Uncategorized

Presiden Pilih “Kenormalan Baru” Pejabat Suka  “New Normal”

Foto : istimewa

TAK ada beda antara makna “kenormalan baru” dan “new normal”. Keduanya sama-sama menggambarkan makna keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya” (makna menurut Badan Bahasa Kemendikbud yang dikutip dari laman Instagramnya).

Meski tak ada beda antara keduanya, dalam penggunaannya idealnya ada pengutamaan. Karena new baru merupakan kosa kata asing, sementara “kenormalan baru” merupakan kosa kata bahasa Indonesia, tentu lebih diutamakan menggunakan padanan dalam bahasa Indonesia.

Badan Bahasa Kemendikbud menegaskan: kenormalan baru merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris, new normal.

Berkaitan dengan “kenormalan baru” ini, tentu bisa dimaklumi menjadi pembahasan. Karena kosa kata ini berbeda dengan kosa kata asing lainnya yang  masuk dan di-Indonesia-kan sebelumnya.”Kenormalan baru” sepertinya mendapat apresiasi jauh lebih baik.

Presiden Jokowi dalam pidatonya di MetroTV sore kemarin (Rabu, 27/5/2020) dengan lancar menyebut kenormalan baru untuk pengganti new normal. Pidato ini sebenarnya, juga disiarkan televisi lainnya.

Sama seperti ketika bahasa Indonesia menyerap social discanting menjadi pembatasan sosial. Pemerintah kemudian memutuskan menyebut istilah Pembatasasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tinimbang Social Discanting Berskala Besar (SDBB).

Pada kata PSBB, kita sepertinya bisa sepakat dan seragam menggunakan kosa kata ‘pembatasan sosial’. Tetapi, ketika kata itu lepas dari frasa Pembatasan Sosial Berskala Besar, maka para pejabat, akademisi, media massa, masyarakat umum sepertinya tak bisa seragam. Bertaburan kata pembatasan sosial dan social discating keluar dari bibir pejabat, akademisi, dan masyarakat umum. Lalu kita dapati termuat di media massa, baik cetak, elektronik, maupun daring; termasuk juga media sosial.

Presioden Jokowi yang telah memberi contoh memilih “kenormalan baru”, ternyata tak diikuti para pejabat lainnya. Ketika termuat di media massa pun, “kenormalan baru” seakan menghilang. Frekuensi penggunaan new normal jauh lebih banyak.

Penulis dapati dari kutipan media, juru bicara presiden pun, ketika menjelaskan persoalan kenormalan baru, lebih memilih new normal.

Dikutip dari Tirto.Id (27 Mei 2020). Alasan Jokowi akan Terapkan New Normal di 4 Provinsi & 25 Kab/Kota (Judul) Tirto,id- Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman memaparkan alasan Presiden Jokowi akan menerapkan protokol kesehatan lebih disiplin sebagai persiapan penerapan new normal (kelaziman baru) di 4 provinsi dan 25 kabupaten//kota di Indonesia.

Dalam berita di atas, pejabatnya yang menyebut new normal. Sementara, medianya ketika memberitakan, memberlakukan kata tersebut sebagai bentuk asing dengan menulisnya miring dan ditambah bentuk padanannya.

Begitupun Gubernur Sumsel H Herman Deru, Walikota Palembang H Harno Joyo dan Wakil Walikota Palembang,  Fitrianti Agustinda,  serta Kepala Dinas Pendidikan Palembang, Julinto, sepertinya seragam lebih merasa nyaman menyebut new normal. Dan ini pun, sepertinya berlaku di beberapa daerah lain maupun di tingkat pusat.

Sebagai pemimpin yang merupakan acuan dan pusat perhatian masyarakat umum, sebenarnya diharapkan mereka bisa memberi contoh bahwa mengutamakan bahasa Indonesia itu adalah melaksanakan amanah Undang-Undang. UUD 1945 menyebut bahasa Indonesia adalah bahasa negara, punya fungsi yang jelas. Lalu, ada UU no 24 Thun 24 tahun 2009 dan Perpres no 63 tahun 2019, yang mengatur soal penggunaan bahasa Idonesia ini.

