BULAN lalu, tepatnya tanggal 14 Oktober, merupakan hari lahir Hoegeng Imam Santoso. Nama ini mungkin bagi mereka kalangan yang berprofesi sebagai pengayom masyarakat tidaklah asing lagi. Jenderal kepolisian (purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso, yang lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921 adalah mantan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) ke-5 yang bertugas tahun 1968 hingga 1971.
Sekilas tidak ada yang menarik jika kita membaca beberapa kalimat tersebut. Namun siapa sangka dibalik nama itu, tersimpan nilai keteladanan yang sangat berharga bagi Negara ini. Sampai penulis sendiri saat membuat tulisan ini berkelakar kecil cerita tentang beliau yang beredar itu hanyalah dongeng semata.
Mengutip OkeZone.Com dalam “Kisah Hoegeng, Polisi Jujur Yang Marah Saat Rumahnya Diisi Perabotan Mewah”, selepas melanjutkan pendidikan di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia kemudian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Tugas professional pertamanya saat ditugaskan di kantor kepolisian Jawa Timur Surabaya tahun 1952. Lalu di tahun 1956, dirinya diberi amanah sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara di Medan, pada waktu itu adalah daerah yang dikenal dengan tingkat kasus penyelundupan, judi, dan korupsi yang tinggi.
Ketika baru saja tiba di Medan, sekelompok orang yang tidak ia kenal mengucapkan selamat dan mengatakan telah menyiapkan rumah serta mobil padanya. Namun hal itu ia tolak mentah-mentah lalu melanjutkan pergi bersama polisi-polisi yang menjemputnya untuk menuju ke hotel untuk ia beristirahat. Sebelum rumah dinas yang telah disediakan siap dihuni, hingga akhirnya lepas beberapa hari ia pun menuju kesana.
Tapi, mantan menteri di zaman Soekarno ini terkejut dan marah bukan kepalang, karena melihat orang-orang yang dahulu pernah ditemuinya beberapa waktu lalu kembali ia jumpai, beserta rumah yang telah di isi berbagai perabotan mewah.
Alhasil Hoegeng meminta perabotan-perabotan tersebut dikeluarkan dan setelah dua jam, barang-barang itu akhirnya ia berhasil singkirkan. 17 tahun pasca kepergiannya, kejujuran, ketegasan, integritas, dan kesederhanaannya masih menyisakan kenangan yang membekas bagi rakyat Indonesia. Lebih tepatnya sebuah kerinduan akan hadirnya kembali sosok-sosok Negarawan serupa, terlebih di era reformasi dalam hal ini periode Bapak Presiden Joko Widodo.
Beberapa waktu belakangan, citra kepolisian kembali disorot publik. Sorotan diberikan lantaran tindak laku yang dinilai kian negative. Beberapa rekam jejak digital akibat ulah “oknum” kepolisian pun tidak luput menjadi sasaran bahan pemberitaan yang empuk bagi media.
Mulai dari aksi represif dan smackdown kepada mahasiswa saat demonstrasi (CNN_Indonesia 13/10), teror ancaman verbal kepada Fachrial Kautsar karena cuitannya di Twitter tentang polisi se-Indonesia diganti satpam BCA bisa atau tidak (Bangsa_Mahasiswa 15/10), Kapolsek tiduri putri anak tahanan dengan janji tukar kebebasan ayah (Vivacoid 18/10), Polisi paksa geledah handphone masyarakat sipil (Suara.Com 18/21), polisi hajar anak buah (25/10), dan polisi tilang supir truk minta bawang sekarung (1/11) adalah beberapa catatan mengenai citra polisi di akhir-akhir penghujung tahun ini.
Meski Kapolri pernah mengklaim kepercayaan dan kepuasan publik terhadap polri meningkat (Merdeka.com 16/06) tetapi, berdasarkan survey terbaru dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebesar 66,3%.
