“…Kapal api masuk Palembang, airnya tenang jadi gelombang, hati siapa tidak akan bimbang…” Penggalan lirik dari lagu Cup Mak Ilang tadi sengaja dipinjam untuk mengawali tulisan ini, membahas salah-satu situs Sriwijaya tidak jauh dari jantung Kota Palembang hari ini. Palembang adalah ibukota pusat pemerintahan Sriwijaya, lebih banyak disepakati oleh para ahli mengingat temuan-temuan arkeologis artefaktual Sriwijaya, tidak terbantah lebih banyak di Palembang dan sekitarnya.
Data arkeologi yang ditemukan di Palembang, yaitu: Arca Buddha dari Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-7 – 8 Masehi. Temuan arca tersebut berasosiasi dengan arca perunggu, lempengan-lempengan emas, lapik arca, stupa dan strukur bangunan bata, pecahan keramik Cina, manik-manik, dan pecahan prasasti. Pecahan keramik Cina yang terdapat di situs ini berasal dari masa Dinasti Tang (618 – 906 Masehi), Dinasti Sung (abad ke-10 – 13 Masehi) dan dinasti Yuan (1280-1368 Masehi).
Berdasarkan wujud dan banyaknya jenis temuan arkeologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa situs Bukit Siguntang merupakan situs keagamaan terpenting dari masa Sriwijaya. Mengutif tulisan Retno Purwanti Nadeak, dalam Forum Arkeologi Volume 29, Nomor I, April 2016 di Bukit Siguntang, selain sisa-sisa bangunan dari bata, ditemukan juga artefak berupa fragmen batu (foto di bawah ini), berada di dalam cungkup makam Panglima Bagus Kuning dan Panglima Bagus Karang.
Artefak pertama terletak di atas Makam Panglima Bagus Kuning berupa bantalan arca (asana), yaitu tempat untuk mendirikan sebuah patung (padma) yang berukuran panjang 68 cm, lebar 34 cm dan tinggi 27 cm. Sisi bagian luarnya melingkar, dan sisi dalamnya cenderung rata. Kemungkinan merupakan satu sisi (1/4 bagian), bawah padma untuk mendirikan arca. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari juru kunci makam, dahulunya batu ini merupakan bagian atau menjadi salah satu nisan dari Panglima Bagus Kuning. Saat dilakukan pemerian batu ini diletakkan di atas makam tersebut, tetapi, tidak menjadi nisan.
Artefak kedua merupakan pecahan dari sebuah batu. Di sisi kanan dan kiri batu tersebut patah. Dari jenis batuan, kemungkinan sama dengan batu yang digunakan untuk menulis prasasti dan arca (batu andesit). Ukuran batu tersebut lebar 28 cm, panjang 25 cm dan tinggi 23 cm. Menurut penuturan penjaga makam, batu ini dahulunya merupakan salah satu bagian nisan Panglima Bagus Karang. Ada kemungkinan bahwa bangunan ini merupakan sisa-sisa bangunan candi, tempat bernaung arca Buddha (foto di bawah ini).
Arca itu sekarang berada di teras museum Sriwijaja, TPKS – Karanganyar, sebelumnya di halaman sisi kanan museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Di situs Bukit Siguntang itu, ditemukan juga struktur bata yang diduga berasal dari dua bangunan berbeda, satu di lereng dan satu di puncak Bukit Siguntang. Temuan bata-bata kuno itu membuktikan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Schnitger pada 1936, dan hasil survei yang dilakukan pada 1954, menginformasikan adanya temuan sisa sisa bangunan stupa (Schnitger 1937, 3-4; Soekmono, dkk. 1985, 42-43).
Dugaan adanya bangunan stupa merupakan bagian dari bangunan keagamaan ini, diperkuat dengan temuan arca Buddha, Jambala, Wairocana, dan sebagainya, di Bukit Siguntang (Schnitger 1937, 3-4). Mengulik arca Buddha secara visual merupakan temuan arca terbesar di Palembang dan tingginya hampir 4 meter, dalam kondisi telah pecah kemudian digabungsatukan Kembali itu, diduga kuat posisi
asalnya di bagian puncak Bukit Siguntang. Seharusnya pemindahan dari halaman Musem SMB II kemarin, keberadaan arca itu dikembalikan pada tempat asalnya, bukan malah berencana mau menempatkan replika dari arca tersebut ke Bukit Siguntang, pakai logika seperti apa sehingga berpikir begitu.
