Sumselterkini.co.id, – Di tengah gempuran pembangunan yang kadang lebih mirip lomba siapa yang paling cepat bikin jalan tol walau belum ada penghuninya, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) justru melaju dengan gaya elegan membangun dengan kepala dingin dan hati hijau. Bukan hijau karena iri, tapi hijau karena peduli lingkungan. Ibarat orang kaya yang tak cuma fokus pada saldo rekening, tapi juga menabung oksigen buat anak cucu.
Mewakili Bupati H. M. Toha, Wakil Bupati Rohman minggu lalu kedatangan tamu spesial dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Bukan untuk ngopi-ngopi santai atau tukar-tukaran souvenir, tapi buat ngobrol serius tentang masa depan Muba yang lestari dan tak asal ‘gas pol’ membabat hutan.
Kata Wabup, Muba itu kaya bukan main, punya hutan terluas di Sumsel, lahan gambut seluas harapan mantan yang belum move on, dan potensi minyak, gas, karet, kelapa sawit, sampai gambo kain khas yang bukan cuma bisa buat baju adat, tapi juga gaya eco-fashion yang bisa bikin Paris Fashion Week kepincut. Tapi semua itu harus dikelola pakai akal, bukan pakai cangkul nafsu.
“Potensi sebesar ini kalau tidak dikelola secara strategis dan berkelanjutan, bisa-bisa kaya sebentar, rusak selamanya,” kata Pak Wabup dengan nada mantap, mirip guru geografi yang lagi menjelaskan pentingnya menjaga hutan hujan tropis ke murid-murid generasi rebahan.
Johar Zauhari dari LTKL datang bukan dengan tangan kosong, tapi dengan semangat kolaborasi, ide soal investasi hijau, dukungan buat UMKM, dan skema penilaian mandiri Kerangka Daya Saing Daerah (KDSD).
Jangan salah, ini bukan lomba rangking kecamatan atau kontes siapa paling banyak tanam pohon plastik. Ini seriusan. LTKL mau bantu daerah kayak Muba naik kelas jadi kabupaten yang bisa bersaing tanpa harus mengorbankan hutan dan habitat burung rangkong.
Bayangkan kalau semua daerah punya semangat seperti ini, bisa ngopi sambil hirup udara segar, bukan debu dari bekas kebun sawit yang dibakar.
Lihat Banyuwangi, misalnya, mereka sukses gabung pariwisata, pertanian, dan konservasi alam. Desa-desa wisata tumbuh, kopi laku sampai luar negeri, dan hutan tetap rindang. Artinya, pembangunan yang menyatu dengan kelestarian bukan hal mustahil. Bahkan bisa mendatangkan cuan yang halal dan berkelanjutan.
Atau tengok ke negara tetangga, Bhutan, mereka nggak cuma mikirin PDB, tapi juga GNH [Gross National Happiness]. Di sana, pembangunan dinilai dari seberapa bahagia warganya dan seberapa sehat alamnya. Hutan dilestarikan, sungai dijaga, dan masyarakat hidup seimbang antara modern dan tradisional. Masa kita kalah sama negara yang luasnya masih kalah dari kebun sawit grup besar?
Pepatah bilang, “Hutan yang dijaga, hasilnya bisa lima keturunan rasa”. Jangan sampai anak cucu nanti cuma kenal hutan dari foto hitam putih atau video dokumenter, jangan pula mereka harus belajar tentang pohon dari museum, bukan dari pelukan rindangnya.
Muba punya semua modal untuk jadi contoh nasional. Bukan cuma dari sisi sumber daya, tapi juga dari semangat pemimpinnya yang mulai mikir panjang, bukan cuma mikir lima tahun ke depan. Semoga ini bukan cuma euforia satu kali kunjungan atau hangat-hangat ayam kampung rebus. Tapi benar-benar jadi titik tolak.
Kalau semua kabupaten di Indonesia mau ikut langkah Muba membangun tanpa menggerus, menambang tanpa membakar, dan menanam tanpa menghilangkan maka kita bukan cuma akan punya negara yang maju, tapi juga lestari.
Membangun itu penting. Tapi jangan lupa yang terlalu cepat lari, kadang lupa kalau jalurnya belum disiapkan. Dan yang terlalu fokus ke depan, kadang lupa kalau tanah tempat berpijak mulai retak. Selamat buat Muba dan LTKL. Semoga hutan bukan cuma tempat monyet makan pisang, tapi juga simbol kecerdasan manusia menjaga masa depan.[***]