DULU, Cinta cuma nanya, “Rangga, kamu ke mana aja?”. Hari ini, kita semua nanya “Film Indonesia, kamu kapan ke luar negeri?”.
Yap, akhirnya harapan itu ada!, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, duduk bareng Miles Film rumah produksi legendaris yang bikin kita semua percaya cinta bisa ditemukan di perpustakaan dan di SMA, dengan tujuan bukan cuma bikin Rangga & Cinta balikan lagi di layar, tapi supaya kisah mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri bukan cuma lewat visa turis, tapi lewat jalur resmi distribusi global.
Ibarat pepatah, “Tak kenal maka tak sayang, tak tayang maka tak cuan”. Film Indonesia itu kaya, cerita kita berlapis-lapis kayak kue lapis legit, tokohnya warna-warni kayak baju Batik di hari Jumat, dan nuansanya nggak kalah dramatis dari sinetron India. Namun kalau nggak disalurin lewat jalur distribusi yang tepat, ya sama aja kayak nulis puisi cinta, tapi disimpan di draft Notes HP.
Wamen Ekraf Irene Umar tak hanya ngasih dukungan lewat tepuk tangan. Ia siap menjadikan Rangga & Cinta sebagai pionir distribusi kreatif, bukan cuma tayang di bioskop, tapi juga “dipajang” di ruang-ruang publik nasional macam Bandara Soekarno-Hatta, TMII, hingga kabin Garuda Indonesia, cinta mungkin bisa hilang, tapi exposure film harus terus berkelana.
Bukan promosi biasa, kawan. Ini aktivasi kolaborasi!, bayangkan kalau nonton cuplikan Rangga & Cinta sambil nunggu boarding. Atau, nemu merchandise eksklusif Cinta di toko duty free.
Kalau perlu, ada soundtrack AADC mengalun pelan di pesawat Garuda, bikin suasana galau nasional bertransformasi jadi kekuatan diplomasi budaya.
Kata Wamen Irene, “Kami ingin film Indonesia menjadi IP lokal yang mengglobal. Distribusinya harus kreatif dan kolaboratif”. Artinya, film bukan cuma tontonan, dia harus jadi brand, jadi pengalaman, dan kalau bisa… jadi oleh-oleh premium dari negeri sendiri.
Mira Lesmana dan Miles Film udah kayak Ibu Negara-nya perfilman nasional, dari Sherina yang melawan penculik, AADC yang melawan rindu, sampai Laskar Pelangi yang melawan takdir, mereka tahu persis film bukan cuma soal kamera dan naskah, tapi soal visi dan jaringan.
Mira bilang, “Film kita tuh kaya cerita hidup, kalau kita berani eksplorasi, distribusinya bisa sampai festival luar negeri. Kita bisa buka pasar dunia”, dan tentu, lewat film Rangga & Cinta, mereka nggak main-main, bukan sekadar sekuel.
Nostalgia yang dibungkus jadi IP penuh potensi, seperti merchandise, puisi, lagu, buku, fesyen, bahkan kosmetik! Kalau Rangga bisa menatap nanar, kenapa nggak sekalian dijadiin brand eye shadow warna Melankolis Misty Grey?
Kita udah lama ngerasa kalau film Indonesia cuma jago kandang, karena jalur distribusinya sering buntu, kayak sinyal di gunung. Padahal kalau diolah serius, film bisa jadi komoditas kreatif yang bisa bersaing kayak durian Musang King dari Malaysia yang bisa laris di Eropa cuma gara-gara branding doang!
Distribusi film harus kreatif, bukan cuma numpang festival, Korea bisa bikin seluruh dunia nyanyi “Arirang” dan dandan ala Glass Skin, kenapa kita nggak bisa bikin orang luar nyanyiin “Ku Bahagia” sambil pakai tote bag Cinta dan Rangga?.
Rangga dan Cinta memang fiktif, tapi dampaknya nyata, kalau pemerintah serius bantu kolaborasi lintas sektor entah itu lewat InJourney, bandara, maskapai, atau taman hiburan, film kita bisa naik level, dari sekadar tontonan jadi kekuatan ekonomi, bukan sekadar nostalgia jadi produk ekspor budaya.
Siapa tahu, beberapa tahun lagi, ada warga Paris yang bilang, “Oh, Rangga & Cinta? C’est magnifique!”,
karena ternyata… film Indonesia juga bisa jadi tamu agung di panggung global, asal dikawal dengan kolaborasi, didistribusikan dengan strategi, dan dibungkus dengan kreativitas tanpa batas.
Ibarat kata pepatah Sunda “Lamun hayang jadi intan, kudu tahan ka seuneu”, kalau mau jadi berlian, film kita harus tahan tempaan, tahan kritik, dan tahan kerja keras buat nyala di layar dunia.
Kalau Rangga bisa kembali untuk Cinta…
maka film Indonesia juga bisa kembali untuk kejayaan bukan hanya di bioskop lokal, tapi sampai ke Cannes dan Toronto!.[***]