Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dari meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah prakiraan inflasi yang tetap rendah. Untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut, Bank Indonesia lebih mengoptimalkan kebijakan makroprudensial akomodatif, akselerasi pendalaman pasar uang, dukungan kebijakan internasional, serta digitalisasi sistem pembayaran. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia menempuh langkah-langkah kebijakan sebagai tindak lanjut sinergi kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha sebagai berikut:
- Memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah dengan tetap berada di pasar melalui triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar;
- Melanjutkan penguatan strategi operasi moneter untuk mendukung stance kebijakan moneter akomodatif;
- Memperluas penggunaan instrumen Sukuk Bank Indonesia (SukBI) pada tenor 1 minggu sampai dengan 12 bulan dalam rangka memperkuat operasi moneter syariah mulai berlaku 16 April 2021;
- Memperkuat transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan secara lebih rinci serta berkoordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk mendukung percepatan transmisi kebijakan moneter dan peningkatan kredit/pembiayaan kepada dunia usaha;
- Memperkuat kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIM Syariah) dengan memasukkan wesel ekspor sebagai komponen pembiayaan, serta memberlakukan secara bertahap ketentuan disinsentif berupa Giro RIM/RIMS, untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan ekspor guna mengakselerasi pemulihan ekonomi (Lampiran 1);
- Mempercepat pendalaman pasar uang melalui pengembangan transaksi repo antar pelaku pasar dan penguatan infrastruktur transaksi guna mendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter dan manajemen likuiditas sektor keuangan;
- Memfasilitasi penyelenggaraan promosi perdagangan dan investasi serta sosialisasi penggunaan Local Currency Settlement (LCS) bekerjasama dengan instansi terkait. Pada Maret dan April 2021 akan diselenggarakan promosi investasi dan perdagangan di Singapura, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Tiongkok, dan Perancis, serta kegiatan sosialisasi penggunaan LCS di Jepang dan Malaysia;
- Melanjutkan dukungan pengembangan ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang inklusif dan efisien khususnya UMKM melalui perluasan penggunaan dan fitur QR Code Indonesian Standard (QRIS), penyelenggaraan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Karya Kreatif Indonesia (KKI), dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi, termasuk Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (GBBI) dan Gerakan Bangga Berwisata Indonesia (GBWI);
- Mendukung pembentukan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) dalam rangka mendorong inovasi, mempercepat dan memperluas pelaksanaan Elektronifikasi Transaksi Pemda (ETP), serta integrasi ekonomi dan keuangan digital.
Perekonomian global berpotensi tumbuh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya meskipun belum berjalan seimbang dari satu negara ke negara lain. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terjadi di negara-negara yang mampu mengakselerasi vaksinasi Covid-19 serta menempuh stimulus fiskal dan moneter yang besar. Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 diprakirakan akan lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya sebesar 5,1%, terutama ditopang lebih tingginya pertumbuhan di Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Kawasan Eropa, dan India. Sejumlah indikator dini pada Februari 2021 mengonfirmasi perbaikan ekonomi global yang lebih kuat, seperti Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur, keyakinan konsumen, serta penjualan ritel yang terus meningkat. Sejalan dengan perbaikan ekonomi global tersebut, volume perdagangan dan harga komoditas dunia terus meningkat, sehingga mendukung perbaikan kinerja ekspor negara berkembang, termasuk Indonesia. Di AS, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga didukung oleh tambahan stimulus fiskal sebesar 1,9 triliun dolar AS yang berlaku sejak 17 Maret 2021 dan rencana tambahan stimulus fiskal sebesar 2 triliun dolar AS pada triwulan IV-2021. Reaksi pasar atas paket kebijakan fiskal yang lebih besar dan prospek pemulihan ekonomi yang lebih cepat di AS tersebut telah mendorong kenaikan yield UST dan ketidakpastian pasar keuangan global, meskipun the Fed diperkirakan belum akan mengubah kebijakan moneternya pada tahun ini. Perkembangan ini berpengaruh terhadap tertahannya aliran modal ke sebagian besar negara berkembang, dan berdampak pada kenaikan yield surat berharga dan tekanan terhadap mata uang di berbagai negara tersebut, termasuk Indonesia.
