JIKA ada pertanyaan “apa yang bisa dilakukan dari pohon mangrove?” kebanyakan orang bakal jawab “Ya… ditanam biar pesisir nggak abrasi, lah.” Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru menutup buku tentang mangrove, karena ternyata, pohon berakar unik ini bukan cuma jago menahan gelombang, tapi juga bisa jadi sumber inspirasi kreatif yang bikin kantong warga sedikit lebih tebal dan kepala sedikit lebih ceria. Iya, serius, nggak bercanda.
Di beberapa desa pesisir Indonesia, rehabilitasi mangrove lewat program M4CR (Mangroves for Coastal Resilience) membuka lembaran baru dari daun ke desain, dari akar ke sirup, dari hutan bakau ke batik. Pepatah lama “di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” kini bisa diterjemahkan menjadi “di mana ada mangrove, di situ ada sirup dan batik keren.”
Mari kita mulai dari sirup mangrove, jangan bayangkan rasanya aneh atau pahit seperti rumput laut kering, karena sirup ini manis, wangi, dan punya cerita. Ibu-ibu desa yang biasanya cuma duduk menunggu hasil tangkapan nelayan, kini bisa duduk sambil mengaduk sirup mangrove sambil berceloteh, “Kalau mangrove bisa hidup di lumpur, kita juga bisa hidup di kota yang keras!” Humor mereka jadi bumbu alami yang bikin sirup lebih nikmat, katanya. Sirup ini bukan sekadar minuman, tapi simbol harapan bahwa alam yang kita rawat bisa memberi rezeki kreatif, bukan cuma hijau di mata.
Lanjut ke batik mangrove, Nah, di sinilah seni bertemu akar, desainer lokal mengambil motif daun dan akar mangrove, lalu mengubahnya menjadi batik yang elegan tapi tetap ‘nyeni’. Bisa dibayangkan, orang yang tadinya cuma tahu mangrove sebagai pohon penyelamat pantai, kini memakainya di baju sambil bergaya di pasar.
“Pakai batik mangrove, biar hati juga ikut hijau,” kata salah satu perajin sambil tertawa. Lucu, tapi serius: ini menunjukkan bahwa konservasi alam bisa berpadu dengan ekonomi kreatif, tanpa harus mengorbankan estetika.
Tak ketinggalan, eco-tour mangrove yang kini banyak dikembangkan. Bayangkan perahu kecil berlayar di kanal-kanal bakau, turis menatap akar yang menari-nari di atas air, sambil pemandu menceritakan manfaat ekologis mangrove. Sambil guyon, pemandu berkata, “Kalau mangrove bisa melindungi pantai dari badai, minimal bisa melindungi dompet kalian dari kebocoran!” Humor sederhana ini membuat turis tersenyum, tapi pesan edukatif tetap nyantol, menjaga mangrove berarti menjaga kehidupan manusia di pesisir.
Selain ketiga produk itu, ada pewarna alami dari kulit dan daun mangrove yang kini dimanfaatkan untuk kerajinan lokal, bayangkan kain yang tadinya polos, kini bisa dicelup dengan warna alami yang ramah lingkungan.
Bukan cuma cantik, tapi juga cerita alam memberikan warna tanpa harus pakai bahan kimia, pepatah lama “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” cocok disematkan di sini, dengan satu pohon mangrove, masyarakat bisa mendapatkan manfaat ekologis, ekonomi, dan kreatif sekaligus.
Tentu saja, semua ini bukan sekadar soal produk dan keuntungan materi. Ada pesan moral yang bisa dipetik bahwa alam adalah guru kreatif. Jika kita mau belajar dari cara mangrove bertahan, beradaptasi, dan memberi manfaat lebih dari sekadar eksistensinya, kita juga bisa menemukan cara hidup yang lebih kreatif dan harmonis.
Kreativitas ini muncul bukan karena kita memaksakan, tapi karena kita peduli, memperhatikan, dan bekerja sama. Gotong royong ala M4CR tidak hanya menanam pohon, tapi menanam harapan dan ide baru.
Kalau ingin sedikit filosofi kocak, mangrove ibarat startup alami awalnya cuma akarnya di lumpur, dianggap kecil dan tidak berdaya. Tapi ketika dirawat, dibimbing, dan dikembangkan voila! Ia menghasilkan sirup, batik, eco-tour, pewarna alami, dan tentunya inspirasi tanpa batas.
Orang desa yang tadinya hanya tahu menanam, kini tahu membuat produk, memasarkan, bahkan menceritakan kisahnya kepada dunia. Mangrove mengajari kita satu hal penting jangan pernah meremehkan sesuatu yang terlihat sederhana, karena kadang dari hal sederhana lah lahir inovasi besar.
Rehabilitasi mangrove bukan hanya soal menanam pohon untuk menyelamatkan pesisir dari abrasi atau banjir, tapi juga tentang membuka jalan kreativitas masyarakat pesisir. Dari akar ke sirup, dari daun ke batik, dari lumpur ke turis yang tersenyum mangrove membuktikan alam dan manusia bisa saling memberi, sambil tetap bercanda sedikit.
Jadi, jika suatu hari Anda melewati hutan bakau dan melihat sirup, batik, atau turis tersenyum, ingatlah di balik itu semua, ada satu pepatah yang nyata berlaku, “jagalah alam, maka alam akan menjaga hidupmu, dan mungkin juga kantongmu”.[****]