Ekonomi

Sultan Muda Sumsel, Benarkah Mampu Ubah Nasib Rakyat?

Pemprov.Sumsel

JIKA mendengar kata Sultan Muda, mata langsung silau, karena kata itu identik dengan anak muda tajir, saldo rekening tebal, hidup tanpa mikir cicilan. Belanja tak perlu dompet, cukup sebut mau beli apa? asisten pribadi mendampingi, lalu klik digital. Hidup lurus, cuan deras, stres pamit.

Oleh karena itu, wajar jika Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memilih istilah itu sebagai nama program. Harapannya besar, agar generasi muda jadi penggerak ekonomi, wirausaha tumbuh, dan kesejahteraan rakyat ikut terangkat. Nama sudah sultan, masa nasib rakyat masih sering nunggu tanggal gajian?

Sebab itulah, masalahnya, di lapangan urusan perut sering jauh lebih ribet daripada urusan nama program. Spanduk bisa megah, jargon bisa gagah, tapi dompet rakyat kadang tetap puasa lebih dulu.

Dalam kegiatan “Sumsel Financial and Economic Collaboration 2025” Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan H. Edward Candra menegaskan kolaborasi lintas lembaga sebagai kunci utama pembangunan.

Pemerintah daerah, katanya, terus bersinergi dengan BPS, OJK, Bank Indonesia, dan seluruh pemangku kepentingan. Hasilnya pun disebut positif, sebab inflasi bisa terjaga, pertumbuhan ekonomi terbaik di Sumatera, dan tingkat kemiskinan menurun.

Secara angka pernyataan itu memang sulit dibantah, bahkan bikin salut. Piala dan penghargaan pun tidak datang sendiri. TPID Award, TP2D terbaik, hingga keberhasilan Gerakan Sumsel Mandiri Pangan menjadi bukti kerja bersama yang layak diapresiasi.

Tapi, apakah prestasi ini sudah benar-benar terasa sampai ke lapak kecil, kebun pinggir desa, dan usaha rintisan yang omzet-nya masih hitung-hitungan, bukan hitung grafik?

Edward Candra juga menyebut peran Sultan Muda terus tumbuh berkat digitalisasi, di atas kertas, digitalisasi memang seperti jurus pamungkas.

Namun di lapangan, sinyal sering ngilang, ongkir bikin kening berkerut, dan pasar tidak otomatis datang hanya karena akun media sosial sudah dibuat, bahkan  dunia usaha bukan lomba unggah poster, tapi lomba bertahan hidup sambil ngitung napas.

Kepala OJK Provinsi Sumatera Selatan, Arifin Susanto, menambahkan keberhasilan Sumsel bukan semata karena menjadi juara TPAKD 2025, melainkan manifestasi kepemimpinan daerah.

Program Sultan Muda disebutnya sebagai pilar ekonomi baru yang mampu menciptakan lapangan kerja. Optimisme ini patut dicatat. akan tetapi seperti tiang rumah, pilar ekonomi diuji bukan saat dipuji, melainkan saat badai datang dan genteng mulai goyang.

Keuangan inklusif yang digaungkan pun terdengar canggih, sebab akses pembiayaannya dipermudah, proses dipercepat, sistem dibuat digital.

Sayangnya, usaha kecil tidak selalu tumbang karena kurang modal, banyak yang jatuh karena salah hitung, salah pasar, dan tidak ada yang menggandeng saat usaha mulai oleng. Modal datang, cicilan jalan, usaha masih meraba-raba arah.

Peluncuran Sultan Muda Impact Preneur 2025 menunjukkan keseriusan pemerintah untuk naik level, tetapi keseriusan kebijakan itu harus dibarengi kesabaran.

Apalagi wirausaha muda tidak lahir dari satu-dua pelatihan atau sekali penyaluran kredit. Prosesnya panjang, kadang berliku, kadang ada yang tumbang alias ambruk dulu sebelum berhasil, sehingga sering bikin keringat jadi dingin.

Oleh karena itu, apakah kolaborasi ini sudah menjangkau mereka yang belum punya akses, atau masih nyaman berputar di lingkaran yang itu-itu saja?.

Bukan konsep di atas kertas

Jika Sultan Muda hanya ramai di aula ber-AC dan foto bersama, sementara di luar gedung banyak usaha masih jalan sendiri sambil megap-megap, berarti ada pekerjaan rumah yang belum selesai.

Pada akhirnya, rakyat tidak menuntut semua anak muda jadi sultan, mereka cukup berharap usaha bisa hidup, penghasilan stabil, dan masa depan tidak sekadar janji. Bak pepatah lama bilang, “Pohon yang kuat tidak tumbuh dari angin sepoi-sepoi, tetapi dari badai yang ditempuhnya”. Sultan Muda akan kuat, jika berani diuji, diperbaiki, dan dijalankan hingga ke akar.

Oleh karena itu, di balik angka-angka indah dan penghargaan, selalu ada realitas yang perlu terus diselami. Jika kolaborasi keuangan inklusif mampu menjawabnya, maka Sultan Muda tidak hanya terdengar gagah, tetapi benar-benar mengubah nasib rakyat Sumatera Selatan.

Dari pengalaman sejumlah negara menunjukkan kolaborasi keuangan inklusif dan penguatan wirausaha muda bukan sekadar konsep di atas kertas. Contohnya Korea Selatan membangun wirausaha muda lewat pendampingan jangka panjang dan akses pasar global, bukan berhenti pada pembiayaan awal.

Begitu pula dengan Singapura menautkan pembiayaan dengan inkubator bisnis yang ketat, sehingga hanya usaha yang benar-benar siap yang dilepas ke pasar.

Sementara India membuktikan  inklusi keuangan baru efektif ketika literasi dan akses berjalan beriringan, agar usaha kecil tidak terjebak utang, dan Brasil menegaskan peran negara dalam membuka pasar bagi usaha muda melalui belanja pemerintah dan kemitraan lokal.

Belajar dari pengalaman itu, Sumatera Selatan sesungguhnya memiliki peluang yang sama besar. Modal kebijakan sudah ada, kolaborasi lintas lembaga telah dibangun.

Namun tantangannya tinggal satu yaitu memastikan seluruh ikhtiar tersebut benar-benar menembus lapisan terbawah ekonomi rakyat, bukan berhenti di ruang rapat dan forum resmi.

Pada titik inilah ukuran keberhasilan perlu dipindahkan, bukan lagi soal banyaknya acara, forum, atau seremoni, melainkan apakah denyut ekonomi benar-benar terasa di lapak kecil, kebun rakyat, dan usaha muda yang berjuang bertahan.

Ketika kebijakan berani turun ke tanah, mendengar suara yang paling pelan, dan menjawab kebutuhan paling nyata, di situlah kolaborasi menemukan maknanya bukan sebagai slogan pembangunan, tetapi sebagai jalan nyata menuju kesejahteraan yang lebih adil bagi masyarakat Sumatera Selatan, dan usaha muda yang mampu bertahan dan rakyatnya bisa tersenyum tanpa pura-pura.***

Terpopuler

To Top