Menurut kawan di Balai Arkeologi Sumatra Selatan, kondisi situs arkeologi Bukit Siguntang saat ini sudah rusak parah. Proses kerusakan awalnya adalah dengan kehadiran bangunan-bangunan permanen, berupa makam/petilasan-petilasan yang dasarnya hikayat atau cerita rakyat, kemudian diberi papan nama raja-raja Sriwijaya terakhir dengan nama tokoh-tokoh hikayat, tindakan itu tentunya bukan hanya merusak zona inti situs menurut UU Cagar Budaya, namun sudah juga tergolong kebohongan sejarah dan publik.
Selain kehadiran petilasan-petilasan tadi, dibangun pula beberapa bangunan lain, sebagai falilitas pendukung yang juga dibuat secara permanen. Beberapa tahun terakhir terjadi perusakan lebih massif dan tidak tanggung-tanggung, dengan dukungan APBD bahkan APBN. Zona inti situs arkeologis Bukit Siguntang dibongkar dengan menghadirkan alat berat boldozer, di puncak Bukit Siguntang dibangun air mancur dan di kakinya di bangun galeri dan beberapa fasilitas permanen lainnya.
Saat proses pengerjaan “proyek” itu sudah diingatkan oleh beberapa ahli (arkeolog dan sejarawan) juga terlibat dari negara luar, namun sayangnya masukan itu tidak dipedulikan sama sekali, proyek terus berlenggang jumawa hingga selesai pengerjaannya, dengan alasan dikatakan guna meningkatkan minat kunjungan wisata, terutama jelang kegiatan olahraga internasional yang lalu. Adakah evaluasi yang memang menunjukkan kunjungan wisata meningkat secara signifikan?
Baik saat kegiatan olahraga internasional berlangsung, hingga kini, tampaknya tingkat kunjungan wisata tidak ada perubahan, kecuali saat di Bukit Siguntang sedang diadakan kegiatan tertentu saja. Namun, fakta yang terjadi adalah semakin lepasnya pengetahuan masyarakat akan nilai ke-Sriwijaya-an atas situs arkeologi Sriwijaya, Bukit Siguntang. Bahkan pada akhir-akhir kemarin sempat ada pula rencana akan merehab dengan mendesain ulang bangunan petilasan yang ada, karena ingin mencontoh seperti di Malaysia, lucu!
Kemudian melalui dukungan lembaga tertentu telah dihembuskan konsep “Palembang Ulu Melayu.” Diksi ulu itu berasal dari kata hulu, untuk asal arah aliran sungai yang mengalir ke hilir, sehingga Palembang Ulu Melayu artinya, Palembang adalah asal Melayu. Jelas konsep itu sulit dicerna oleh logika berpikir yang wajar, jika ada Ulu Melayu maka tentunya akan ada Ilir atau hilirnya, dimana dan sejak kapan keberadaannya? Dengan konsep Palembang Ulu Melayu, orang akan berimajinasi atau membayangkan adanya sungai Melayu dari Palembang, namun mengalir dan bermuaranya ke mana? Lagi pula sungai Melayu itu sendiri dimana?
Catatan pendeta I’Tsing abad ke-7 M memberitakan, bahwa dia datang pertama kali ke Nusantara singgah di negeri yang bernama Mo-lo-yu (baca: Melayu), di tepian sungai Batanghari – di Jambi hari ini, setelah I’Tsing kembali dari India singgah kembali ke Nusantara, ternyata Mo-lo-yu sudah dibawah kekuasaan Sriwijaya. Kronik China itu sudah dibicarakan para ahli sejak lama tentunya, dan Palembang ikut dibicarakan juga, sebagaimana rujukan Sejarah Nasional Indonesia selama ini, dan tidak ada satupun wacana yang menyinggung Palembang Ulu Melayu.
Papan Nama Makam dan Makam Radja Segentar Alam, sumber: Google
Berbeda lagi dengan Hikayat Melayu atau yang berkembang di Malaysia, melalui Sulalatus Salatin kemudian Malaysia menyebutnya juga sebagai Sejarah Melayu. Dalam hikayat tersebut memang ada menyebutkan, bahwa leluhur bangsa Malaysia berasal dari Bukit Siguntang, tetapi itu hanyalah alur cerita atau hikayat Melayu, bukan rujukan Sejarah Nasional Indonesia yang bersifat arkeologis-artefaktual. Bangsa Indonesia seperti diketahui juga termasuk rumpun Melayu, tentu memiliki pula cerita ataupun hikayat, mungkin saja memiliki kesamaan dengan Hikayat Melayu, Malaysia.
