KURANG lebih sudah dua tahun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, meluncurkan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Namun, agenda besar itu mengalami mati suri akibat adanya pandemi Covid-19. Lantas, seberapa efektifkah kebijakan tersebut apabila diimplementasikan di tengah kondisi Perguruan Tinggi (PT) Indonesia hari ini?
Melalui berbagai kesempatan, Pak Menteri begitu optimis dengan gagasan MBKM yang diusung. Menurutnya, program ini akan dapat mewujudkan mahasiswa yang menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Sebab mahasiswa diberikan kebebasan menempuh pembelajaran atau magang di luar program studi yang sama di PT yang berbeda paling lama 2 semester atau setara dengan 40 sks, pembelajaran pada program studi yang berbeda di PT yang berbeda, dan/atau pembelajaran di luar PT (Baca: Buku saku MBKM).
Artinya, program ini akan mengkoneksikan antarperguruan tinggi di Indonesia untuk saling siap memberikan perkuliahan/magang terhadap mahasiswa dari PT mana pun. Jika ditilik, program MBKM dapat berjalan efektif apabila PT memenuhi standar-standar yakni kualitas dan reputasi PT, kualitas Dosen, dan Infrastruktur yang memadai.
Pertama, kualitas dan reputasi PT sangat menentukan keberhasilan dari program ini karena idealnya untuk mewujudkan mahasiswa atau lulusan yang unggul sangat ditunjang oleh PT yang berkualitas dan memenuhi standar internasional. Sedangkan data menunjukkan bahwa hanya 96 PT atau 2,04 % PT yang terakreditas Unggul atau A dari seluruh jumlah PT Negeri maupun Swasta di Indonesia (BAN-PT, 2021).
Belum lagi jika mengukur daya saing PT Indonesia di level internasional yang dinilai oleh berbagai pihak masih jauh di bawah rata-rata. PT Indonesia belum dapat berkompetensi dengan PT kelas dunia yang umumnya didominasi oleh Negara maju. Fakta ini harus menjadi pertimbangan yang serius bagi Mendikbud untuk memformulasi implementasi MBKM.
Ada kemungkinan besar akan terjadi PT yang berada di level standar ke bawah berbondong-bondong mengirim mahasiswanya untuk belajar/magang di PT yang terakreditasi A. Dampaknya, bukan justru memperbaiki sistem pendidikan di PT melainkan menghadirkan masalah baru. Pasalnya, perbandingan jumlah PT di level bawah dan standar sangat jauh dengan jumlah PT yang terakreditasi Unggul atau A.
Kedua, kualitas Dosen yang kompeten dan professional menjadi garda terdepan untuk mewujudkan lulusan yang unggul dan kompetitif. Dosen berperan sebagai eksekutor utama dalam proses pendidikan di PT. Namun harus Kita akui, keadaan Dosen di Indonesia yang berkualitas masih jauh panggang dari api. Terlihat dari sepinya penemuan dan publikasi ilmiah yang dihasilkan di skala internasional.
Mengutip hasil penelitian terakhir SCImago (2021) yang hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 240 Negara yang disurvei, bahkan masih kalah dibandingkan dengan Taiwan (19), Malaysia (32), Singapura (34), dan Thailand (45) (https://www.scimagojr.com/countryrank.php). Selain itu, sebuah data penelitian menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu Negara terbesar yang menjadi konsumen jurnal-jurnal predator dengan label ‘Scopus Index’ (Baca:Vit Machacek dan Martin Srholec, 2021).
Banyak faktor yang menyebabkan yaitu diantaranya rekrutmen Dosen yang masih berdasar kuantitas bukan kualitas. Beban mengajar Dosen yang terlalu padat dengan seabrek urusan administratif. Tandusnya budaya ilmiah dan rendahnya kesejahteraan Dosen menjadi bagian masalah yang tak kunjung usai. Oleh karena itu, transformasi manajemen Dosen di PT menjadi sebuah keniscayaan solusi yang perlu dilakukan.
Sistem rekrutmen Dosen mesti dilakukan melalui seleksi yang ketat (high level test) berbasis kompetensi dan karya (quality of competence). Beban sks dalam hal mengajar perlu diringankan. Dosen mesti diberikan ruang dan waktu yang cukup dalam kegiatan penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan karya inovasi. Begitu juga Kesejahteraan Dosen harus ditingkatkan agar tidak nyambi di luar pekerjaan akademis.
Intensifitas pengembangan mutu Dosen juga perlu dilakukan melalui kegiatan workshop, lanjut studi, dan pembinaan riset dengan menghadirkan para Pakar yang diakui reputasinya di dunia Global. Hanya dengan cara-cara itu dapat melahirkan para Dosen yang unggul dan produktif menghasilkan karya akademik yang pada gilirannya meningkatkan kualitas PT sebagai pusat pengembangan ilmu dan teknologi (Center of Science and Technology Dovelopment).
Ketiga, hal yang tak kalah pentingya ialah ketersediaan infrastruktur PT yang memadai. Ini juga menjadi instrument yang sangat menunjang keberhasilan program MBKM. Lembaga riset PT, Quacquerelli syomonds (QS), menjelaskan bahwa infrastruktur yang baik menjadi salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk mewujudkan World class university (Mayling Oey-Gardiner dkk., 2017).
Sedangkan keadaan infrastruktur PT Indonesia hari ini juga masuh jauh dari standar. Di era ini, infrstruktur seperti fasilitas gedung pelayanan, gedung perkuliahan, laboratorium, dan perpustakaan mesti terintegrasi dengan sistem teknologi dan internet agar segala layanan pendidikan bisa efektif dan efisien. Misalnya, perspustakaan online yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun akan memudahkan para Dosen dan Mahasiswa mencari referensi.
Begitu juga dengan alat-alat laboratorium yang canggih sangat diperlukan dalam proses eksperimen dan penelitian. Ini sangat relevan dengan kebutuhan program MBKM dalam mewujudkan kultur belajar yang inovatif dalam rangka mencetak lulusan sesuai perkembangan IPTEK dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri.
Akhirnya, mewujudkan lulusan PT yang unggul, siap kerja, dan kompetetif di level internasional melalui program MBKM bukan pekerjaan yang enteng bagai membalikkan telapak tangan. Kita tentu berharap adanya transformasi besar-besaran di setiap unsur pendidikan tersebut. Sudah saatnya reformasi sistem pendidikan dan PT dilakukan. Kehadiran pemerintah melalui Mendikbud sangat menentukan, di samping peran PT, lembaga industri, dan masyarakat luas sebagai pendukungnya.[***]
Dian Andesta Bujuri
(Dosen UIN Raden Fatah Palembang)