Palembang Terkini

“Kisah KAMMI: Anak Muda yang Tak Cuma Bisa Demo tapi Juga Bawa Asa”

ist

Sumselterkini.co.id, –  Kalau mahasiswa itu ibarat cabe rawit, maka KAMMI adalah tipe cabe yang kecil-kecil tapi kalau digigit bisa bikin air mata netes, bukan karena pedas doang, tapi karena penuh cita-cita. Ya, begitulah kira-kira cerita tentang Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia alias KAMMI, organisasi yang kalau dikira-kira, sudah seperti warteg di sekitar kampus ada di mana-mana, dekat dengan rakyat, dan penuh rasa perjuangan.

Baru-baru ini, Palembang jadi tuan rumah acara yang nggak main-main Rakornas I KAMMI tahun 2025. Tempatnya di Griya Agung, tempat biasanya para pejabat berwibawa minum teh sambil bahas APBD. Tapi malam itu, suasana berubah jadi lebih merakyat, karena anak-anak muda dari seluruh Indonesia ngumpul di sana. Bukan mau demo, bukan mau rebutan pempek, tapi mau rapat serius. Iya, rapat! Jangan salah, mahasiswa juga bisa serius kalau nggak ngantuk.

Yang datang Gubernur Sumsel, H. Herman Deru, hadir dan buka acara. Sekda Palembang, Aprizal Hasyim, juga duduk manis, mungkin sambil mikir. “Wah, ini calon-calon pemimpin masa depan nih.” Eh, jangan lupa, ada juga Pangdam II Sriwijaya, Mayjen TNI Ujang Darwis. Lengkap! Kalau ini sinetron, udah kayak episode spesial. “Mahasiswa, Gubernur, dan Jenderal Bertemu di Griya Agung”.

Nah, KAMMI sendiri bukan organisasi kemarin sore. Mereka lahir di tengah euforia reformasi, 29 Maret 1998 di Malang. Saat itu mahasiswa sedang panas-panasnya, kayak wajan habis goreng tahu bulat. Tapi KAMMI hadir bukan cuma buat bikin gaduh. Mereka bawa konsep, bawa misi, dan tentu saja bawa semangat Islamisme yang ramah bukan yang garang-garang kayak trailer film perang.

Sekarang coba kita jujur-jujuran. Selama ini mahasiswa itu sering dicap tukang demo. Begitu ada isu naik, langsung turun ke jalan. Harga BBM naik? Demo. Uang kuliah mahal? Demo. Dosen killer? Demo diam-diam (alias bikin meme). Tapi KAMMI membuktikan bahwa anak muda juga bisa duduk manis, bikin forum, bahas strategi. Karena bangsa ini nggak bisa terus-terusan dibangun lewat spanduk dan toa. Harus ada rapatnya, harus ada naskahnya. Karena masa depan Indonesia butuh lebih dari sekadar teriakan butuh tindakan dan pikiran.

Dan malam itu di Griya Agung, tampaknya harapan-harapan itu mulai terformalisasi. Siapa tahu, dari Rakornas itu lahir calon anggota DPR yang bukan cuma bisa bacain undang-undang, tapi juga ngerti makna pasal. Siapa tahu, dari forum itu muncul menteri masa depan yang nggak cuma pinter TikTok, tapi juga jago ngatur strategi nasional. Siapa tahu, dari barisan KAMMI itu muncul pemimpin yang kalau ngomong bikin rakyat tenang, bukan malah bikin trending topic karena salah sebut nama negara.

Orang bilang, “masa depan bangsa ada di tangan pemuda.” Tapi jangan cuma dikasih tangan, kasih juga ruang dan panggung. Dan Rakornas ini salah satu buktinya. Anak muda diberi tempat, disambut gubernur, disalami jenderal, dan mungkin dilirik intel (lho?). Ini momen langka, di mana mahasiswa bisa berkoordinasi tanpa harus disiram water cannon.

Mari kita akui, organisasi seperti KAMMI bukan sekadar komunitas idealis. Mereka adalah perahu kecil yang sedang belajar menantang ombak. Kadang goyang, kadang bocor, tapi tetap melaju. Dan kita butuh lebih banyak perahu seperti ini, agar lautan Indonesia nggak cuma dipenuhi kapal tua berkarat yang isinya cuma politikus ngantuk dan janji palsu.

KAMMI adalah gambaran mahasiswa Indonesia yang sudah naik kelas. Bukan cuma jago demo, tapi juga paham arah. Bukan cuma suara lantang, tapi juga strategi matang. Dari forum Rakornas di Palembang, kita belajar bahwa asa itu masih ada asal anak muda diberi peluang dan terus diberi tantangan.

Jadi kalau ada yang masih bilang, “Mahasiswa tuh bisanya cuma demo,” kasih tahu. “Eh, kami udah Rakornas, kamu masih nyinyir di kolom komentar?”

Terpopuler

To Top