Di situs Sriwijaya Bukit Siguntang dipasang papan nama Makam-Makam Radja Sriwijaya berjumlah tujuh makam, salah-satunya makam Raja Sigentar Alam. Dalam penulisan di papan nama makam saja, sudah ada ketidakkonsistenan penulisan huruf DJ pada kata Radja dengan J pada kata Sriwijaya. Makam Radja Sigentar Alam bukan hanya ada di Bukit Siguntang, demikian pula makam Pangeran Bagus Kuning, makam Putri Kembang Dadar, maupun makam lainnya, ternyata makam dengan nama yang sama ada juga di tempat lain (ciri hikayat), sementara Sriwijaya itu bersifat Budhisme rajanya tentu diperabukan.
Saat menghembuskan Palembang Ulu Melayu terkait Bukit Siguntang, dalam waktu bersamaan diksi Siguntang diganti dengan Seguntang. Sudah tepat Siguntang, karena diksi Si menunjukkan personifikasi objek atau tempat yang berbukit (guntang = menggantung), atau si guntang. Pada kata Seguntang, diksi Se malahan merubah
makna menjadi kuantitas atau jumlah, misalkan: Serumah, se-Sumatra, se-Indonesia, seliter, segelas, segantang, sekarung, dan lain sebagainya.
Mengingat nilai Sriwijaya dan kebesarannya, juga selaras dengan konsep Bung Karno “Jasmerah” sebaiknya Pemda Sumatra Selatan, segera mengembalikan marwah Bukit Siguntang sebagai salah-satu situs arkeologis Sriwijaya. Tidak selamanya dapat dibenarkan asumsi “nilai mistik dapat dijual sebagai asset pariwisata”, apalagi nilai mistik itu sampai meracuni Sejarah Nasional Indonesia.
Keberadaan makam-makam bersumber hikayat, dan melabelinya dengan makam-makam raja, puteri, dan panglima, serta menempelkan Raja Sriwijaya, adalah kebohongan sekaligus membodohi, khususnya masyarakat awam sejarah, termasuk generasi muda.
Bongkar bangunan “sampah” Sriwijaya di Bukit Siguntang!
*) Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau
Oleh: A. Erwan Suryanegara *)
Budayawan
BIODATA
Nama : A. ERWAN SURYANEGARA
Tempat & tgl. lahir : Palembang, 14 Oktober 1962
Alamat : Jl. Anggada no. 6 RT. 08 RW. 02 Kelurahan Kalidoni, Palembang – 30119 Hp. 081368829559; WA 082177172240
- Perintis dan pernah Ka. Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV), Fakultas Ilmu Pemerintahan dan Budaya, Univ. Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang, 2008-2014. • Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, sejak 2009 s.d. sekarang.
- Perintis/Kepala Pusat Kajian Sriwijaya – Pemerintah Kota Palembang, 2012-2014. • Peneliti, penulis buku, dan produser film dokumenter Sriwijaya.
- Penulis syair dan produser Lagu Jayasiddhayatra Sriwijaya.
- Peneliti, penulis buku, dan produser film dokumenter Ragam Hias Sumatra Selatan. • Pembicara/pemakalah Temu Budaya ANBTI, di Bogor dan Yogjakarta.
- Pembicara/pemakalah Kongres Bahasa Wilayah Barat, di Lampung.
- Narasumber acara di radio dan televisi, Sumatra Selatan.
- Peneliti Seni Rupa Megalitik, Dataran Tinggi Pasemah – Sumatra Selatan. • Pemateri pada seminar nasional dan internasional tentang Seni Rupa Megalitik. • Penulis pada jurnal nasional dan internasional tentang Seni Rupa Megalitik. • Penggagas Monumen Kapal Sriwijaya sebagai Ikon Bhumi Sriwijaya & Jalur Rempah Nusantara. • Pembina Dewan Kesenian Palembang dan Dewan Kesenian Sumatra Selatan. • Pameran Seni Rupa di Palembang, Jakarta, Bandung, dan Malaysia.
• Kurator Pameran Seni Rupa.