Perbaikan perekonomian domestik diprakirakan berlanjut, didorong oleh pemulihan ekonomi global, implementasi vaksinasi, dan sinergi kebijakan nasional. Perkembangan sejumlah indikator pada Februari 2021 mengindikasikan perbaikan yang terus berlangsung, di tengah mobilitas masyarakat yang meningkat terbatas sejalan dengan masih diberlakukannya pembatasan di sejumlah wilayah. Kinerja ekspor terus meningkat, terutama komoditas manufaktur seperti besi baja, bijih logam, kimia organik, dan mesin listrik, seiring dengan kenaikan permintaan dari negara mitra dagang utama dan perbaikan ekonomi global. Secara spasial, peningkatan kinerja ekspor terjadi di sejumlah wilayah yaitu seperti Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), Jawa, Sumatera. Selain itu, ekspektasi konsumen, penjualan eceran, dan PMI manufaktur juga menunjukkan perbaikan. Akselerasi program vaksin nasional dan disiplin dalam penerapan protokol Covid-19 diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi domestik. Selain itu, untuk mendorong permintaan domestik lebih lanjut, sinergi kebijakan ekonomi nasional terus diperkuat. Sinergi kebijakan mencakup lima aspek yaitu: (i) pembukaan sektor-sektor produktif dan aman, (ii) akselerasi stimulus fiskal, (iii) penyaluran kredit perbankan dari sisi permintaan dan penawaran, (iv) berlanjutnya stimulus moneter dan makroprudensial, serta (v) percepatan digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya terkait pengembangan UMKM. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 diprakirakan akan meningkat pada kisaran 4,3-5,3%.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap baik, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal. Defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah, didorong oleh surplus neraca barang yang berlanjut. Neraca perdagangan Februari 2021 mencatat surplus sebesar 2,00 miliar dolar AS, melanjutkan surplus pada bulan sebelumnya sebesar 1,96 miliar dolar AS. Kinerja positif tersebut dipengaruhi oleh ekspor yang kembali mencatat kenaikan sebesar 8,56% (yoy), terutama ditopang oleh permintaan dari Tiongkok, AS, dan Jepang, serta kenaikan harga komoditas dunia, di tengah berlanjutnya perbaikan impor. Selain sejumlah komoditas manufaktur, peningkatan nilai ekspor juga tercatat pada sejumlah komoditas primer seperti CPO dan batu bara. Sementara itu, aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik relatif tertahan, seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat. Hal ini tercermin dari investasi portofolio yang mencatat net outflow sebesar 1,57 miliar dolar AS pada Maret 2021 (hingga 16 Maret), setelah sebelumnya mencatat net inflow sebesar 7,14 miliar dolar AS pada periode Januari-Februari 2021. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2021 tercatat sebesar 138,8 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah yaitu sekitar 1,0%-2,0% dari PDB pada tahun 2021, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia.
Di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, pergerakan nilai tukar Rupiah relatif terjaga didukung langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia. Nilai tukar Rupiah pada 17 Maret 2021 melemah 2,20% secara rerata dan 1,16% secara point to point dibandingkan dengan level Februari 2021. Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut dipengaruhi oleh kenaikan yield US Treasury (UST) dan menguatnya dolar AS yang kemudian menahan aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik. Dengan perkembangan ini, Rupiah sampai dengan 17 Maret 2021 mencatat depresiasi sekitar 2,62% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2020, relatif lebih rendah dari sejumlah negara emerging lain seperti Brazil, Meksiko, Korea Selatan, dan Thailand. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.
Inflasi tetap rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2021 tercatat sebesar 0,10% (mtm) atau 1,38% (yoy). Inflasi inti tetap rendah sejalan dengan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi pada kisaran target. Inflasi kelompok volatile food melambat seiring pasokan domestik yang meningkat dan permintaan yang belum kuat. Sementara itu, inflasi kelompok administered prices meningkat didorong kenaikan tarif di beberapa ruas jalan tol dan kenaikan tarif angkutan udara beberapa maskapai penerbangan. Inflasi pada tahun 2021 diprakirakan tetap terkendali dalam sasaran 3,0%±1%. Ke depan, Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI dan TPID), guna mengendalikan inflasi IHK sesuai kisaran targetnya.
Sejalan dengan kebijakan moneter akomodatif Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan fiskal Pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional, kondisi likuiditas di perbankan dan pasar keuangan tetap longgar. Sejak tahun 2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sebesar Rp776,87 triliun (5,03% dari PDB), yang terdiri dari Rp726,57 triliun pada tahun 2020 dan sebesar Rp50,29 triliun pada tahun 2021 (per 16 Maret 2021). Sinergi ekspansi moneter Bank Indonesia dengan akselerasi stimulus fiskal Pemerintah terus diperkuat dengan pembelian SBN oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Setelah pada tahun 2020 melakukan pembelian dari pasar perdana sebesar Rp473,42 triliun untuk pendanaan APBN 2020, pada 2021 Bank Indonesia melanjutkan pembelian SBN dari pasar perdana untuk pembiayaan APBN Tahun 2021 melalui mekanisme sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, sebagaimana telah diperpanjang tanggal 11 Desember 2020, hingga 31 Desember 2021. Besarnya pembelian SBN di pasar perdana hingga 16 Maret 2021 sebesar Rp65,03 triliun, terdiri dari sebesar Rp22,90 triliun melalui mekanisme lelang utama dan sebesar Rp42,13 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO). Kondisi likuiditas yang longgar pada Februari 2021 telah mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni 32,86% dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tinggi sebesar 10,11% (yoy). Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Februari 2021 tetap tinggi, yakni sebesar masing-masing 18,6% (yoy) dan 11,3% (yoy).