Angka tersebut menjadi yang terendah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, pengadilan, dan Kejaksaan Agung (KA) (Databoks 13/8). Ada dua penyebab yang menjelaskan mengapa institusi Polri mendapatkan citra yang buruk atau rendah di mata masyarakat, yang pertama adalah faktor internal dan yang kedua faktor eksternal.
Faktor pertama dijelaskan oleh mantan Kapolri Jendral Tito Karnavian (Kompas 18/08/16). Tito mengakui, kinerja kepolisian masih jauh dari kata maksimal, terutama dalam hal profesionalisme, tindak perilaku koruptif, dan represif. Padahal, pasca era orde baru publik menaruh harapan yang tinggi kepada beberapa institusi, salah satunya adalah Polri. Pelepas tanganan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di masa Soeharto, diharapkan menjadi angin segar dalam mengawal agenda-agenda reformasi, seperti menegakkan hukum dengan lebih baik serta bersih.
Faktor kedua, menurut Dr. Aqua Dwipayana terdapat faktor di luar internal yang mempengaruhi kinerja Polri dan persepsi publik. Yaitu faktor eksternal yang lebih detailnya disebutkan faktor sosiologis seperti ketimpangan pertumbuhan kota, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pemangku kepentingan.
Ini disebutkannya saat mempertahankan disertasi berjudul “Citra Kepolisian Republik Indonesia dalam Pandangan Pemangku Kepentingan – Studi Kasus Pelayanan Publik Polisi Lalu Lintas (Polantas) Polda Jawa Barat” untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, lima tahun lalu (Unpad.ac.id 15/04/16). Ini menjadi penelitian yang menarik, sebab bisa menjadi acuan referensi Polri dalam menangani perbaikan kinerja institusi dan masyarakat luas dapat mengetahui problematika kinerja Polri ternyata tidak hanya berasal dari internal institusi itu sendiri.
Berada di zaman “eyes see you everywhere” sudah sepatutnya membuat Polri lebih mawas diri dan berhati-hati. Alih-alih mencitrakan diri dengan penggunaan media, seperti yang terdapat dalam salah satu tayangan di stasiun Tv swasta yang menunjukkan kepolisian bekerja dan hadir di tengah masyarakat.
Perilaku Polri sudah semestinya berintegritas dengan salah satu tugas pokoknya sebagai pengayom masyarakat. Pengetatan seleksi berdasarkan kepribadian dan wawasan umum, pembinaan pasca resmi menjadi polisi, dan penambahan anggota Polri yang tidak hanya mempertimbangkan kuantitas namun kualitas, adalah beberapa ide umum yang bisa dilakukan untuk mereformasi institusi Polri untuk lebih baik lagi.
Sanksi tegas dan kepastian hukum juga sudah semestinya diberikan bagi mereka (polisi) yang melanggar, meski sekecil apapun. Dengan tidak memandang bulu anggota mulai dari tataran paling bawah (grassroot) hingga jajaran pusat, meski sering dalam realitanya berbenturan dengan konflik kepentingan.
Terlebih penanaman budaya anti korupsi serta suap dan moralitas yang menjadi salah dua penyebab utama anljoknya kepercayaan publik institusi Polri di Indonesia. 100 tahun kepergian Hoegeng, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mesti bekerja keras menciptakan kultur dan struktural yang ideal di dalam tubuh Polri sebagaimana seharusnya.
Sebagaimana yang ia nyatakan pada akhir bulan Oktober lalu, perlunya mengimplementasikan nilai-nilai positif Hoegeng semasa hidup baik untuk institusi yang ia pimpin maupun bagi masyarakat umum (Tempo 28/10). Di tengah arus modernisasi yang menghanyutkan dan pemujaan kehidupan yang materialistik juga glamour, dapatkah Polri mampu menghadirkan kembali sosok Hoegeng-Hoegeng baru di zaman demokrasi sekarang ini ? Agar kisah keteladanan tentang Hoegeng yang asli tidak dianggap sebagai dongeng semata oleh anak cucu kita di masa yang akan datang. [***]
Yusuf Septian Nur Effendy
Penulis adalah Mahasiswa Magister Komunikasi
Salah Satu Universitas di Yogyakarta