Sumselterkini.co.id, Jakarta – Dolar Amerika Serikat (AS) kian terpukul pada hari ini, Rupiah bahkan sempat menguat ke level Rp13.900-an per USD pada siang tadi. Bank Indonesia (BI) mencatat Rupiah ditutup menguat Rp180 per USD atau 1,26% pada sore ini.
Bloomberg Dollar Index mencatat Rupiah pada perdagangan spot exchange sore ini ditutup menguat ke level Rp14.082 per USD.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, meski tengah mengalami apresiasi, kurs Rupiah masih dinilai under value atau masih kemurahan. Menurutnya, Rupiah masih memiliki ruang untuk terus menguat.
“Itu masih under value. Iya (masih bisa menguat lebih lanjut), tapi enggak otomatis,” katanya di Gedung Kemenko Perekonomian, Senin (7/1/2019).
Dia menjelaskan, kurs Rupiah memang akan sangat terpengaruhi dinamika ekonomi global ke depannya. Meski demikian, Darmin meyakini Rupiah akan menguat kedepannya.
“Di dunia ini kan gonjang-ganjing juga. Kadang begini, kadang begitu. Tapi, pelan-pelan Rupiah akan arahnya akan masih menguat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menilai penguatan Rupiah hari ini didorong sejumlah sentimen global yang membuat Dolar AS terpukul. Diantaranya, didorong situasi pasar keuangan global yang diwarnai optimisme atas terhadap prospek hasil negosiasi kesepakatan perang dagang AS dan China.
Selain itu, perubahan sikap Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell terhadap kenaikan suku bunga AS ke depan juga mempengaruhi penguatan Rupiah. Tidak seperti sebelumnya yang tegas akan menaikkan suku bunga dua kali di 2019, pasca jatuhnya harga saham di AS, kali ini The Fed menyiratkan akan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi kedepan.
“The Fed juga siap melakukan perubahan dalam kebijakan suku bunga ke depan dan mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan,” jelasnya kepada Okezone.
Menurut dia, meski kondisi ekonomi AS semakin solid, namun diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga. Bahkan sektor industri AS mulai melemah, terindikasi dari penurunan indek Purchasing Manager Index (PMI) dan ISM (Institute of Supply Management).
“Jadi sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap The Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi tersebut mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar USD secara broadbase, penguatan index saham global dan kenaikan yield US Treasury,” ujar Nanang.[**]
Sumber : Okezone