Penurunan suku bunga kebijakan moneter dan longgarnya likuiditas mendorong suku bunga terus menurun, meskipun penurunan suku bunga kredit perbankan perlu terus didorong. Longgarnya likuiditas dan penurunan BI7DRR sebesar 150 bps sejak 2020 mendorong rendahnya rata-rata suku bunga PUAB overnight sekitar 2,96% selama Februari 2021. Suku bunga deposito 1 bulan juga telah menurun sebesar 189 bps (yoy) ke level 4,06% sejak Januari 2020 hingga Januari 2021. Namun demikian, penurunan suku bunga kredit pada periode yang sama masih cenderung terbatas, yaitu hanya sebesar 78 bps ke level 9,72%. Di tengah penurunan suku bunga BI7DRR sebesar 125 bps (yoy) sampai dengan Januari 2021, SBDK pada periode yang sama hanya turun sebesar 78 bps (yoy). Hal ini menyebabkan spread SBDK terhadap BI7DRR cenderung melebar dari sebesar 5,82% pada Januari 2020 menjadi sebesar 6,28% pada Januari 2021. Adapun suku bunga deposito lebih cepat dalam merespons penurunan suku bunga kebijakan, sehingga spread antara suku bunga SBDK dan suku bunga deposito 1 bulan juga mengalami kenaikan dari 4,86% menjadi 5,97%. Dari sisi jenis kredit, SBDK kredit mikro tercatat sebesar 13,77%, kredit konsumsi non-KPR 10,71%, kredit ritel 9,63%, kredit konsumsi KPR 9,61%, dan kredit korporasi 9,16%. Dari sisi kelompok bank, SBDK tertinggi hingga Januari 2021 tercatat pada bank-bank BUMN sebesar 10,80% diikuti oleh BPD 9,79%, BUSN 9,46% dan KCBA 6,58%. Namun demikian, SBDK bank-bank BUMN diperkirakan akan menurun pada bulan Maret 2021 dengan rencana penurunan yang telah diumumkan. Bank Indonesia mengharapkan bank-bank lain juga dapat mempercepat penurunan suku bunga kredit sebagai upaya bersama untuk mendorong kredit/pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional.
Ketahanan sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari berlanjutnya dampak Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Januari 2021 tetap tinggi sebesar 24,40%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah, yakni 3,17% (bruto) dan 1,03% (neto). Di tengah kondisi likuiditas yang longgar, fungsi intermediasi sektor keuangan belum kuat, tercermin dari kontraksi kredit pada Februari 2021 sebesar 2,15% (yoy) dibandingkan dengan kontraksi 1,92% (yoy) pada Januari 2021. Sehubungan dengan itu, berbagai langkah penguatan terus dilakukan sejalan dengan sinergi kebijakan KSSK, perbankan, dan dunia usaha untuk menjaga optimisme dan mengatasi permasalahan sisi permintaan dan penawaran dalam penyaluran kredit/pembiayaan dari perbankan kepada dunia usaha, dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia terus menempuh kebijakan makroprudensial akomodatif termasuk kebijakan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor dan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti yang telah diumumkan. Bank Indonesia juga akan mendorong peningkatan kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan melalui perluasan komponen pembiayaan dan reaktivasi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIM Syariah) secara bertahap.
Transaksi Sistem Pembayaran baik tunai maupun nontunai berjalan lancar di tengah tetap pesatnya digitalisasi ekonomi dan keuangan. Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada Februari 2021 mencapai Rp783,6 triliun, tumbuh 11,95% (yoy). Di sisi lain, nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, Kartu Debet, dan Kartu Kredit pada Februari 2021 tercatat Rp579,6 triliun, mengalami kontraksi 4,93% (yoy) sejalan dengan masih terbatasnya mobilitas dan lemahnya permintaan domestik akibat pandemi Covid-19. Meskipun demikian, transaksi ekonomi dan keuangan digital terus tumbuh tinggi sejalan dengan meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat untuk berbelanja daring, meluasnya pembayaran digital dan akselerasi digital banking. Pertumbuhan tersebut tercermin dari nilai transaksi Uang Elektronik (UE) pada Februari 2021 sebesar Rp19,2 triliun, atau tumbuh 26,42% (yoy). Volume transaksi digital banking juga terus meningkat, pada Februari 2021 tumbuh 36,41% (yoy) mencapai 464,8 juta transaksi dan nilai transaksi digital banking yang tumbuh 22,94% (yoy) mencapai Rp2.547,5 triliun. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan teknologi, inovasi, serta perluasan dan penguatan ekosistem digital, Bank Indonesia memprakirakan tren digitalisasi masih akan terus berlanjut. Dari sisi kebijakan sistem pembayaran, Bank Indonesia terus mendukung pengembangan ekosistem ekonomi dan keuangan digital, antara lain dengan perluasan akseptasi QRIS melalui implementasi fitur QRIS Customer Presented Mode (CPM) serta penggunaan QRIS sebagai salah satu metode pembayaran dalam e-commerce. Dalam rangka memperkuat penggunaan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di NKRI, Bank Indonesia terus memperluas dan mempercepat edukasi Rupiah dalam rangka mengakselerasi program Cinta Rupiah, Bangga Rupiah, dan Paham Rupiah.[***]
ril