PERNAH nggak sih kalian lihat Bulan berubah warna kayak tomat matang? Nah, itulah yang terjadi pada malam 7–8 September 2025. Gerhana Bulan Total (GBT), yang sering disebut Blood Moon, menyapa langit Indonesia. Tapi jangan salah, ini bukan sekadar tontonan cantik, ini drama kosmik lengkap dengan ilmu, humor ringan, dan sedikit misteri.
Prof. Thomas Djamaluddin, Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Astronomi dan Astrofisika dikutip laman resmi BRIN menjelaskan “Fenomena Bulan Merah Darah terjadi karena cahaya Matahari dibelokkan oleh atmosfer Bumi. Warna biru disaring, sehingga yang sampai ke Bulan hanya merah. Ini kesempatan langka bagi masyarakat untuk menyaksikan gerhana total dengan mata telanjang, sambil belajar mekanika orbit Bulan dan Bumi. Fenomena ini juga membuktikan bahwa Bumi itu bulat, bukan datar”
Bayangkan Bumi, Bulan, dan Matahari lagi main petak umpet, bumi di tengah, bulan di belakang, dan matahari jadi spotlight alami. Hasilnya?, bulan nggak gelap gulita, tapi merah menyala, kayak panggung konser rock di langit!
GBT ini punya beberapa fase penumbral, bayangan lembut, Bulan terlihat seperti pakai bedak tipis, terus gerhana sebagian, mulai dramatis, sebagian Bulan tersapu bayangan, kemudian gerhana total, puncak drama, bulan merah merona, indah sekaligus menakjubkan, lalu fase terakhir kembali ke sebagian & penumbral, perlahan kembali normal, tapi meninggalkan kesan mendalam.
Hebatnya, fenomena ini bisa dilihat tanpa teleskop, jadi nggak perlu minder kalau cuma bermodalkan mata telanjang. Pepatah lama cocok nih “Yang penting mata terbuka, bukan dompet terbuka”
Tapi jangan cuma kagum sama warnanya, ada pesan moral dan edukasi di balik merahnya Bulan, orbit bulan itu rapi, bukan muter-muter sembarangan, bumi bulat, terlihat dari kelengkungan bayangan di Bulan dan astronomi itu seru, bisa sambil tersenyum tapi tetap belajar fisika dan matematika.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa alam itu tegas tapi jenaka, tegas karena hukum orbit tidak pernah bohong, jenaka karena cara alam bikin warna-warni sambil memukau kita, pepatah pas banget “Setiap gelap pasti ada merahnya”.
Dari sisi sosial, GBT bisa jadi momen ngobrol keluarga dan teman, edukatif, dan sekaligus bikin viral di medsos. Anak-anak bisa belajar astronomi, orang tua bisa pamer ilmu, dan semua bisa merasakan kalau sains itu menyenangkan.
GBT 2025 bukan sekadar pemandangan cantik, tapi pelajaran visual tentang alam semesta, ia mengingatkan kita bahwa di balik dramatisnya dunia, selalu ada aturan, harmoni, dan humor alami. Jadi lain kali lihat Bulan merah, jangan cuma bilang “Wah keren!”, tapi pikirkan juga berapa banyak hukum fisika yang bekerja diam-diam untuk bikin panggung kosmik ini?
Prof. Thomas Djamaluddin menambahkan “Momen seperti GBT 2025 bukan sekadar tontonan. Ini ajang belajar astronomi secara langsung. Manfaatkan kesempatan ini untuk mengenal orbit Bulan, konfigurasi Bumi-Matahari-Bulan, sekaligus menikmati keindahan alam yang penuh ilmu”.[***]