital ini, kita punya peluang besar, tapi ya jangan mentang-mentang udah ada MoU, terus kita rebahan sambil ngopi. Ini bukan sinetron yang jalan sendiri. Kerja sama itu ibarat pernikahan, kalau nggak dirawat, bisa bubar sebelum resepsi. Indonesia harus serius, jangan cuma foto-foto di depan istana lalu hilang arah pas balik ke kantor.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital RI, udah bilang tegas bahwa diplomasi digital kita harus menghasilkan sesuatu yang konkret. Jangan sampai deklarasi dan dokumen itu hanya numpang lewat di laci menteri dan dijadikan alas laptop.

Indonesia ini punya potensi luar biasa SDM melimpah, pasar besar, dan kreativitas netizen yang kalau disalurkan baik bisa ngalahin Silicon Valley. Tapi ya itu tadi, jangan sampai kita cuma jadi pasar empek di kancah digital dunia. Sudah saatnya Indonesia bukan hanya menjadi tempat jualan, tapi juga jadi pembuat, penjual, bahkan penentu arah.

Pepatah bilang “Air tenang menghanyutkan, tapi kalau sinyal tenang biasanya ngilang”. Maka mari  bikin gelombang digital ini riuh dan produktif, bukan hanya jadi tren musiman. Dengan kerja sama bersama Rusia ini, semoga teknologi kita bukan cuma sambal pecel buat pempek global, tapi jadi bumbu utama peradaban digital dunia.

Disamping itu, jika Rusia bisa menginspirasi kita bikin internet murah dan cepat, semoga nanti kita juga bisa ekspor konten ke sana. Siapa tahu, sinema Indonesia bisa bikin orang Rusia nangis gara-gara kisah cinta di kontrakan Bekasi karena digitalisasi itu tidak mengenal batas, tapi niat dan kecepatan implementasi. nah, itu yang harus dibikin ngebut.

Kalau selama ini Indonesia lebih sering jadi tukang nge-like dan rajin scroll-scroll manja, maka kerja sama digital dengan Rusia ini ibarat upgrade dari hape jadul ke smartphone flagship. Ini bukan cuma soal sinyal lebih kenceng, tapi juga niat kolektif buat masuk ke dapur teknologi, bukan cuma nongkrong di terasnya. Rusia ngajarin kita bukan cuma cara mancing ikan, tapi juga gimana bikin pabrik jaring sendiri.

SDM kita dilatih, sistem kita dirapikan, dan anak-anak muda kreatif yang selama ini bikin meme bisa disulap jadi programmer dunia. Digitalisasi bukan cuma soal internet cepat, tapi tentang akses yang merata, ekonomi yang tumbuh, dan konten yang kita kendalikan sendiri. Jangan sampai, internet kita cepat tapi kontennya dari luar semua. Masa iya, negara segede ini kontennya cuma diisi prank gorengan dan drama perselingkuhan?.

Kerja sama ini juga jadi pelajaran bahwa dalam dunia digital, kita nggak bisa jalan sendirian. Butuh teman main, partner latihan, bahkan sparring partner dalam bertanding di ring ekonomi digital global. Rusia mungkin bukan negara tetangga, tapi mereka nunjukin bahwa kawan lama bisa jadi pemandu baru. Indonesia butuh lebih banyak kolaborasi strategis, bukan cuma kompetisi harga kuota. Tapi dengan modal pasar ratusan juta jiwa, kreativitas netizen yang nggak ada habisnya, dan kini sokongan kerja sama internasional yang solid, Indonesia punya kesempatan emas buat jadi barista digital dunia. Tinggal kita mau atau masih males manasin air, tinggal kita pilih juga mau terus jadi penikmat sinyal, atau mulai bikin jaringan yang bikin dunia ngiler?.[***]

Terpopuler

To Top