Haji & Umroh

Rasa yang Tak Pernah Jauh, Cerita Cita Rasa Nusantara di Tanah Suci

kemenag

Sumselterkini.co.id,  – Kalau ada surga kecil buat perut para jemaah haji Indonesia, letaknya ya di dalam boks katering yang dibagikan saban hari sejak mereka mendarat di Tanah Suci.

Bayangkan, di tengah panasnya gurun Madinah dan terik Makkah yang bisa bikin keringat menetes sampai ke dosa-dosa lama, para jemaah malah disambut dengan nasi uduk yang wangi, rendang yang nendang, sampai ayam goreng Kalasan yang bikin lidah joget Maumere.

Sudah 13 hari operasional haji berjalan, dan ternyata bukan cuma jemaah yang dihitung jumlahnya, tapi juga boks kateringnya yang kalau ditumpuk bisa jadi tugu makan nasional. Tercatat lebih dari 1,5 juta boks telah dikirim ke tangan para tamu Allah dari Indonesia. Itu artinya, lauk pauk yang biasa nongol di warung pecel lele, kini bisa dijumpai juga di kota suci. Dari nasi kuning sampai ikan patin bumbu balado, semua numpang ibadah juga!

“Tak kenal lapar, maka tak khusyuk tawaf,” begitu mungkin falsafah yang diterapkan oleh para petugas katering. Maklum, zikir itu butuh tenaga. Dan tenaga datang dari nasi gurih yang disantap bersama sambal kentang dan telur balado yang hangatnya masih terasa sampai ke hati.

Menurut laporan resmi Siskohat (yang bukan singkatan dari “Sistem Komputerisasi Hatiku”), 85.678 jemaah telah mendarat dengan manis di Madinah dalam 218 kloter. Dan dari jumlah itu, 58 kloter dengan 22.748 jemaah sudah mulai boyongan ke Makkah, setelah delapan hari puas menikmati menu masakan rumahan dengan latar Masjid Nabawi.

Di antara jemaah itu, ada pasangan suami istri yang menyuapi satu sama lain, ada kakek-nenek yang makan pelan sambil mengenang nasi goreng zaman muda, hingga para penyandang disabilitas yang tetap bisa makan dengan tenang berkat pendampingan yang penuh kasih. Bukan sekadar logistik, ini adalah logika cinta yang dibungkus dalam plastik katering.

Sutikno, Kepala Bidang Katering yang namanya bisa ditemukan di balik semua nasi rendang itu, menyebutkan bahwa 1,3 juta boks dibagikan di Madinah, dan 200 ribu sisanya di Makkah. Kalau ada lomba katering dunia, mungkin tim ini sudah naik podium sambil diarak dengan rebana.

Menu berganti tiap hari, tidak ada istilah “menu tetap seperti hatimu padaku.” Kadang nasi uduk datang bareng ayam rica-rica, besoknya nasi goreng dijodohkan dengan ikan tuna cabe hijau. Kalau saja makanan bisa bicara, mereka pasti bilang, “Kita sudah move on, kamu kapan?”

Namun di balik semua santapan nikmat itu, ada makna yang jauh lebih dalam. Makanan bukan hanya soal kenyang, tapi soal rasa aman, soal perhatian, soal kampung halaman yang dibungkus rapi dan dikirim lintas benua.

Mungkin itulah kenapa ketika jemaah meneguk air mineral sambil menyantap semur daging, ada air mata yang ikut turun perlahan. Bukan karena pedas, tapi karena rindunya pulang sedikit terobati.

Seperti kata pepatah, “Sekali merantau ke tanah suci, rendang pun ikut menemani.” Karena rindu tak bisa dilarang, tapi bisa dihangatkan lewat semangkuk sayur labu dan secuil tempe orek.

Ibadah haji bukan cuma soal rukun dan syarat, tapi juga soal kemanusiaan yang dipenuhi dengan pelayanan penuh cinta. Dan di tengah lautan manusia dari berbagai negara, Indonesia datang dengan satu keunggulan  bisa membuat jemaah tetap khusyuk beribadah sambil kenyang lahir batin.

Sebab di Tanah Suci, rendang bukan hanya makanan, tapi juga pelukan dari jauh yang dikirim ibu-ibu di tanah air lewat tangan para petugas katering.

Dan jika nanti ada pertanyaan, “Apa bekalmu selama berhaji?” Maka para jemaah Indonesia bisa menjawab “Rendang, doa, dan air mata bahagia.”.[***]

Terpopuler

To Top