Menjadi pertanyaan, sikap para pejabat dimaksud. Padahal, Presiden sendiri sebagai kepala negara telah memberi contoh. Bisa dibayangkan, kalau Presiden tidak memberi contoh, mungkin lebih banyak lagi. Dan kalau ini diturunkan kepada perilaku masyarakat umum, tentu akan semakin menyedihkan. Karena, masyarakat umum, ketika melihat para pejabat lebih suka menyebut new normal, mereka pun mungkin dengan suka-cita menyukai itu. Memilih menggunakan new normal, dibanding “kenormalan baru”.

MediaMassa

Lalu dari pengamatan di beberapa media, ternyata penggunaan new normal pun lebih mendominiasi.  Seperti temuan berikut ini:

(1) Ini 25 Daerah yang Mulai Bersiap Terapkan New Normal. (Kompas.com, Selasa 26 Mei 2020)

(2) Presiden Jokowi Tinjau Kesapan New Normal di Stasiun MRT.  JawaPos.com- Presiden Joko Widodo  (Jokowi) meninjau stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada Selasa (26/5) pagi. Kunjungan kepala negara itu terkait kesiapan penerapan proedur standar new normal. (26 Mei 2020)

(3) Gubernur Sumsel Optimistia Ekonomi Palembang dan Prabumulih Pulih Saat New Normal. (Merdeka.com, 27 Mei 2020)

(4) Hanya Beberapa Daerah Ini Siap Laksanakan New Normal di Indonesia, Ini Syarat Harus Dipenuhi (TribunSumsel.com, Rabu 27, Mei 2020)

(5) Walikota Harnojoyo: Warga Palembang Sudah Siap untuk New Normal. (Suara Nusantara, 27 Mei 2020)

(6) Palembang Masuk Kota Bakal Diterapkan New Normal, Berikut Penjelasan Wakil Walikota Palembang. (Sripoku.com, 27 Mei 2020)

(7) Palembang Menuju New Normal, Disdik: Belajar di Rumah Diperpanjang. (IDNTImes, 27 Mei 2020)

(8) Tingkat Kepatuhan Warga Terhadap Protokol Kesehatan Meningkat, Palembang Siap Masuk New Normal. (Sumselterkini.co.id, 28 Mei 2020).

Di luar contoh di atas, masih ditemukan media yang memberlakukan kosa kata itu dengan benar. Seperti dikutip dari Harian Kompas (edisi cetak, 26 Mei 2020) “Jakarta, Kompas – Menjelang diberlakukannya new normal atau tatanan kehidupan baru di tengah pandemi Covid-19, dan berakhirnya penerapan pematasan sosial berskala besar di wilayah-wilayh yang dinilai mulai menurun pasien yang teridap virus baru korona…..”

Atau  seperti dikutip dari Media Indonesia: Bedah Editorial MI: Pendisiplinan New Normal.

Kenormalan baru atau new normal sama sekali belum menjadi kemenangan melawan Covid-19. Seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, new normal ialah  upaya produktif, tetapi tetap aman dari Covid-19. (Media Indonesia, 27 Mei 2020)

Dan Kantor Berita Antara pun memberikan tanda petik pada kata New Normal, seperti dikutip berikut ini: Gubernur Sumsel nilai warga tak sabar terapkan “new normal”, (Rabu, 27 Mei 2020).

Begitu pun Harian Republika, menuliskan miring kata new normal, sebagai pertanda merupakan kata asing. Pakar: Penetapan New Normal Munculkan Persoalan. (Repubika.co.id, Kamis, 28 Mei 2020). Lalu di dalam berita kata “new normal” diikuti padanannya. Seperti berikut:  Republika.co.id, Jakarta- Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, keputusan pemerintah menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan bagian dari normalitas baru (new normal) yang tengah dipersiapkan untuk diterapkan.

Lalu seperti didapati dari berita di Tempo berikut ini. Dijudul memang menggunakan new normal, “Bersiap New Normal, Petugas Kamar Hotel  Diberi Pelatihan Khusus”.

