Industri Kreatif & UKM

“Kalau Korea Bisa Ekspor Oppa, Masa Kita Kalah Sama Boneka?”

ist

Sumselterkini.co.id, –  Kalau UMKM kita ibarat makanan, dia itu sudah gurih, manis, ada pedes-pedesnya dikit. Lengkap, tapi sayang, masih sering cuma dijadiin menu katering seminar. Dipuji-puji saat launching program, difoto rame-rame, lalu dilupakan saat acara bubar dan snack box-nya tinggal bolu sisa.

Maka dari itu, kita layak menyambut program AKSI 2025 ini dengan harapan penuh, tapi juga kewaspadaan tinggi, soalnya, di republik ini, antara “niat baik” dan “hasil konkret” kadang seperti jarak dari Sabang ke Merauke jauh dan sering nyasar di tengah.

Program AKSI (Akselerasi Ekspor Kreasi Indonesia) katanya mau mempercepat ekspor produk kreatif dari UMKM. Ini langkah bagus, semoga bukan cuma aksi-aksian, sebab selama ini, UMKM kita seperti aktor berbakat yang dipaksa nonton dari bangku penonton, sementara panggungnya diisi oleh bintang-bintang besar yang kadang hanya bermodal koneksi, bukan inovasi.

Menteri UMKM sudah bilang, ekonomi kreatif dan UMKM itu ibarat dua sisi mata uang kemandirian dan inovasi. Tapi jangan sampai mata uangnya malah nggak laku di pasar dunia karena gak dikasih etalase yang layak. UMKM bukan hanya butuh pelatihan “cara packing yang instagramable”, tapi juga akses ekspor yang nyata, bukan seminar yang hanya berakhir dengan sertifikat dan nasi kotak.

Lihat Korea Selata, Mereka bisa ekspor BTS, BLACKPINK, sampai mi instan, dan semua dibungkus dengan budaya pop yang disulap jadi ekonomi. Bahkan karakter boneka Line Friends dari Korea bisa dijadikan aset keuangan. Sedangkan kita? Karakter lokal kita masih jadi wallpaper WhatsApp emak-emak, belum sampai meja investor.

Selain itu Jepang bisa jual Hello Kitty sampai Amerika Latin. Padahal kucingnya gak punya mulut dan gak pernah meong. Tapi karena dikemas dengan budaya dan branding yang kuat, dia jadi duta ekspor kawaii sedunia. India ekspor yoga, film Bollywood, dan bumbu masala, padahal yang dijual cuma gerakan dan rasa, bukan barang fisik. Tapi karena cerita dan citra-nya kuat, dunia ikut nimbrung.

Thailand sukses jual mangga ketan ke restoran hipster Eropa. Di sana, jajan pasar bisa naik kelas, asal ada plating mewah dan logo yang kece. Vietnam sekarang jadi raja ekspor kopi robusta, padahal dulu kita yang dikenal sebagai surganya kopi. Mereka lari cepat, kita masih sibuk rapat koordinasi antar dinas. Brasil bahkan bisa bikin sendal jepit merek Havaianas dijual di butik mewah. Kita? Sendal jepit lokal masih dianggap barang darurat kalau ke warung Indomie, dan Turki? Mereka ekspor drama sinetron kerajaan sambil jualan karpet.

Kita juga punya banyak sinetron, tinggal disulap sedikit judulnya bisa “Cinta di Atas Lidi Ekspor”.

Nah, dari situ kita belajar bahwa branding, akses pasar, dan keberanian menjual identitas lokal itu penting. Produk kita kaya akan budaya, dari batik sampai kripik, dari keris sampai komik lokal, tapi kalau cuma dipajang di festival-festival daerah, ya lama-lama bisa basi. Pepatah bilang emas tetap emas, tapi kalau dibungkus daun pisang, orang kira itu lemper.

Yang tak kalah penting adalah pembiayaan. Menteri UMKM sudah menyentil soal penggunaan kekayaan intelektual (KI) sebagai jaminan kredit. Ini penting banget. Masa iya, karakter animasi bikinan anak bangsa cuma dijadiin stiker di grup WA? Padahal di luar negeri, karakter seperti Minion bisa jadi aset milyaran dolar, kita harus mulai percaya ide bagus itu setara dengan tanah dan bangunan asal tahu cara menawarkannya ke bank.

