DI KUPANG, sekelompok orang serius berkumpul, bukan untuk demo minyak goreng atau seminar motivasi ala MLM. Mereka sedang belajar… cara menghadapi buaya!, bukan buaya darat ya, tapi yang beneran hidup di air, punya gigi tajam, dan bisa bikin kocar-kacir satu kampung kalau tiba-tiba nongol di sungai sebelah rumah.
Yes, inilah kisah tentang “Bimbingan Teknis Respon Cepat Penanganan dan Pelepasliaran Buaya dan Biota Perairan Terdampar” yang diselenggarakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kupang, Nusa Tenggara Timur, tanggal 22 sampai 25 Juli 2025 kemarin.
Kegiatan yang judulnya panjang itu jangan disingkat asal-asalan. Salah-salah, bisa jadi “BIMTEK BUAYA”, nanti dikira pelatihan jadi mantan brengsek.
Menurut Dirjen Pengelolaan Kelautan, Pak A. Koswara, pelestarian biota perairan itu bukan cuma urusan menjaga alam, tapi juga urusan masa depan dan dompet masyarakat. “Kalau satwa laut punah, laut jadi kosong, dan nelayan cuma bisa narik botol plastik dari jaring,” ujarnya dengan semangat.
Oleh karena itu, selain buaya, kegiatan ini juga bahas lumba-lumba nyasar, dugong bingung arah, dan penyu salah landing. Intinya, kalau ada makhluk laut yang tersesat, manusia harus bisa menolong, bukan selfie dulu lima menit sambil nunggu viral di TikTok.
Nah, karena Indonesia punya lima spesies buaya yang semuanya dilindungi, kita harus belajar hidup berdampingan. Tapi jangan salah kaprah, bukan berarti kita ajak buaya nongkrong di warung kopi sambil ngopi dan main gaplek.
Di Kupang, para pengelola kawasan konservasi dilatih langsung cara menangani buaya yang tersesat. Ada simulasi, praktek langsung, hingga cara membawa buaya ke tempat yang aman tanpa bikin petugas kehilangan sepatu atau jari kaki.
Direktur Konservasi Spesies dan Genetik, Pak Sarmintohadi, bilang, “Kami ingin semua personel bertindak cepat dan tepat, dengan tetap menjaga keselamatan manusia dan animal welfare”.
Jadi, kalau ada buaya nongol di sungai desa, jangan panik, jangan juga langsung live Instagram. Petugas sudah dibekali ilmu dan alat buat menyelamatkan si buaya dan warga sekitar. Tapi tetap ya, jangan coba-coba pegang buntutnya sambil teriak, “Lucuuuuu!”
Yang menarik, kegiatan ini juga jadi ajang sosialisasi Keputusan Dirjen PKRL Nomor 41 Tahun 2024 yang mengatur petunjuk teknis penanganan biota terdampar dan konflik manusia-satwa.
Bukan cuma teori, tapi juga latihan langsung. Jadi, ini bukan bimtek kaleng-kaleng yang isinya cuma powerpoint dan kopi kotak. Ini adalah latihan yang bisa menyelamatkan nyawa – baik manusia maupun buaya.
Bahkan ada draft pedoman penanganan konflik dengan buaya yang tengah disusun. Mudah-mudahan nanti isinya bukan cuma saran klise seperti “hindari buaya jika tidak kenal dekat”. Tapi betul-betul teknis, misalnya cara mengidentifikasi buaya yang agresif, cara melepaskan pelampung dari sirip lumba-lumba, dan bagaimana menyapa penyu yang tersesat dengan sopan.
Indonesia ini bukan negara biasa. Kita adalah salah satu jalur migrasi utama mamalia laut, dan punya ribuan spesies unik yang jadi aset ekologi dan juga ekonomi. Kalau semua ini rusak karena ulah manusia, jangan heran kalau nanti laut kita cuma berisi sandal jepit bekas, popok bayi, dan bekas jaring hantu.
KKP lewat kegiatan ini sedang menjalankan amanat dari Indonesia Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP). Target keempatnya jelas melestarikan keanekaragaman spesies dan genetik. Ini bukan cuma urusan akademis, tapi urusan nasi di piring nelayan dan masa depan anak cucu kita yang kelak mungkin cuma bisa lihat lumba-lumba di NFT.
Pelatihan semacam ini patut diapresiasi, tapi tentu saja, pelestarian alam tidak bisa dibebankan sepenuhnya ke KKP atau petugas lapangan. Kalau masyarakat tetap buang sampah ke laut, memburu penyu buat sate, dan selfie di atas dugong yang terdampar, semua pelatihan ini akan sia-sia.
Kita semua harus sadar bahwa laut bukan supermarket gratis, dan buaya bukan musuh manusia. Mereka cuma salah alamat. Mungkin mereka cuma ingin bertanya, “Ini jalan ke rawa mana ya, Kak?”
Bimtek penyelamatan satwa di Kupang ini bukan cuma soal buaya dan dugong, tapi soal masa depan kita sebagai bangsa maritim.
Jangan sampai Indonesia, negeri ribuan pulau, cuma jadi penonton sedih saat biota laut satu per satu menghilang. Jadilah manusia yang sigap, bukan cuma sigap nyinyir di media sosial. Dan ingat, kalau ketemu buaya, tetap tenang, jangan panik, dan jangan langsung bilang, “Eh mirip mantanku!”.[***]