Tetapi, dalam isi berita, dijelaskan padanannya dan kosa kata bahasa Indoensia disebut terlebih dahulu. Seperti dikutip berikut ini: Kementeran Pariwisata Ekonomi Kreatif menyiapkan para pegawai kamar hotel alias room attendant untuk menghadapi kondisi normal baru (new normal) pasca-pandemi virus corona.” (Tempo, Rabu, 27 Mei 2020).

Ini sekadar contoh bagaimana media massa yang ada, dengan kemampuan daya sebarnya yang dahsyat telah menyosialisasikan kata “new normal” yang merupakan kosa asing, dibandingkan kenormalan baru. Ada yang semata-mata menggunakan “new normal”, ada pula yang dengan perlakuan khusus sebagai bahasa asing (seperti disarankan untuk kata asing) dengan diberi tanda petik atau miring dan diikuti padanannya saat pertama kali digunakan.

Saya tidak menyebut ini salah atau keliru. Karena saya yakin, wartawan dan pengelola media sudah lebih tahu soal keberadaan new normal dan kenormalan baru. Bagi mereka, kedua kata itu sudah tersaji dan terekam dalam benak dan memori komputernya. Tinggal, selera mana yang lebih menonjol. Ingin mengutamakan bahasa Indonesia, atau mengutamakan bahasa asing.

Negatif

Situasi ini memang perlu mendapat perhatian kita semua.Karena ini menyangkut sikap berbahasa. Sikap positif atau sikap negatif. Tak peduli dan tak memperhatikan benar salahnya bahasa, dikategorikan sikap negatif. Dan peduli serta selalu menjaga bahasa sesuai asas dan kaidahnya, disebut sikap positif. Sikap positif, sangat diperlukan karena ini berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia, bagi kita memiliki kedudukan sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Dalam kedudukannya itu, memiliki fungsi masing-masing. Sebagai bahasa nasional, berfungsi sebagai kebanggaan nasional, identitas nasional, pemersatu, perhubungan antarbuda-antardaerah. Sementara sebagai bahasa negara, berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar resmi pendidikan, perhubungan nasional, dan bahasa resmi pengembangan kebudayaan dan iptek.

Melihat kedudukan dan fungsi tersebut, tentu menjadi persoalan penting untuk menjaga bahasa Indonesia. Terutama pada situasi dan kondisi yang mewajibkan kita untuk berbahasa Indonesia. Hal ini secara jelas diatur dalam UU No 24 tahun 2009 dan Perpres No 63 tahun 2019. Dalam aturan itu, disebutkan, kita wajib menggunakan bahasa Indonesia. Tanpa diiringi sanksi.  Karena itulah, kesadaran menjadi dasar penting agar kita bisa menjaga bahasa yang kita gunakan. Termasuk, kalau sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, maka bentuk asal kosa kata tersebut harus kita tinggalkan.

Pola Bahasa Indonsia

Merebaknya pandemi korona di negara kita berimplikasi terhadap masuknya kosa-kata asing. Dalam khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia, memang dimungkinkan diperkaya oleh bahasa asing. Kosa kata asing ini, ada yang diserap secara utuh dan tidak berubah. Tapi ada juga yang disesuaikan dengan mengikuti sistem ejaan bahasa Indonesia maupun pola yang berlaku dalam bahasa Indonesia.

Sejak awal, beberapa kata asing  tercatat  masuk dan telah di-Indonesia-kan. Seperti, social discanting, physical discanting, stay at home, work from home, rapid test, swap test, lockdown, self quarantine, panic buying, new normal, herd immunity, check point.

Dengan mengglobalnya pandemi Covid-19, umumnya istilah asing yang muncul terbagi dalam dua kategori, yaitu: istilah asing yang sudah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia dan istilah asing bentukan baru yang belum memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata atau istilah asing berintegrasi dengan bahasa Indonesia melalui cara penyerapan, penerjemahan, ataupun kombinasi keduanya.

