Uncategorized

Menanti Lahirnya Seni Baru di Era Pandemi

Pandemi sudah kerap melanda dan membuat kehidupan manusia pun menjadi berubah secara drastis. Termasuk dalam berkesenian. Kalau kita toleh ke belakang,  dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II  bahkan sebelumnya, sudah ada pandemi seperti yang terjadi saat ini. Penyebabnya mungkin yang berbeda. Saat ini, Covid 19 yang ‘mengamuk’.

Satu hal yang menjadi catatan kita, setelah pandemi itu ternyata selalu muncul  kesenian dalam bentuk-bentuk lain.  Bahkan ada isu-isu sosial baru yang kemudian menjadi sebuah fenomena baru. Kalau sekarang, suatu kondisi kemudian menyeruak, kenormalan baru.

Dalam berkesenian pun, relevansinya menurut saya tidak lagi hanya melalui medium, tapi melihatnya secara garis besar. Bagaimana hasil dari  perubahan bentuk-bentuk baru yang ditawarkan dalam logika kreatif atau kesenian atau bahkan logika kebudayaan. Bahwa logika-logika tersebut akan diperlihatkan melalui sudut pandang lain. Misalnya ketika kita membicarakan film, apakah film panjang akan jadi relevan sekarang? Kalau situasi ini berkepanjangan, bukan tidak mungkin film-film pendek yang akan menjadi  lebih berterima.

Namun, ketika berbicara soal logika seni rupa, mungkin rasanya tidak lagi ada karya yang besar. Karena semua orang harus tinggal di rumah, mereka lebih memilih untuk membuat karya-karya kecil yang juga bisa diramu secara digital atau bahkan langsung dibuat secara digital. Kalau membicarakan relevansi, saya rasa harus ada tawaran-tawaran seperti itu.  Meskipun, ternyata di balik itu, mungkin saja justru di kondisi lahir karya maestro.

Kalau balik lagi ke logika sejarahnya, sebetulnya kesenian itu sudah pernah ditempa dengan hal-hal seperti pandemi dan bisa selamat. Karena mereka telah menemukan cara-cara lain. Kalau di Palembang, misalnya, Dulmuluk yang mentas di panggung, kemudian bermain di rumah dan kemudian disiarkan di media-media sosial, Penyair, tak lagi membaca puisi berpelantang di panggung. Cukup di rumah dan kemudian semuanya  menyebar  ke dunia tanpa batas di dunia daring.

Kupasan-kupasan dan analisis maupun kurator, tak mesti bersemuka. Cukup melalui sedaring (seminar daring). Da semuanya pun berlanjut pada bidang-bidang seni lain.

Liukan tari, tak lagi memerlukan panggung yang membahana dengan tepukan tangan. Penyanyi, tak lagi harus mejual suara di pangung-pangung yang diiringi joegtan pengunjung yang memkahar andrenalisw dengan musik-musik cadas, ataupun   lagu-lagu sendu sekali pun. Yang melankolis dan bisa membawa pendengarnya terhanyut emosi.

Begitu pun penyair dengan letupan dan lenguhan suara magisnya yang mengalirkan syair-syair  yang keras, tegas, penuh kritik, atau sekadar menyurakan hati nurani yang terpendam,  kini bisa membelah dunia melalui jaringan berkuota dan mengendarai gawai-gawai maupun telpon seluler.  Tanpa panggung, tanpa tepukan tangan, kini tergantikan tayangan dan klik ‘suka’  ataupun komen-komen di laman-laman yang bebas berkeliaran di dunia maya.

Ataupun, tarikan kuas di kanvas, tak lagi kemudian harus dipamerkan  di ruang-ruang yang panas tanpa AC hingga cat-catnya berubah warna ataupun ada yang terkelupas, Kini, mereka bis aterbang ke hadapan penikmatnya dengan bebas tanpa batas.

Pun, sastra dan seni tradisional yang konon katanya sulit berkembang dan susah untuk mencari penggemarnya, kini bisa bersaing bebas dengan seni dan sastra modern. Tinggal kita mau atau tidak memuat konten tersebut.

Saya melihat sudah banyak sekarang, misalnya beberapa musisi sekarang pasti akan memproduksi karya di rumah masing-masing. Bisa dari cover, bikin lagu sendiri, atau bahkan kolaborasi yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Dari daring, muncul jaringan dan koneksi  baru dalam logika digital yang bisa menyambungkan mereka.

Untuk industrinya tetap berjalan, menurut saya ada satu hal yang harus diperhatikan yaitu memindahkan logika itu dulu sambil memikirkan apa yang bisa dilakukan lewat kesenian. Paling tidak dia relevan dulu, ketika relevansinya sudah bekerja maka industrinya akan berjalan.

Tetap Rindu

Pandemi dengan protokol kesehatannya, memasung kreativitas secara fisik. Namun itu tidak bisa membatasi kreativitas. Meski wilayah daring yang membebaskan publikasi tanpa batas dan melewati sekat-sekat waktu maupun geografis, para seniman sudah rindu ingin manggung lagi. Ingin menari, menyanyi, berpuisi, membuat film, bermandikan cat, dan memecahkan gendang telinga penonton dengan teriakan akting di panggung yang lembut dan bisa membawa imajinasi terbang bersama lakon.

