ANTRI di loket pelayanan publik itu sudah seperti ritual harian, ada yang lesu, ada yang menguap, dan kadang ada yang nyengir tapi salah hitung formulir, sekarang bayangkan ada “petugas baru” AI. Tersenyum manis, cekatan, tapi kalau algoritmanya salah langkah… wah, bisa bikin data pribadimu bocor, itulah dunia AI di pemerintahan, canggih dan efisien, tapi tetap perlu diawasi.
Kementerian Komunikasi dan Digital ingin ASN lebih produktif dan inovatif dengan AI. Tapi seperti pepatah Jawa bilang “Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo kaget yen AI nyolong data sampeyan”. Kagum boleh, tapi jangan sampai lupa waspada.
AI di sektor publik memang menjanjikan, penyaluran bansos lebih tepat sasaran, perizinan lebih cepat tanpa drama. Tapi ingat, AI itu pedang bermata dua mempermudah birokrasi, tapi bisa juga melukai warga kalau salah langkah.
Misalnya isi formulir online untuk bantuan sosial itu mudah, tapi data pribadi langsung masuk “otak digital” pemerintah. Kalau algoritmanya nggak diawasi, data bisa bocor, seperti air hujan yang tiba-tiba membanjiri rumah tetangga.
Dampak positif, proses bantuan sosial jadi cepat dan tepat sasaran dan negatifnya tentu saja data warga bisa disalahgunakan kalau keamanan lemah, harus ada solusi dari pemerintah, seperti terapkan standar keamanan siber yang ketat, audit algoritma secara berkala serta transparansi penggunaan data kepada publik.
Sebab, AI itu, memang tidak selalu adil, kalau dataset-nya miring, warga pelosok atau minoritas bisa kalah “main” lawan warga kota besar. Bayangkan robot yang suka pilih kasih, kelihatan canggih, tapi bisa bikin warga tersinggung.
Ada dampak positif dan negatif juga, keputusan AI bisa lebih objektif dibanding manusia, misal jadwal pelayanan lebih rapi dan negatifnya kalau datanya bias, warga tertentu bisa dirugikan.
Solusi pemerintah gunakan dataset representatif dan inklusif, uji bias algoritma sebelum diterapkan dan libatkan pakar sosial dan etika dalam pengembangan AI.
AI butuh infrastruktur dan literasi digital memadai, di kota besar lancar, tapi di pelosok bisa “ngadat”. Memberi AI ke daerah yang belum siap itu seperti kasih skateboard listrik ke anak-anak di desa tanpa aspal berisiko jatuh. Dampak positif, ASN melek digital bisa melayani warga lebih cepat dan dampak negatif daerah tertinggal sulit mengakses layanan.
Solusi pemerintah perluas jaringan internet hingga pelosok, tingkatkan literasi digital ASN dan warga dan sediakan platform layanan hybrid online plus offline.
AI harus transparan supaya robot tersenyum manis itu tidak berubah jadi monster data. Warga perlu ikut mengawasi dan memberi masukan. Kalau cuma diam, risiko penyalahgunaan meningkat. Dampak positif warga bisa ikut mengawasi kebijakan AI. Dampak negatif tanpa partisipasi publik, risiko penyalahgunaan lebih tinggi.
Solusi pemerintah buat mekanisme pengaduan warga, publikasikan laporan penggunaan AI secara rutin. Libatkan masyarakat dalam pelatihan literasi digital.
AI bisa jadi sahabat atau musuh, tergantung pengawasan dan etika. Humor boleh, dagelan boleh, tapi jangan sampai warga dirugikan, kerena teknologi canggih tanpa kontrol ibarat makan sambal tanpa air, pedasnya nggak ketulungan dan bisa bikin perut mules.
AI menjanjikan efisiensi, produktivitas, dan inovasi, tapi ingat tanpa regulasi jelas, algoritma adil, literasi digital merata, dan partisipasi publik, AI bisa jadi bumerang.
Dengan solusi tepat seperti audit algoritma, pengawasan data, pelatihan ASN dan warga, serta infrastruktur merata, maka AI bisa jadi superhero pemerintahan, bukan lawan.
Pepatah Jawa “Sapa nandur bakal ngunduh”, kalau pemerintah menanam benih etika dan literasi digital sekarang, warga akan memetik manfaat jangka panjang, kalau tidak, siap-siap panen masalah digital.[***]