Kata dan istilah hasil penyerapan tersebut diantaranya anus, urine, specimen (spesimen), pandemic (pandemi), local transmission (transmisi lokal), imported case (kasus impor), self quarantine (karantina mandiri), social discanting (pembatasan sosial), cluster (klaster), Waba (Arab) diserap menjadi wabah. Kata dan istilah hasil penerjemahan ialah lockdown (penutupan, penguncian, dan pembatasan), work from home (bekerja dari rumah), droplet (butiran ludah), suspect (suspek/terduga).

Kata dan istilah hasil kombinasi antara cara penerjemahan dan cara penyerapan ialah rapid test (uji cepat), flattening the curve (pelandaian kurva), herd immunity (imunitas kelompok), hand sanitizer (penyanitasi tangan), thermal scanner (alat pemindai suhu), under investigation (dalam proses investigasi), dan tracing (ditelusuri). Penyerapan dan penerjemahan semua istilah ini mengikuti kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan. Penyerapan mendukung sifat dinamis bahasa. Namun, sebagian besar hasil penyerapan ini belum terdapat dalam KBBI V (edisi revisi) sebagai salah satu referensi baku dalam berbahasa Indonesia.

Terkait penggunaan lema-lema bahasa asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, sebenarnya memang bergantung juga pada peran media massa. Dengan perannya sebagai acuan, maka padanan yang ditetapkan,  kalau sering digunakan di media massa akan menjadi dikenal dan akan dipilih oleh pengguna bahasa Indonesia secara luas.

Tidak sedikit memang, kosa kata asig yang sudah ada padannyan dalam bahsa Indoensia, ternyata bentuk asal tetap lebih dipilih dan dipergunakan. Padanan kata-kata tersebut merupakan kosa kata yang dapat dikatakan bernasib tragis karena hampir tidak pernah digunakan dalam komunikasi bahasa Indonesia. Tampaknya pengguna bahasa Indonesia cenderung lebih menyukai penggunaan bahasa yang diserap dari kata asing daripada bahasa yang berasal dari Indonesia.

Kita berharap, agar kosa kata asing yang sudah diserap dan ada padanannya dalam bahasa Indonesia memiliki nasib baik semua. Bentuk asalnya ditinggalkan, dan padanannya dalam bahasa Indonesia yang dipilih.

Untuk itu, memang perlu sosialisasi. Upaya sosialasi yang paling mudah tersebar dan memiliki kekuatan dahsyat adalah melalui media massa dan para pemimpin. Mereka adaalah acuan dan menjadi pedoman. Semakin sering kata-kata tersebut dipilih dan digunakan, maka frekuensi pemakaiannya menjadi tinggi. Masyarakat pun, akan terbiasa dan akhirnya bisa menerimanya secara alamiah.

Kita berharap, bahasa Indonesia tetap terjaga selama wabah pandemi ini terus merebak dan menyebar. Harapan terbaik, adalah pandemi bisa diakhiri dan bahasa Indonesia pun tetap menjadi tuan rumah dan membumi.

Semakin sulit kita menemukan herd imunnity, check point, new normal, swab test, rapid test, suspect, physical discanting, hand sanitizer, thermal scanner, under investigation, dan  local transmission, imported case, serta self quarantine, tentu ini pertanda baik. Sebaliknya, kalau kata-kata asing itu masih banyak ditemui di media massa dan keluar dari bibir para pemimpin, tentu ini situasi yang sangat tidak diharapkan.

Entahlah, apa yang mau dimaknai, kalau hari ini, kata new normal lebih banyak dipergunakan dibandingkan kenormalan baru. Mari kita sama-sama memaknainya dengan seragam. Sama seperti kietika kita  mau dan berkenan seragam sama-sama memilih padanannya kata dalam bahasa Indoensia, diabdning bentuk asalnya dari bahasa asing. Sepertinya mudah, tetapi cukup sulit untuk direalisasikan. Kecuali, kalau kita semua pengguna bahasa Indonesia merasa bangga dengan bahasa Indonesia.

 

Palembang, 28 Mei 2020

 

Penulis,

 

 

Muhamad Nasir

Dosen FKIP Universitas PGRI Palembang dan Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa UNJ

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com