 

Absen berkesenian secara tatap muka selama masa pandemi, membuat rasa rindu membuncah di dada para seniman. Termasuk pelaku seni di Palembang.  Buncahan kerinduan itu tak pelak direspon Dewan Kesenian Palembang (DKP). Sebuah gagasan untuk bersitaruhmi di pengujung masa pandemi pun terlontarkan. Tentu saja, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Menurut Ketua DKP M Iqbal Rudianto, kegiatan dimaksud digagas secara daring dan  tatap muka. “Kita akan mengombinasikan antara kegiatan virtual dan tatap muka. Dengan mengacu protokol dan ketentuan yang berlaku,” ujarnya di sela-sela rapat membahas rencana menyelenggaraan kegiatan tersebut, di Sekeratriat  DKP.

Menurut Iqbal Rudianto, yang akrab disapa Didit, pandemi ini adalah wabah dunia. Karenanya  harus bisa menyikapi bijaksana dan sabar. Selalu monitor perkembangan yang ada. Selalu fokus dengan menjaga kesehatan dan mengatasi aktivitas seni yang terkendala. Pekerja kreatif tentu sangat terdampak. “Secara pribadi berharap para seniman menjaga semangatnya untuk terus berkarya dan beraktivitas seperti biasa tetapi protokol yang, membatasinya. Dilarang berkumpul. Membuat keramaian. Ini membuat kita mengalah untuk menaati peraturan yang dibuat pemerintah. Juli sudah banyak yang dilonggarkan. PSBB, zona merah, dan menuju kenormalan baru. Ini secuil harapan yang terbias,”

Suasana ini, tentu saja, “Membangkitkan semangat seniman untuk mulai merapatkan barisan. Bagaimana kita menyikapi di era menuju kenormalan  baru ini. Kalaupun pandemi ini telah berakhir kita telah mendapat pengalaman, bahwa selama ini kita diajak untuk hidup sehat, menjaga kebersihan menjaga jarak,” ujarnya didampingi  Sekretaris  DKP, Qusoi.

“Artinya kita jadikan pandemi ini kita lihat sisi positifnya. Mengajarkan kita untuk hidup sehat. Ruang kegiatan ini, menampilkan beberapa karya yang sempat dan telah diciptakan selama pandemi. Ini menunjukkan, bahwa bagian sebagian seniman, barangkali pandemi ini tidak menjadi penghalang, “ tambahnya

 

Menyusun rekomendasi

 

Sejak di awal tahun 2020, Indonesia memang dilanda pandemi Covid-19. Berbagai bidang kehidupan terdampak oleh wabah ini. Dunia berkesenian pun, termasuk bidang yang ikut terdampak.  Semua aktivitas berkesenian menjadi terhenti. Meskipun, masih ada yang bertahan dengan kreativitasnya terbatas #dirumahsaja. Dengan memanfaatkan ranah daring. Setelah hampir  setengah tahun dalam kondisi yang serba terbatas seolah  terpasung, gelora kebebasan untuk berekspresi mendapat angin segar. Wacana  kenormalan baru, memancarkan nuansa segar serba penuh harapan. Harapan yang membersitkan hal-hal baru. Tidak hanya bagi seniman di luar daerah, tetapi juga kalangan seniman di Palembang.

Karenanya, sesuatu yang baik tentu saja, jika DKP mengagas kegiatan yang bisa mengobati kerinduan seninam untuk berkreativitas. Sekaligus membahas berbagai persoalan terkait aktivitas berkesenian. Kegiatan ini rencananya dilaksanakan secara daring (virtual) dan tatap muka. Direncanakan dilaksanakan di Guns Café. Dengan menghadirkan narasumber dari praktisi, akademisi,  pemerhati, dan pihak terkait lainnya. Masing-masing akan diupayakan mengupas tuntas persoalan di enam komite seni yang ada. Yakni, Komite Musik, Teater, Rupa, Sastra, Tari, dan Film.

Para pihak ini, dihadirkan dari Palembang, juga berbagai daerah se-Indonesia. Pesertanya juga dari berbagai kalangan. Pelajar, mahasiswa, akademisi, profesional, instansi yang terlibat secara langsung dalam kancah berkesenian. Maupun yang sekadar tertarik, berminat dan peduli dengan seni.

Menurut Sekretaris Pelaksana, Gaung Antrasita, melalui Silaturahmi-Gelar Karya Seniman Kini dan Nanti: Iklim Kesenian Menuju Kenornalam Baru, pihaknya dari Dewan Kesenian Palembang (DKP) mencoba menggambarkan kondisi yang dialami dan bagaimana pelaku seni menyiasati dan bertahan di era pandemi. Lalu, memberikan pemetaan dan menggali rekomendasi terhadap berbagai stake holder sehingga bisa dijadikan bahan masukan dalam melangkah bersama.

“Simpulan, rekomendasi serta testimoni  dari kegiatan ini diharapkan menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat bagi semua pihak. Bukan hanya bagi seniman, tetapi juga berbagai pihak sehingga bisa jadi bahan pertimbangan ketika memutuskan,” jelasnya.

Banyak harapan yang bisa terdokukentasi dari kegiatan silaturahmi dan gelar karya ini. Bukan tidak mungkin, dari situ kita bisa melihat bahwa kesenian telah berubah. Wacana kenormalan baru pun, bukan tidak mungkin menular ke dunia kesenian, menjadi era kesenian baru.

 

Palembang, 17 Juli 2020

 

Muhamad Nasir

Penikmat sekaligus pencipta seni, Anggota Komite Sastra DKP

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com