GEDUNG berlantai tiga di sudut Jl Percetakan Negara 126, Kelurahan Gurabesi, Kecamatan Jayapura Utara, itu sepintas tampak biasa saja. Padahal di lantai tiga bangunan terdapat Masjid Jami, masjid tertua di Kota Jayapura. Tak ada penanda yang menunjukkan kalau bangunan itu adalah sebuah masjid, misalnya kubah bulat dengan pucuk bulan sabit dan bintang, lazimnya sebuah rumah ibadah umat Islam dan bangunan tersebut rutin digunakan untuk beribadah.
Untuk mencapai masjid tersebut kita harus meniti anak tangga melewati lantai satu dan dua yang difungsikan sebagai sekolah. Pengelola sekolah adalah Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, yang memiliki Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda Ma’arif, Sekolah Dasar Nurul Huda 1 Ma’arif, dan Sekolah Menengah Pertama Nurul Huda Ma’arif.
Masjid sendiri berukuran 12 meter x 12 meter atau kira-kira dua kali lapangan bulu tangkis dan mampu menampung 200 jamaah. Dindingnya berlapis keramik hijau dan lantainya diberi keramik putih. Terdapat empat unit pendingin ruangan di dalam masjid yang hanya digunakan ketika salat Jumat.
Sebagai gantinya untuk mengusir udara panas Kota Jayapura, terdapat enam unit kipas angin ukuran besar di langit-langit. Di luar aktivitas salat berjamaah, masjid kerap digunakan untuk tempat pertemuan pengurus, pengajian warga, dan belajar mengaji anak-anak.
Masjid Jami lokasinya hanya sekitar 200 meter dari Masjid Raya Baiturrahim yang menjadi rumah ibadah umat Muslim terbesar di Kota Jayapura. Masjid Baiturrahim dibangun pada 1974 untuk mengakomodasi semakin meningkatnya jumlah umat Islam di Kota Jayapura.
Masjid Jami adalah rumah ibadah umat Muslim pertama yang dibangun di ibu kota Provinsi Papua pada 1943 silam. Sejumlah buruh pelabuhan di Hollandia, nama Jayapura saat itu, adalah pencetus berdirinya Masjid Jami ketika Hindia Belanda masih berkuasa. Ketika itu, pulau ini masih dikenal sebagai Niugini Belanda atau Nederlands Nieuw Guinea.
Para buruh itu adalah pendatang dari Buton, Ternate, Tidore, Halmahera, Waigeo, dan Salawati. Semula, bangunan masjid hanya terdiri dari satu lantai di atas lahan seluas 1.440 meter persegi dengan atap dari seng dan kubah berbentuk limas seperti umumnya masjid di Jawa ketika itu.
Masjid awalnya hanya dimanfaatkan untuk para jamaah, sebagian besar buruh pelabuhan dan pedagang, yang ingin menunaikan salat lima waktu. Ibadah salat Jumat belum dilaksanakan karena jumlah jamaahnya masih sedikit.
Masjid yang terletak di kaki perbukitan Jayapura kawasan APO ini menjadi saksi bisu dinamika pembangunan kota seluas 940 kilometer persegi tersebut. Pengurus Masjid yakni Jami H Muhammad Syaiful menuturkan, peristiwa paling bersejarah bagi rumah ibadah ini adalah seputar era 1962-1963. Ketika itu terjadi peristiwa penyerahan wilayah Papua dari Belanda kepada Indonesia yang difasilitasi oleh militer sekutu, masjid ini banyak didatangi oleh tentara Muslim yang dibawa Inggris dari Asia Selatan seperti India dan Pakistan.
Para tentara ini, sebagian asal Pakistan yang menjaga wilayah sekitar Pelabuhan Jayapura menjadikan Masjid Jami sebagai tempat salat dan beristirahat. Para tentara Pakistan yang bermarga Khan tersebut turut merawat masjid dan menjadi imam di sini. Keberadaan mereka disambut jamaah karena telah menghidupkan suasana masjid.
“Sebagian dari mereka memilih berkeluarga di Jayapura dan keturunan-keturunan yang bermarga Khan cukup banyak tinggal di permukiman sekitar kawasan masjid,” kata Syaiful seperti dikutip dari Antara.
Ada cerita kelam terjadi pada masjid ini sepeninggal tentara-tentara Pakistan dan India ketika mereka ditarik kembali ke negara masing-masing. Selain itu, para buruh pelabuhan yang merupakan jamaah tetap masjid mulai bergeser lokasi kerja ke kawasan Abe Pantai. Mereka pun membangun masjid baru, Masjid Al Falah yang kemudian diketahui sebagai rumah ibadah umat Muslim kedua tertua di Jayapura.
Masjid Jami kemudian menjadi sepi serta tidak terawat. Di sekeliling masjid mulai tumbuh ilalang setinggi tubuh orang dewasa dan lebih mirip semak belukar. Di sekitarnya juga mulai hadir rumah karaoke serta bar. Seorang tokoh masyarakat setempat sekaligus pendeta bernama Saparai kemudian meminta pemilik bar dan karaoke segera menutup usaha di dekat masjid. Sehingga suasana Masjid Jami kembali bersih dari karaoke dan bar.
Pada 1963 itu juga, pengelolaan Masjid Jami diambil alih oleh Kodam XVII/Cenderawasih. Seorang pegawai dari Kementerian Agama bernama H Mansyur D Rahmad kemudian diminta untuk mengelola masjid tersebut selama 10 tahun.
Pada era itu, masjid mulai membuka lembaga pendidikan yaitu Madrasah Diniyah Ma’arif pada 1966. Ketua Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Papua H Toni Wanggai mengatakan, pada 1968 LP Ma’arif pun dibentuk bersamaan digantinya diniyah dengan Madrasah Ibtidaiyah. “Masjid ini tidak hanya rumah ibadah karena juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan wadah berkumpulnya organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah,” katanya.
Berturut-turut pada 1970 dibangun SD Nurul Huda dan 1985 ada SMP Nurul Huda. Karena tingginya minat warga menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan di Masjid Jami, maka pengurus dan pengelola mengubah total bangunan masjid, disatukan dengan gedung sekolah pada 1985. Masjid pun berpindah ke lantai paling atas karena untuk menghormati fungsinya sebagai rumah ibadah. Itulah sebabnya masjid posisinya saat ini ada di lantai tiga.
Sejak tiga tahun lalu terbersit rencana dari pengurus untuk mengembalikan posisi masjid ke lokasi semula atau di bawah, terpisah dari bangunan utama. Namun sampai hari ini belum juga dapat direalisasikan.Indonesia.go.id (***)