Tapi, sekali lagi, jangan sampai semangat ini cuma jadi seremoni, jangan sampai AKSI 2025 cuma sekadar “Acara Keren, Selesai, Istirahat”. Harus ada keberlanjutan, keberpihakan, dan keberanian membuat ekonomi kreatif tidak sekadar gaya hidup, tapi sumber devisa.

Kita juga harus ingat bahwa pasar domestik kita besar dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia bisa jadi double gardan sebagai produsen dan konsumen. Jangan sampai kita jago ekspor, tapi di kampung sendiri malah kalah sama produk luar.

Kalau UMKM kita terus diperlakukan kayak pengisi acara pinggiran yang hanya diminta joget saat pembukaan, lalu dilupakan saat sesi utama, ya selamanya mereka akan jadi bintang tamu, bukan pemeran utama. Sudah saatnya pemerintah bukan cuma jadi MC acara launching, tapi jadi manajer karier bagi para pelaku UMKM kreatif.

Agar ide tak lagi jadi poster pajangan, dan kreativitas tak lagi sekadar jadi “konten viral tapi tak dibeli”. Kalau program AKSI ini betul-betul jalan, bukan hanya tembus pasar ekspor, tapi bisa juga tembus hati rakyat, karena merasa didukung dari hulu ke hilir. Dan kalau semua lancar, siapa tahu, tahun 2026 kita bisa lihat dodol Garut tampil di Cannes, atau pempek jadi makanan penutup di festival film Venesia.

Karena seperti kata nenek saya “Kalau hidup cuma buat ikut lomba, mending jadi peserta 17-an. Tapi kalau hidup mau bermakna, jadilah tuan rumah di negeri sendiri, dan tamu terhormat di negeri orang,”.

Dan mari kita jujur banyak pelaku UMKM kita itu bukan kurang ide, tapi sering kehabisan nafas di tengah jalan. Dari izin usaha sampai pajak, dari label halal sampai surat keterangan usaha, kadang lebih susah dari skripsi anak ekonomi. Padahal mereka cuma mau jual keripik pisang dan kaos sablonan bertuliskan “Palembang Banget!”

Maka tugas negara, bukan cuma memberi panggung, tapi juga membersihkan panggung dari kabel-kabel yang bikin kesandung. Jangan biarkan UMKM kita mati gaya karena terkendala birokrasi yang mbulet kayak benang kusut dimakan kucing.

Lagi pula, ekonomi kreatif ini bukan cuma urusan ekspor atau omzet. Ia juga urusan harga diri bangsa. Kalau kita bisa bikin dunia ngiler lihat produk kita, itu berarti kita berhasil jual cerita, budaya, dan semangat gotong royong dalam bentuk barang yang nyata.

Dan jangan remehkan kekuatan UMKM, mereka ini ibarat ibu kos di tengah krisis di saat perusahaan besar bangkrut, UMKM tetap buka, tetap jualan, tetap bertahan. Mereka itu seperti tahu goreng di pinggir jalan: sederhana, tapi menyelamatkan lapar berjuta perut. Jadi kalau pemerintah memang serius dengan AKSI 2025, buktikan dengan aksi, bukan janji. Jangan cuma launching, lalu hilang ke Magelang untuk “retret koordinasi nasional sambil meditasi.”

Kalau AKSI 2025 ini berhasil, kita tak cuma jual barang, tapi menjual semangat, kreativitas, dan karakter Indonesia. Bukan hanya jadi negara yang kaya ide tapi miskin implementasi. Tapi jadi bangsa yang bisa bilang ke dunia “Kami punya barang, kami punya cerita, dan kami siap berbisnis tanpa basa-basi”.

Karena seperti pepatah Jawa bilang “Yang kreatif didukung, bukan dibikin sibuk ngurus fotokopi KTP buat bantuan”. Mari mulai sekarang, jadikan UMKM bukan cuma bahan pidato, tapi bahan bangga nasional. Dan semoga AKSI 2025 ini, bukan sekadar nama keren di baliho acara, tapi benar-benar jadi jalan tol bagi UMKM kreatif menuju panggung dunia.[***]

Terpopuler

To Top